32.1 C
Jakarta

KERETA CEPAT AKAL LAMBAT Whoosh… Larinya Kencang, Tagihannya Lebih Kencang

Baca Juga:

Oleh: Budiawan, cangkrukan

JAKARTA, MENARA62.COM – Ketika pemerintah menjanjikan proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) tanpa sepeser pun uang negara, publik menaruh harapan. Tapi kini, di balik kecepatan 350 km/jam dan klaim kebanggaan nasional, terselip beban utang lebih dari USD 7,2 miliar—sebagian di antaranya diduga lahir dari praktik mark-up, monopoli, dan pelanggaran hukum yang melibatkan elite di Jakarta dan Beijing.

Fakta yang Tak Pernah Lurus

Proyek ini dimulai dengan nilai kontrak awal USD 6,02 miliar, didanai mayoritas oleh pinjaman China Development Bank (CDB). Namun, angka itu membengkak hingga USD 7,27 miliar setelah tambahan pinjaman USD 230 juta dan 1,54 miliar yuan diajukan untuk menutup defisit biaya.
Konsorsium Indonesia, melalui PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI), menggenggam 60% saham, sedangkan 40% sisanya dimiliki oleh Beijing Yawan HSR Co. Ltd. Dengan bunga pinjaman sekitar USD 120 juta per tahun, proyek ini menjadi salah satu pembiayaan infrastruktur paling mahal di Asia Tenggara.

Yang membuat publik geram bukan hanya biayanya, tapi kontradiksi janji dan realitas. Presiden Joko Widodo sempat menegaskan proyek ini akan sepenuhnya “business to business”, tanpa jaminan APBN. Nyatanya, PMN Rp 4,1 triliun tetap disuntikkan ke PT KAI pada 2022 untuk menopang arus kas KCIC.
Ironisnya, PT KAI kini merugi lebih dari Rp 3 triliun dalam dua tahun terakhir, menanggung beban korporasi yang seharusnya bukan tanggung jawab publik.

Skandal di Balik Jalur Cepat

Sejak tahap awal, jejak penyimpangan sudah tampak.
Tender proyek antara Jepang dan Tiongkok disebut manipulatif. Tim tender Indonesia awalnya memilih proposal China dengan nilai USD 5,5 miliar, tapi kemudian “naik sendiri” menjadi USD 6,02 miliar—mendekati penawaran Jepang, seolah memberi ruang bagi rente. Jika bunga dihitung, biaya total tawaran China justru lebih mahal: USD 6,92 miliar dibanding Jepang USD 6,25 miliar.

Bukan hanya itu.
Pelanggaran hukum terjadi berlapis:

* Jaminan pemerintah diberikan secara terselubung, padahal melanggar Perpres No.107/2015.
* Hak eksklusif atas jalur kereta cepat diberikan kepada China, bertentangan dengan UU Perkeretaapian No.23/2007 dan UU Antimonopoli No.5/1999.
* Groundbreaking dilakukan tanpa izin lengkap, melanggar Pasal 188 UU No.23/2007.
* Bahkan, dugaan persekongkolan tender melibatkan perusahaan China, CRRC Sifang Indonesia, dalam pelanggaran Pasal 22 UU Persaingan Usaha.

Hasilnya, biaya per kilometer KCJB mencapai USD 48–56 juta/km, lebih mahal dua hingga tiga kali lipat dibanding rata-rata global.
Ketika biaya melonjak tak masuk akal, maka publik berhak curiga bahwa ini bukan soal teknis—melainkan soal etika dan niat.

Tanggung Jawab dan Jalan Keluar

Kini pertanyaan krusialnya: siapa yang harus menanggung utang ini?
Pemerintah melalui Menkeu Purbaya menolak penggunaan APBN. Namun, pihak Danantara—di bawah Rosan Roeslani—masih membuka opsi pelibatan negara. Sementara Luhut Binsar Pandjaitan tiba-tiba mengumumkan bahwa utang KCIC “sudah direstrukturisasi”, dengan tenor diperpanjang menjadi 60 tahun.

Publik tak butuh solusi teknis yang menyelamatkan koruptor. Yang dibutuhkan adalah akuntabilitas.
KCIC adalah entitas bisnis. Maka utang yang lahir dari salah urus, pelanggaran hukum, atau kesepakatan yang cacat moral harus menjadi tanggung jawab korporasi, bukan negara.
Solusinya sederhana dan bermartabat:

1. Audit Investigatif Independen oleh BPK dan KPK, untuk menelusuri indikasi KKN, mark-up, dan pelanggaran hukum lintas negara.
2. Pembayaran utang hanya dari profit KCIC, baik dari tiket, sewa aset, atau kerja sama komersial lain—bukan dari APBN, bukan pula dari Danantara.
3. Jika arus kas operasional tidak sanggup, aset KCIC wajib disita atau dipailitkan, sehingga kerugian ditanggung pemegang saham, bukan rakyat.
4. DPR harus membentuk Pansus KCJB, menelusuri peran pejabat yang terlibat, termasuk mantan Presiden dan pejabat tinggi yang diduga memberi jaminan secara ilegal.

Ini bukan sekadar soal utang, tapi soal martabat bangsa. Negara yang berdaulat tidak boleh membayar utang yang lahir dari korupsi. Dalam etika keuangan publik, itu disebut Odious Debt — utang najis yang tak pantas diwariskan dari satu rezim ke rezim berikutnya.

Penutup

Kereta cepat ini memang membawa kita dari Halim ke Padalarang dalam 40 menit. Tapi secara moral, ia justru membawa bangsa ini mundur puluhan tahun, ke masa ketika proyek negara adalah panggung rente, bukan pelayanan publik.
Jika pemerintahan baru ingin berdiri di atas keadilan dan kedaulatan, maka langkah pertama adalah sederhana:
bebaskan rakyat dari utang najis KCIC, dan biarkan korporasi yang rakus itu menanggung akibatnya sendiri.


Referensi:

1. Bloomberg Technoz – “Biaya Proyek Kereta Cepat Bengkak 20% Jadi USD 7,2 Miliar.”
2. The Australian – “Indonesia’s High-Speed Rail Faces Soaring Costs and Mounting Losses.”
3. PKS.id – “APBN Akhirnya Jadi Jaminan KCJB, Langgar Janji Awal Tanpa Uang Negara.”
4. Mata Bandung – “Audit Investigatif Proyek KCJB Didesak Karena Dugaan Mark-Up.”
5. Fortune Indonesia – “CDB Kucurkan Tambahan Pinjaman USD 230,99 Juta untuk KCIC.”
6. CNBC Indonesia – “Kerugian PT KAI Tembus Rp 2,24 Triliun Akibat Proyek KCJB.”

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!