BEKASI, MENARA62.COM – Target perolehan pajak di Indonesia dari tahun ke tahun tidak pernah tercapai. Karena itu perlu dilakukan strategi-strategi baru agar partisipasi masyarakat terhadap pajak semakin meningkat.
“Kita belum pernah mencapai 100 persen perolehan pajak dari target yang sudah ditetapkan,” kata Hestu Yoga Saksama, Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Dirjen Pajak, pada seminar nasional bertema Arah Kebijakan Fiskal 2019 yang digelar Institut STIAMI bekerjasama dengan Lembaga Penelitian & Pengabdian kepada Masyarakat Institut STIAMI, Minggu (21/10).
Selain Hestu Yoga Saksama, seminar nasional yang diikuti 850 mahasiswa Instiut STIAMI tersebut juga menampilkan pembicara Prof. Dr. Gunadi, M.SC.AK, Guru Besar Fakultas Ilmu Administrasi UI dan pembicara kunci Yon Asral, SE. Ak, M.Ec, Ph.D, Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan Ditjen Pajak Republik Indonesia.
Tidak tercapainya target perolehan pajak tersebut menurutnya tidak semata-mata masih belum banyaknya komponen kegiatan ekonomi yang belum dikenakan kewajiban pajak. Tetapi lebih dari itu adalah tingkat kepatuhan masyarakat untuk membayar pajak yang harus terus ditingkatkan.
Hestu mengakui banyak masyarakat yang beranggapan bahwa pemerintah terlalu banyak menarik pajak. Komponen apapun dikenakan pajak. Tetapi faktanya, di Indonesia baru 12 persen saja kegiatan ekonomi yang dikenakan pajak. Bandingkan dengan Malaysia dan Singapura yang sudah mencapai diatas 15 persen, negara-negara Eropa antara 30 hingga 39 persen dan Belanda tax rasionya sudah 38 persen.
Meski masih rendah tax rasionya, jika penarikan pajak dan kesadaran masyarakat untuk membayar pajak tinggi maka ia yakin target sebesar Rp 1.424 triliun pada 2018 ini bakal tercapai.
Data menyebutkan dari 18 juta SPT yang wajib lapor, ternyata hanya 12 juta SPT yang melaporkan diri. Padahal lapor SPT hanya merupakan bukti kepatuhan formal dan belum menjadi bukti kepatuhan material.
Untuk meningkatkan perolehan pajak, menurutnya hal paling strategis dan penting adalah meningkatkan kepatuhan masyarakat untuk membayar pajak. Kepatuhan ini juga termasuk didalamnya melaporkan semua kegiatan ekonomi, dan sumber penghasilan yang terkena pajak kepada pemerintah.
Diakui Hestu, rendahnya pemahaman dan kesadaran masyarakat terhadap kewajiban membayar pajak tidak lepas dari kurangnya sosialisasi terkait pajak. Karena itu Dirjen Pajak bekerjasama dengan Kemendikbud dan Kemenristekdikti merintis materi pelajaran pajak untuk siswa dan mahasiswa.
Saat ini materi pajak sudah masuk dalam 4 mata kuliah wajib umum (MKWU) di perguruan tinggi yakni mata kuliah Agama, Pancasila, Kewarganegaraan dan Bahasa Indonesia. Sedang untuk siswa SD, SMP dan SMA masih dalam penggodokan.
“Penting untuk mengenalkan pajak sejak dini, agar ketika bekerja, memiliki usaha mereka sudah sadar akan kewajiban pajak,” tukasnya.
Selain itu pihaknya juga meluncurkan gerakan relawan pajak yang saat ini sudah beranggotakan 1000 orang. Dari jumlah tersebut 200 diantaranya adalah mahasiswa Institut STIAMI.
Relawan pajak ini tugasnya mendampingi wajib pajak untuk mengisi SPT, menghitung pajak dan lainnya yang terkait dengan kewajiban membayar pajak.
Pajak menurutnya menjadi komponen penting dalam kegiatan pembangunan nasional. Keberadaan infrastruktur yang notabene dibiayai dengan pajak, diperkirakan mampu mempercepat pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja dan pemerataan pembangunan.
Kepala Kampus Institut STIAMI Bekasi Diana Prihadini S.Sos, Msi mengatakan pajak merupakan hal penting dalam urusan bernegara. Sebab dengan pajak itulah distribusi keadilan sosial dapat dilakukan.
“Negara dengan pajak akan dapat mengurangi tingkat kecemburuan sosial warga negara yang tidak memiliki sumber-sumber ekonomi yang memadai,” jelasnya.
Dalam konteks ketata-negaraan, suatu proses perubahan yang terjadi baru bermanfaat secara sosial, ekonomi, politik dan budaya bagi rakyat kebanyakan kalau negara memberikan pelayanan dan pembangunan yang merata tanpa pilih kasih.