JAKARTA, MENARA62.COM – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan meluncurkan Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK) dalam rangkaian Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) di Istora, Senayan, Jakarta, Kamis (10/10). Indeks Pembangunan Kebudayaan merupakan suatu instrumen yang disusun bersama antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dan Badan Pusat Statistik (BPS).
Indeks ini diperlukan untuk mengukur capaian pembangunan kebudayaan sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
“Kemajuan dari sebuah bangsa itu sesungguhnya diukur dari kemajuan kebudayaannya,” disampaikan Direktur Jenderal Kebudayaan (Dirjenbud) Hilmar Farid dalam sambutannya.
Dirjenbud menyampaikan bahwa Indeks Pembangunan Kebudayaan yang diluncurkan hari ini menjadi yang pertama di Indonesia bahkan di dunia. Indeks ini akan secara spesifik mengukur capaian pembangunan kebudayaan di tingkat nasional dan daerah.
“Yang lain belum berani bikin indeks seperti ini. Tapi kalau tidak dimulai, maka tidak akan pernah tahu,” ujar Hilmar Farid.
Dirjen Hilmar Farid optimistis dengan adanya IPK, maka konsolidasi dan sinergi program lintas kementerian dan lembaga akan semakin kuat dan terpola lebih baik.
“Dengan adanya indeks, tidak mungkin dikerjakan dalam waktu setahun dua tahun. Dan tidak mungkin dengan cara sementara. Harus lebih terlembaga, terikat,” ungkapnya.
Penyusunan Indeks Pembangunan Kebudayaan mengacu pada kerangka pengukuran kebudayaan yang disusun UNESCO yaitu Culture Development Indicators (CDIs) serta menyesuaikan dengan dinamika dan kebutuhan pembangunan kebudayaan di tingkat nasional dan daerah.
Terdapat 31 indikator penyusun indeks tersebut yang dirangkum dalam tujuh dimensi pengukuran, di antaranya: Ekonomi Budaya, Pendidikan, Ketahanan Sosial Budaya, Warisan Budaya, Ekspresi Budaya, Budaya Literasi, dan Gender. Adapun metodologi dan sumber data dikembangkan untuk menghitung angka Indeks Pembangunan Kebudayaan secara nasional dari 34 provinsi di Indonesia.
Deputi bidang Statistik Sosial BPS, Margo Yuwono, menyampaikan bahwa secara garis besar tahapan metodologi penyusunan Indeks Pemajuan Kebudayaan meliputi Pemetaan Indikator Kandidat penyusuan IPK; Seleksi Indikator; Normalisasi Indikator terpilih; Penentuan Bobot tiap dimensi, dan; penghitungan IPK
“IPK bukan mengukur nilai budaya tetapi lebih memotret capaian pembangunan kebudayaan di wilayah tersebut,” tegas Deputi Margo Yuwono.
Dengan mengetahui capaian pembangunan kebudayaan, maka setiap Pemerintah Daerah dapat menentukan arah kebijakan agar dapat menaikkan capaian pembangunan kebudayaan di wilayah masing-masing. Margo Yuwono berharap kehadiran IPK dapat menjadi data dasar yang informatif dalam memonitor dan mengevaluasi capaian pembangunan kebudayaan.
“Tidak sekaligus sekedar itu, IPK menjadi suatu tolok ukur untuk berbagai kebijakan dan program yang berkaitan dengan pembangunan kebudayaan, sebagaimana Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan,” harap Deputi Margo.
Dengan menggunakan data tahun 2018, maka Badan Pusat Statistik merilis nilai IPK nasional sebesar 53,74. Capaian tertinggi diperoleh dari dimensi Ketahanan Sosial Budaya dengan indeks sebesar 72,84. Diiikuti dengan dimensi Pendidikan sebesar 69,67. Sementara itu, Dimensi Ekonomi Budaya menempati skor terbawah dengan nilai indeks sebesar 30,55.
Terdapat 13 provinsi di Indonesia yang memiliki nilai IPK di atas angka nasional. Di antaranya Daerah Istimewa Yogyakarta (73,79), Bali (65,39), Jawa Tengah (60,05), Bengkulu (59,95), Nusa Tenggara Barat (59,92), Kepulauan Riau (58,83), Riau (57,47). Kemudian Jawa Timur (56,66), Sulawesi Utara (56,02), Daerah Khusus Ibukota Jakarta (54,67), Bangka Belitung (54,37), Lampung (54,33), dan Kalimantan Selatan (53,79).
Deputi bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan, Kementerian PPN/Bappenas, Subandi Sardjoko, menekankan pentingnya pembangunan berkelanjutan berbasis kebudayaan. Dikatakannya, Indonesia tidak bisa lagi terus menerus mengandalkan sumber daya alam untuk menopang pembangunan nasional.
“Selain sumber daya alam memiliki keterbatasan, pembangunan yang bertopang pada kekayaan alam juga mengancam kelestarian lingkungan dan pembangunan yang berkelanjutan,” ujar Subandi.
Sementara itu, dilanjutkan Subandi, Indonesia memiliki khazanah kebudayaan yang sangat kaya dan melimpah. “Sudah saatnya kekayaan budaya yang kita miliki ini dikelola dengan baik, sebagai kekuatan penggerak dan modal dasar pembangunan untuk mendorong Indonesia tumbuh-kembang menjadi negara-bangsa yang maju, moderen, dan unggul,” jelasnya.
Subandi mencontohkan beberapa negara di kawasan Asia Timur seperti Jepang, Korea Selatan, China, dan Taiwan yang mampu bangkit dari keterpurukan dengan menjadikan kebudayaan sebagai pendorong produktivitas dan kemajuan bangsa. “Kita sebagai negara adidaya di bidang kebudayaan dapat melakukan hal serupa, melalui akselerasi pembangunan sosial-ekonomi berbasis kebudayaan, serta dengan melakukan kapitalisasi atas nilai-nilai dan kekayaan budaya melalui proses modernisasi,” tuturnya.