JAKARTA, MENARA62.COM– Anak perlu diajarkan bahasa Ibu. Selain memudahkan komunikasi dan interaksi, bahasa ibu juga dapat memperkuat rasa nasionalisme serta kebanggaan akan kekayaan budaya bangsa.
“Bahasa ibu adalah bahasa yang sehari-hari lekat dan dikenal oleh anak-anak kita. Mengajar anak usia dini dengan bahasa ibu tentu memudahkan proses pengenalan mereka terhadap lingkup sekolah dan pendidikan,” jelas Direktur Pembinaan Pendidikan Anak Usia Dini, Kemendikbud Ella Yulaelawati di sela Festival Kreativitas Anak Usia Dini 2017, Rabu (10/05/2017). Hadir Istri Mendikbud Suryan Widati yang juga Ketua Dharma Wanita Kemendikbud.
Indonesia diakui Ella memiliki lebih dari 700 bahasa ibu. Beberapa diantaranya kini sudah punah seiring habisnya masyarakat penuturnya.
Karena itu Gerakan Literasi Nasional yang tahun ini menjadi tema sentral Hari Pendidikan Nasional 2017 mencoba memperkuat peran bahasa ibu dalam lingkup lembaga pendidikan. Direktorat Pembinaan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Kemendikbud sendiri menerbitkan 61 buku bahan belajar sambil bermain berbahasa ibu. Penerbitan buku pelajaran PAUD berbahasa daerah ini sebanyak 53 buku tersebut dicatat oleh Museum Rekor Indonesia (MURI).
Buku bahan ajar ini mengenalkan pra keaksaraan kepada anak-anak PAUD dengan metode bermain menggunakan bahasa ibu. Tujuannya untuk memudahkan komuikasi dan interaksi serta menunjang pengembangan kemampuan berbahasa, kemampuan sosial dan koginitif serta menumbuhkan kecintaan terhadap bahasa Indonesia dan bahasa daerahnya.
“Lewat kegiatan ini pula siswa PAUD ingin menghargai dan merayakan keberagamanan bahasa ibu,” lanjut Ella.
Buku bahasa ibu bahan belajar sambil bermain ini dapat mengembangkan potensi anak usia dini dan menumbuhkan budi pekerti. Untuk itu disusun bahan belajar sambil bermain yang dapat digunakan pada pendidikan anak usia dini (PAUD). Bahan belajar sambil bermain ini terdiri atas lagu, buku cerita dan video tari.
Adapun 53 cerita berbahasa ibu yang dibukukan tersebut antara lain; bahasa Padang Solok, Sunda, Betawi, Tasik, Pekalongan, Tegal, Jogya. Cianjur, Tanggerang, Lampung, Madura, Bogor, Pandeglang, Solo, Surabaya, Bali, Sasak, Minang, Bekasi, Cirebon, Sukabumi, Garut, Subang, Indramayu, Badui, Banten, Serang, Kangean, Kediri, Banyuwangi, Banda Aceh, Aceh Selatan, Batak Karo, Batak Toba, Simalungun, Melayu, Palembang, Banjar, Dayak, Sanggau, Minahasa, Manado, Kaili, Bugis, Makassar, Mandar, Ambon, Smawa, Bajo, Tolaki, Kupang dan Dani.
Penerbitan buku ini, lanjutnya dirasakan sangat positif dan mampu memberikan kesempatan kepada anak-anak yang memiliki kecerdasan linguistik (bahasa) untuk menyampaikan cerita dengan cara unik, asyik, dan menyenangkan. Terlebih yang diceritakan cerita yang sudah sangat dekat kehidupan anak-anak..
Anak-anak sekarang lebih gemar menonton kartun atau memainkan gawai karena mereka bisa mempraktikkan langsung tanpa harus bersusah payah mengimajinasikannya. Misalnya dalam kartun, mereka bisa langsung mengenal tokoh-tokohnya, alur cerita, musik, dan visualisasinya yang nyaris sempurna.
Hal ini sangat kontras dibandingkan cerita rakyat yang ada sebelumnya yang dikemas dalam kemasan sederhana, kadang hanya berbentuk tulisan tanpa gambar tokoh dan ilustrasi tempat kejadiannya.
“Hal seperti ini kurang menarik minat anak untuk mengetahui cerita rakyat yang ada. Kami menerbitan dalam kemasan yang lebih menarik untuk dibaca oleh anak,” katanya.
Saat ini telah dikembangkan bahan ajar terkait penggunaan bahasa daerah di Indonesia, yang banyak digunakan sebagai bahasa ibu dalam menyampaikan proses PAUD. Ella menuturkan, bahan ajar tersebut berupa buku cerita yang terdiri atas empat judul, yaitu Si Tupai, Aku Suka Buah,Kucing Emas dan Siapa Yang Paling Cantik?.
“Buku-buku cerita itu kemudian kami terjemahkan kedalam 55 bahasa daerah dengan kualitas cetakan dan kemasan terbaik,” tukas Ella.
Bahan ajar berbasis bahasa ibu ini dapat memberikan kepandaian dalam bahasa asli yang sangat penting untuk proses belajar berikutnya bagi anak karena bahasa ibu berkait dengan dasar cara berpikir. Kepandaian yang kurang dari bahasa pertama sering kali membuat proses belajar bahasa lain menjadi sulit. Oleh karena itu, bahasa asli memiliki peran sentral dalam pendidikan karakter dan pengenalan budaya sebagai jati diri bangsa.