27.2 C
Jakarta

Kemenperin Dorong Insentif EPR Berbasis Kinerja lewat Skema Eco-Modulation

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mulai mengarahkan penerapan Extended Producer Responsibility (EPR) ke pendekatan eco modulation, yakni pemberian insentif berbasis kinerja lingkungan industri. Skema ini menempatkan performa keberlanjutan, mulai dari penggunaan material daur ulang hingga bahan ramah lingkungan sebagai faktor penentu dalam kewajiban dan insentif EPR.

Kepala Pusat Industri Hijau Kemenperin Apit Pria Nugraha menegaskan tantangan utama saat ini adalah menerjemahkan berbagai praktik keberlanjutan industri ke dalam kebijakan EPR yang operasional.

“Challenge-nya adalah, bagaimana kita bisa mengaitkan semua itu ke dalam kebijakan EPR. Kemarin kita sudah sempat bicara masalah eco modulation gitu. Jadi kalau industri sudah perform misalnya menggunakan recycled material, atau menggunakan sustainable material, menggunakan bioplastic misalnya,” ujarnya dalam acara “Mendorong Ekonomi Sirkular yang Inklusif dan Berkeadilan Melalui Tanggung Jawab Produsen yang Diperluas” di Antara Heritage Center, Jakarta.

Menurut Apit, pendekatan tersebut menuntut perumusan insentif EPR yang benar-benar mencerminkan kinerja industri, bukan sekadar kewajiban administratif.

“Itu bagaimana kita bisa memformulasikan performance base itu sebagai bentuk insentif terhadap EPR-nya. Ini challenge-challenge seperti ini, tidak bisa kami selesaikan sendiri di Kementerian Perindustrian. Karena ini juga harus harmonis dengan Kementerian Lingkungan Hidup, dengan Bapenas, dan dengan institusi lain, dan khususnya dengan para pelaku usaha,” katanya.

Ia menekankan, harmonisasi lintas kementerian dan pelaku usaha menjadi prasyarat agar kebijakan eco modulation dapat berjalan efektif dan adil.

“Jadi tidak ada satu kebijakan yang bisa menyelesaikan semuanya, ini harus harmonis,” ujarnya.

Terkait kesiapan industri, Apit menilai kondisinya tidak seragam antar sektor. Rantai ekonomi sirkular mencakup berbagai jenis industri, mulai dari daur ulang hingga pengguna bahan baku hasil daur ulang.

“Dan sekali lagi tadi kalau menjawab kesiapan industri, saya rasa itu relatif terhadap industri yang mana dulu. Industri juga nanti ada industri daur ulang, ada industri pemanfaat bahan buku daur ulang, ada industri makanan minuman,” jelasnya.

Namun demikian, ia menyebut industri besar dinilai telah berada pada tahap siap eksekusi dalam penerapan EPR berbasis kinerja.

“Tapi kalau dilihat dari tingkat kesiapan tentunya kalau industri besar, MNC, industri makanan minuman, FMCG, saya rasa kesiapannya udah dari kemarin-kemarin. Tinggal eksekusi aja sebetulnya. Mungkin bener-bener bisa menjawab pertanyaan,” lanjut Apit.

Dorongan ke arah eco modulation ini menandai upaya Kemenperin untuk memastikan EPR tidak hanya menjadi kewajiban biaya, tetapi juga instrumen kebijakan yang memberi insentif nyata bagi industri yang berinvestasi pada material dan proses produksi berkelanjutan.

Dari sisi regulasi lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menyatakan penguatan kewajiban EPR tengah difinalisasi melalui rancangan peraturan presiden. Direktur Pengurangan Sampah dan Pengembangan Ekonomi Sirkular KLH/BPLH Agus Rusli mengatakan aturan tersebut ditargetkan rampung pada semester pertama 2026.

“Sebenarnya EPR itu kita ikat lebih kuat di dalam rancangan peraturan presiden yang sedang disusun dan sudah masuk Setneg,” katanya.

Agus menambahkan, rancangan tersebut telah mengakomodasi ketentuan dalam Permen LHK No. 75/2019, termasuk pengaturan Producer Responsibility Organization (PRO) serta pembagian peran pemerintah dan swasta. Saat ini, tingkat kepatuhan masih menjadi tantangan dengan baru 26 perusahaan yang menyerahkan peta jalan pengurangan sampah.

Sementara itu, Badan Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (BP Taskin) menekankan bahwa implementasi EPR dan ekonomi sirkular juga harus berdampak pada kesejahteraan pekerja informal, terutama pemulung. Deputi BP Taskin Novrizal Tahar menyebut sektor pengelolaan sampah informal melibatkan jutaan orang yang belum seluruhnya terdata.

“Kita ingin membangun beyond dari itu, menjadikan mereka manusia Indonesia seutuhnya yang punya kehidupan layak dan akses bantuan,” ujarnya.

Ketua Umum Asosiasi Industri Minuman Ringan (ASRIM) Triyono Prijosoesilo menilai regulasi terkait kewajiban produsen mengelola sampah atau tanggung jawab produsen yang diperluas (Extended Producer Responsibility/EPR) perlu seimbang bagi berbagai skala industri.

“Seperti yang dijelaskan, ada perusahaan besar, ada perusahaan kecil, ada perusahaan skala lokal, ada perusahaan skala nasional. Akan lebih baik kalau memang peraturan ini diterapkan sehingga menjadi basis yang seimbang untuk semuanya,” kata Triyono

Deputi Bidang Pangan, Sumber Daya Alam, dan Lingkungan Hidup Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Leonardo AA Teguh Sambodo mengatakan, Melalui EPR produsen didorong berinovasi menciptakan kemasan dengan bahan baku yang mudah didaur ulang dan mengurangi penggunaan virgin material (bahan baku yang diproduksi dari sumber alam).

Pemerintah sendiri menempatkan EPR dalam program prioritas ekosistem ekonomi sirkular, baik itu dalam rencana pembangunan jangka panjang 2025 hingga 2045 maupun rencana jangka menengah 2025 hingga 2029,” ungkap Teguh. (*)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!