JAKARTA, MENARA62 – Program diaspora Indonesia akan kembali digelar Kemenristekdikti. Saat ini sudah ada 104 profesor yang mengajar dan berkarier di sejumlah negara, berminat untuk mengikuti program diaspora Indonesia 2017.
“Kita akan undang kembali para profesor tersebut untuk mengajar di kampus-kampus di Indonesia melalui program world class professor. Tahun lalu 45 orang, tahun ini kita tambah mungkin bisa lebih dari 45,” papar Dirjen Sumber Daya Iptek dan Dikti Kemenristekdikti Ali Ghufron Mukti, di sela Talkshow Figur Ilmuwan Muda & Sumbangsihnya Bagi Bangsa, Senin (18/12/2017).
Program diaspora pulang kampung diakui Ghufron bertujuan agar para profesor berbagi pengalaman, berbagi ilmu pengetahuan, sharing ilmu untuk mengembangkan dan melakukan transformasi ilmu pengetahuan.
Ghufron mengingatkan bahwa Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk menjadi negara maju. Dengan jumlah penduduk yang besar, wilayah yang luas, sumber daya alam yang kaya dan jumlah perguruan tinggi yang banyak, tentu ini menjadi potensi yang bisa dikembangkan saat kini dan yang akan datang.
“ Saat ini yang dibutuhkan adalah langkah-langkah strategis agar Indonesia bisa mengalami lompatan besar dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi,” tambah Ghufron.
Dengan program diaspora pulang kampung, Ghufron berharap tercipta satu bentuk kerjasama dan kolaborasi antar perguruan tinggi di Indonesia dengan perguruan tinggi di luar negeri, termasuk para profesornya. Misalnya menyusun proposal bersama, menyusun draf penelitian bersama, kerjasama degree program, pertukaran dosen maupun mahasiswa, kerjasama inovasi, mematenkan produk dan lainnya.
Sementara itu, Dr Rino Mukti, dosen ITB mengatakan sebelumnya ia sempat berkarier di Jerman dan Jepang. Tetapi sejak 2009 memutuskan kembali ke Tanah Air dan menjadi dosen di ITB.
“Kalau kita berkarier diluar negeri maka apapun hasil penelitian dan inovasi kita, menjadi hak dan milik negara yang bersangkutan. Lalu apa kontribusi kita untuk negara tercinta,” kata anggota Asosiali Ilmuwan Muda Indonesia tersebut.
Karena itulah, pria usia 40 tahun yang menyelesaikan pendidikan doktornya di Jepang tersebut memutuskan kembali dan berkarier di Indonesia. Meski secara finansiil, penghasilannya jauh lebih kecil dibanding kalau berkarier di luar negeri.
“Bagi saya besar kecilnya gaji itu relatif. Besar tapi kalau kebutuhan harganya mahal, beras di luar negeri mahal, sama saja. Toh banyak orang Indonesia yang gaji kecil tetapi bisa hidup sejahtera,” tambahnya.
Rino mengakui sumber daya alam Indonesia masih banyak yang belum dieksplorasi secara maksimal. Ini membutuhkan para ahli yang diantaranya adalah putra putri terbaik yang menyelesaikan pendidikan di luar negeri.
Ia mencontohkan soal gas alam yang sampai saat ini Indonesia masih mengekspor dalam bentuk material mentah. Padahal gas alam bisa diolah dan menjadi energi alternatif dimasa depan. Gas alam bisa dijadikan bahan baku alternatif menjadi hidrogen.
Untuk mengolah sumber daya alam Indonesia, menurut Rino dibutuhkan inovasi dan riset yang mumpuni. Hal tersebut bisa dilakukan oleh peneliti-peneliti Indonesia baik berkolaborasi dengan ahli dari dalam negeri maupun ahli dari luar negeri.
“Saya berharap teman-teman yang berkarier di luar negeri tetapi bisa memberikan sumbangsih dan pemikiran bagi bangsa dan negara Indonesia tercinta,” tutup Rino.