JAKARTA, MENARA62.COM – Sektor hulu minyak dan gas bumi masih menjadi pilar penting ketahanan energi Indonesia di tengah ketidakpastian global dan tantangan transisi energi. Indonesia pun didesak perlu segera menghentikan tren penurunan produksi minyak dan gas bumi untuk menjaga ketahanan energi nasional di tahun 2026 sekaligus mendukung target pembangunan jangka panjang.
Demikian yang mengemuka dalam acara EITS Discussion Series VII 2025: “Pemantik Bisnis Sektor ESDM 2026, Dari Hilirisasi Hingga Transisi”, di Jakarta, Senin, (15/12).
Direktur Eksekutif Indonesian Petroleum Association (IPA) Marjolin Wahjong mengatakan ketahanan energi menjadi isu krusial bagi Negara Kesatuan Indonesia (NKRI). Untuk itu, Pemerintah perlu ambil langkah antisipasi adanya tren penurunan produksi minyak dan gas bumi (Migas) guna menjaga ketahanan energi nasional sekaligus mendukung target pembangunan jangka panjang.
Marjolin menuturkan, sektor hulu migas masih memegang peran strategis di tengah meningkatnya kebutuhan energi dan proses transisi menuju ekonomi rendah karbon. “Kita harus menghentikan penurunan produksi dan meningkatkan produksi selama era transisi energy sambil menargetkan net zero pada tahun 2060,” ujarnya.
Marjolin juga menyoroti proyeksi permintaan energi nasional yang terus meningkat hingga 2050. Permintaan gas diperkirakan naik hingga empat kali lipat dan minyak dua kali lipat. Namun lebih dari satu dekade terakhir, produksi migas Indonesia justru menunjukkan tren penurunan. “Jika tidak direspons dengan kebijakan yang pro-investasi maka kondisi tersebut berisiko memperlebar kesenjangan pasokan energi,” ujanya.
Dalam perspektif investor, sambung dia, IPA menekankan pentingnya menjaga contract sanctity dan kepastian hukum sebagai fondasi utama kepercayaan investasi.
Mengingat, industri hulu migas memiliki karakter high risk, high capital, and high technology, dengan siklus proyek yang dapat berlangsung lebih dari 30 tahun. Sehingga, stabilitas regulasi menjadi faktor penentu daya saing Indonesia di tingkat global. Selain itu, percepatan eksplorasi dan kemudahan perizinan dinilai krusial untuk mencapai target produksi pemerintah.
“IPA mendorong agar lebih banyak wilayah kerja ditawarkan kepada investor, disertai proses persetujuan yang lebih cepat dan koordinasi lintas kementerian yang lebih efektif. Karena itu, revisi Undang-Undang Migas menjadi langkah penting untuk memperkuat iklim investasi jangka panjang,” jelasnya.
Marjolin menegaskan, transisi memang dituntut terus berjalan namun pemerintah harus memastikan prioritas utama ketahanan energi terjamin aman. Keterjangkauan masyarakat terhadap kebutuhan energi, jauh lebih penting ketimbang aspek keberlanjutan.
“Bila kebijakan pemerintah yang tepat sasaran dipastikan mamacu kontribusi industri migas terhadap capaian target net zero emission 2060. Apalagi ditopang penerapan teknologi carbon capture and storage (CCS) sembari mengurangi ketergantungan pasokan energi domestik terhadap impor,” jelasnya.
Optimalisasi Lifting Migas
Tenaga Ahli Kepala SKK Migas Muhammad Kemal mengatakan, optimalisasi lifting migas nasional menjadi prioritas strategis untuk menjaga pasokan energi, menekan impor, serta menopang penerimaan negara dalam jangka menengah. Kemal menjelaskan, dinamika global saat ini menunjukkan pergeseran fokus dari ambisi keberlanjutan menuju isu keamanan dan keterjangkauan energi.
“Risiko underinvestment di sektor migas berpotensi memicu ketidakseimbangan pasokan dan tekanan harga energi, sehingga penguatan produksi domestik menjadi langkah krusial agar Indonesia tidak terlalu rentan terhadap gejolak eksternal,”jelasnya.
