31.7 C
Jakarta

Kemenkeu Tolak Bayar Utang Kereta Cepat, Pakar UMS Dukung: Kebijakan Harus Berpihak pada Rakyat

Baca Juga:

SOLO, MENARA62.COM – Polemik proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung kembali mencuat setelah Kementerian Keuangan menolak permintaan pembayaran utang proyek tersebut. Keputusan ini memicu perdebatan soal tata kelola investasi negara dan efisiensi penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Guru Besar Ilmu Manajemen Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Prof. Dr. Anton Agus Setyawan, M.Si., menilai langkah Kementerian Keuangan tersebut sudah tepat dari sisi fiskal. Namun ia menegaskan, pemerintah perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap model bisnis proyek strategis nasional agar tidak menimbulkan beban baru bagi keuangan negara.

“Sejak awal, proyek kereta cepat sebenarnya tidak layak secara business to business. Harga tiketnya mahal, sementara beban hutangnya besar. Akibatnya, sulit menutup biaya dan justru berpotensi menambah tekanan pada fiskal negara,” ujar mantan Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UMS, Selasa (21/10).

Menurutnya, pembangunan infrastruktur publik memang tidak semata berorientasi pada keuntungan, tetapi tetap harus berpihak pada kepentingan masyarakat luas. “Kalau subsidi diberikan untuk transportasi massal yang digunakan masyarakat menengah ke bawah, itu logis. Tapi jika proyek besar justru lebih banyak dinikmati kalangan menengah ke atas, perlu dikaji ulang arah kebijakannya,” jelasnya.

Anton menilai, sejumlah proyek infrastruktur yang digarap pemerintah lebih menonjolkan aspek politis ketimbang manfaat sosial. “Banyak proyek berbiaya tinggi yang lebih pantas disebut proyek mercusuar, karena tidak memberikan dampak ekonomi signifikan bagi masyarakat bawah,” imbuhnya.

Meski begitu, ia menilai keputusan Menteri Keuangan untuk menolak pembayaran utang proyek kereta cepat bukanlah langkah keliru. Menurutnya, Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara sebagai pengelola aset Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memiliki kapasitas finansial untuk menanggung beban tersebut. “Kemenkeu sudah tepat. Ketika pemerintah memindahkan pengelolaan aset-aset BUMN kepada superholding Danantara, ya berarti utang kereta cepat dibayar menggunakan dividen BUMN,” terangnya.

Lebih jauh, Anton mengingatkan agar pemerintah membedakan dengan tegas antara proyek infrastruktur publik yang membutuhkan subsidi dan proyek privat yang seharusnya mengikuti mekanisme pasar. “Kalau TransJogja atau TransJakarta disubsidi, itu wajar. Tapi proyek seperti kereta cepat ini menyasar kelompok menengah ke atas. Jadi orientasinya harus jelas,” tegasnya.

Senada, Assoc. Prof. Zilhardi Idris, Ir., M.T., D.R., dosen Teknik Sipil UMS, menyoroti ketimpangan pembangunan yang masih terpusat di Pulau Jawa. “Indonesia ini bukan hanya Jawa. Kalau infrastruktur terus dibangun di satu pulau, yang terjadi bukan kemajuan, tapi ketimpangan,” ujarnya tegas.

Zilhardi mengungkap, rasio panjang jalan terhadap luas wilayah Indonesia masih rendah sekitar 250 meter per kilometer persegi. “Bayangkan, ada wilayah yang bahkan belum memiliki seperempat kilometer jalan di tiap 1 km². Artinya, pembangunan belum menjangkau banyak daerah,” jelasnya.

Ia juga menilai lemahnya koordinasi antar lembaga pemerintah seperti Bappenas, BPS, DPR, Kementerian PUPR, dan Kemenhub menjadi penyebab tidak efektifnya perencanaan pembangunan. “Kalau Bappenas diam, DPR pasif, dan data BPS tidak akurat, perencanaan nasional kehilangan nalar,” kata Zilhardi.

Keduanya sepakat bahwa percepatan pembangunan harus dibarengi prinsip keadilan dan tata kelola yang bersih. Prof. Anton menekankan pentingnya pemberdayaan UMKM sebagai fondasi pertumbuhan ekonomi rakyat. “Kalau UMKM bangkit, ekonomi rakyat ikut bergerak,” ujarnya.

Zilhardi menutup dengan pesan moral bagi para pembuat kebijakan. “Kebijakan publik bukan eksperimen politik, tapi amanah rakyat. Siapa pun yang memaksakan kebijakan yang tidak bijak harus bertanggung jawab,” tegasnya. (*)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!