JAKARTA, MENARA62.COM — Berbagai riset tentang kekerasan anak menunjukkan bahwa anak-anak mengalami kekerasan di tempat/lokasi yang mereka kenal dan oleh orang-orang yang mereka kenal. Hal ini tidak terkecuali terjadi di sekolah oleh teman sebaya, pendidik atau tenaga kependidikan.
Data hasil riset Programme for International Students Assessment (PISA) 2018 menunjukkan murid yang mengaku pernah mengalami perundungan (bullying) di Indonesia sebanyak 41,1%. Indonesia berada di posisi kelima tertinggi dari 78 negara sebagai negara yang paling banyak murid mengalami perundungan.
Di sisi lain, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkapkan kasus perundungan yang ditangani KPAI terhadap anak-anak paling banyak didominasi oleh siswa Sekolah Dasar (SD). Diketahui, ada 25 kasus atau 67% yang tercatat oleh KPAI baik dari kasus yang disampaikan melalui pengaduan langsung maupun online sepanjang Januari sampai April 2019. Sebelumnya, KPAI merilis sejumlah pelanggaran hak anak pada tahun 2018, didominasi terjadi kekerasan di lingkungan. Dari 445 kasus yang ditangani sepanjang 2018, sekitar 51,20% di antaranya merupakan kasus kekerasan baik fisik, seksual, maupun verbal. Bahkan, ironisnya, kekerasan fisik yang dialami anak di sekolah kebanyakan dilakukan oleh pendidik.
Dari sisi perundangan, Indonesia telah menandatangani Konvensi Hak Anak pada 26 Januari 1990 dan meratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 pada tanggal 25 September 1990. Langkah yang dilakukan Indonesia dalam melaksanakan Konvensi 1989 adalah melakukan Amandemen kedua Undang Undang Dasar Tahun 1945 dengan memasukkan Pasal 28B Ayat (2) pada 18 Agustus 2000, “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Langkah selanjutnya, adalah menerbitkan berbagai undang-undang, seperti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang beberapa kali diperbaharui dan terakhir dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014. Sebagai bentuk tanggungjawab Pemerintah, Kemendikbud telah menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim mengakui “Ada tiga dosa di sekolah yang tidak boleh ditoleransi yaitu intoleransi, kekerasan seksual dan perundungan. Saya sangat setuju bahwa tidak bisa hal-hal yang negatif ini hanya dilakukan dengan penguatan karakter. Harus ada tindakan tegas. Harus ada konsekuensi yang sangat berat bagi pelaku yang bisa disebut dosa-dosa di sekolah kita. Dosa-dosa ini secara pribadi, menurut saya, ada tiga dosa yang harusnya ada penindakan.” Hal ini diungkapkan Menteri Nadiem dalam rapat dengan Komisi X DPR bulan Februari lalu. Pakar Pendidikan Prof. dr. Fasli Jalal. SP. GK.PhD menekankan pentingnya pencegahan dengan penanaman karakter sejak dini tentang nilai-nilai toleransi, keberagaman, saling menghormati dan menghargai sesama.
Permendikbud No. 82 Tahun 2015 ini mengatur tata cara pencegahan dan penanggulangan kekerasan untuk menghadirkan rasa aman pada peserta didik khususnya di lingkungan sekolah sebagai rumah kedua yang bebas dari tindak kekerasan. Agar peraturan tersebut dapat diimplementasikan dengan baik, Direktorat Sekolah Dasar telah mengembangkan pedoman dalam pelaksanaaanya sehingga para pendidik, tenaga kependidikan, satuan pendidikan dan pemerintah daerah mampu memahami dan menjabarkan peraturan tersebut dalam perencanaan, pembiayaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi. Di samping itu juga telah dikembangkan media sosialisasi berupa poster dan booklet yang diharapkan bisa lebih mudah dipahami dan dilaksanakan dengan langkah-langkah konkret sebagai upaya untuk mencegah dan menganggulangi terjadinya tindak kekerasan di satuan pendidikan.
Direktorat Jenderal PAUD, Dikdas, dan Dikmen dengan dukungan Save the Children Indonesia meluncurkan buku Pedoman dan Media Informasi dan Edukasi Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Sekolah Dasar melalui webinar. Peluncuran diselenggarakan bersamaan dengan webinar tentang penanganan kekerasan di sekolah ini juga sebagai perayaan Hari Anak Universal. Dirjen PAUD Dikdas Dikmen Jumeri, STP, MSi dalam kesempatan yang sama mengatakan “Sekolah, sebagai rumah kedua bagi peserta didik, perlu bahu membahu dengan berbagai pihak untuk mengembangkan mekanisme pencegahan dan penanggulangan terhadap tindak kekerasan di lingkungan satuan pendidikan yang melibatkan anak”
CEO Save the Children Indonesia Selina Patta Sumbung, mengatakan dalam keterangannya, (11/12/2020) “Selain dengan Kemendikbud, kami juga bekerjasama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) yang memiliki program Sekolah Ramah Anak untuk memastikan sekolah aman, nyaman dan terbebas dari kekerasan dan terhubung dengan Unit Pelaksana Teknis Perlindungan Perempuan dan Anak bila ada kasus kekerasan yang perlu ditangani.”
Beberapa program Save the Children menerapkan implementasi Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 di area kerjanya sebagai pembelajaran baik yang perlu disebarluaskan dan direplikasikan ke wilayah lainnya. Sinergi sektor pemerintah dan masyarakat ini diharapkan dapat menghasilkan upaya yang optimal untuk menekan kekerasan di sekolah melalui gerakan “STOP Perundungan di Sekolah”. (*)