Berdasarkan data SKK Migas hingga November 2025, kinerja produksi hulu migas relatif terjaga, dengan penurunan produksi setara minyak nasional hanya sekitar 0,1% secara tahunan.
Capaian tersebut ditopang oleh peningkatan aktivitas eksplorasi dan pengembangan, termasuk kenaikan investasi eksplorasi sekitar 20% dibandingkan tahun sebelumnya serta tambahan produksi dari sumur-sumur baru hasil plan of development (POD).
Kemal menyoroti pentingnya menjaga reserve replacement ratio (RRR) di atas 100% agar keberlanjutan produksi jangka panjang tetap terjamin. Menurutnya, sejak 2018, RRR nasional konsisten melampaui target, terutama didorong oleh persetujuan POD strategis dan percepatan proyek hulu migas.
“Kepastian regulasi, fiskal yang kompetitif, serta percepatan perizinan menjadi faktor kunci agar proyek dapat on-stream sesuai jadwal,” ungkapnya.
Dijelaskan, untuk 2026 pemerintah menargetkan lifting minyak sebesar 610 ribu barel per hari dan lifting gas sekitar 5.500 juta kaki kubik per hari, dengan dukungan investasi hulu migas lebih dari US$22 miliar. Kemal menegaskan, pencapaian target tersebut membutuhkan kolaborasi erat antara pemerintah, SKK Migas, dan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS), mengingat migas masih memegang peran strategis sebagai penyangga ketahanan energi nasional sekaligus pendukung transisi energi yang realistis.
Sistem Energi Rendah Karbon
Sementara Manager New and Renewable Energy (Pertamina NRE) Chandra Asmara mengatakan, Gas alam masih memainkan peran penting dalam transisi energi Indonesia, terutama sebagai jembatan menuju sistem energi rendah karbon.
Menurutnya, Gas memberikan solusi pragmatis di tengah keterbatasan energi terbarukan yang belum sepenuhnya mampu menopang kebutuhan listrik nasional secara andal.
Chandra mengungkapkan, pembangkit listrik berbasis gas—khususnya combined cycle gas turbine (CCGT)—mampu menurunkan emisi karbon secara signifikan dibandingkan pembangkit berbahan bakar batu bara.
“Emisi CCGT berada di kisaran 350–550 gram CO₂ per kilowatt jam, atau sekitar 50–70% lebih rendah dibandingkan PLTU batu bara yang rata-rata menghasilkan lebih dari 1.000 gram CO₂ per kilowatt jam,” ujarnya.
Keunggulan gas tidak hanya terletak pada aspek emisi, tetapi juga pada fleksibilitas operasional. Chandra menilai pembangkit gas memiliki kemampuan fast ramping yang krusial untuk menjaga stabilitas jaringan listrik, khususnya ketika produksi listrik dari energi surya dan angin berfluktuasi.
“Faktor ini menjadikan gas sebagai penopang utama keandalan sistem kelistrikan selama periode transisi energi,” lanjutnya.
Chandra menambahkan, Pertamina NRE saat ini mengembangkan portofolio gas to power sebagai bagian dari strategi pertumbuhan ganda perusahaan, menjaga ketahanan energi sekaligus memperluas bisnis rendah karbon.
“Salah satu proyek utamanya adalah Jawa Satu Power berkapasitas 1.760 megawatt yang terintegrasi dengan fasilitas floating storage regasification unit (FSRU) di Jawa Barat, serta sejumlah proyek pembangkit gas untuk kebutuhan industri dan captive power,” ujarnya.
Meski demikian, Chandra mengingatkan risiko ketergantungan jangka panjang terhadap gas jika tidak diimbangi dengan kebijakan dekarbonisasi yang jelas. Ia menekankan pentingnya adopsi teknologi seperti carbon capture, utilization and storage (CCUS), hidrogen biru, dan biometana agar gas benar-benar berfungsi sebagai energi transisi, bukan penghambat pencapaian target Net Zero Emission 2060.
Komitmen Percepat Pengembangan EBT
Pemerintah menegaskan komitmennya untuk mempercepat pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) sebagai tulang punggung transisi energi nasional menuju target Net Zero Emission 2060.
Ketahanan Energi Nasional
Mewakili Direktur Jenderal EBTKE, M. Wahyu Jasa Diputra mengatakan penguatan EBT menjadi bagian tak terpisahkan dari upaya menjaga ketahanan energi nasional, sejalan dengan agenda swasembada energi dan komitmen penurunan emisi gas rumah kaca sektor energi.
Menurut Wahyu, Indonesia memiliki potensi EBT yang sangat besar, mencapai sekitar 3.687 gigawatt, dengan dominasi energi surya, hidro, angin, dan panas bumi yang tersebar di seluruh wilayah. Namun, pemanfaatan potensi tersebut masih menghadapi tantangan struktural, mulai dari keterbatasan infrastruktur transmisi hingga kesiapan industri dalam negeri.
“Pemerintah menilai optimalisasi potensi ini krusial untuk memenuhi kebutuhan energi jangka panjang sekaligus mengurangi ketergantungan pada energi fosil,” ujarnya.
Dalam peta jalan menuju NZE 2060, pemerintah menempatkan pengembangan EBT, elektrifikasi sektor transportasi dan rumah tangga, serta penerapan efisiensi energi sebagai strategi utama. Gas alam diposisikan sebagai energi transisi untuk menjaga keandalan sistem kelistrikan, sementara teknologi carbon capture, utilization and storage (CCUS), hidrogen, dan nuklir mulai dipersiapkan sebagai sumber energi rendah karbon jangka panjang.
Wahyu memaparkan, hingga Semester I 2025, bauran EBT nasional telah mencapai sekitar 16% atau meningkat 1,35% dibandingkan tahun sebelumnya. Pada periode yang sama, kapasitas terpasang pembangkit EBT bertambah sekitar 1,15 gigawatt, terutama dari pembangkit tenaga air dan surya. Meski demikian, capaian tersebut masih perlu ditingkatkan untuk memenuhi target bauran EBT sebesar 17–20% sesuai Kebijakan Energi Nasional.
Ke depan, pemerintah menargetkan investasi EBT hingga 2034 mencapai lebih dari Rp1.600 triliun, dengan potensi penciptaan sekitar 760 ribu lapangan kerja hijau dan penurunan emisi hingga 129 juta ton CO₂.
Wahyu menegaskan bahwa percepatan transisi energi membutuhkan kolaborasi lintas pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, BUMN, swasta, akademisi, dan masyarakat, agar transformasi energi dapat berjalan seimbang antara aspek ketahanan, keterjangkauan, dan keberlanjutan.
Peningkatan Produksi Migas
Sementara Koordinator Eksploitasi Migas Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM Maruf Afandi mengungkapkan bahwa pemerintah terus memperkuat kebijakan optimalisasi produksi minyak dan gas bumi nasional untuk menahan laju penurunan produksi sekaligus menekan defisit energi. “Peningkatan produksi migas menjadi prioritas strategis di tengah konsumsi domestik yang terus melampaui kapasitas produksi nasional,” ujarnya.
Maruf menjelaskan, konsumsi minyak Indonesia saat ini telah mencapai sekitar 1,6 juta barel per hari, sementara produksi berada di kisaran 600 ribu barel per hari, sehingga menciptakan defisit yang signifikan dan meningkatkan ketergantungan impor. Di sisi gas, produksi nasional sekitar 6.500 juta kaki kubik per hari masih relatif mencukupi, namun tantangan utama terletak pada pengembangan infrastruktur untuk memenuhi kebutuhan domestik sektor listrik, industri, dan rumah tangga.
“Untuk mengatasi tantangan tersebut, pemerintah mendorong eksplorasi secara masif dengan membuka lebih dari 75 blok migas potensial, serta mereaktivasi sekitar 4.500 sumur dan lapangan idle. Optimalisasi lapangan produksi juga dilakukan melalui penerapan teknologi lanjutan seperti multi-stage fracturing, horizontal drilling, dan berbagai metode enhanced oil recovery (EOR) guna meningkatkan recovery factor dari lapangan eksisting,” jelasnya.
Maruf menambahkan, pemerintah telah memperkenalkan fleksibilitas kontrak dan insentif fiskal untuk meningkatkan daya tarik investasi hulu migas.
Skema kontrak cost recovery dan gross split yang diperbarui, pembebasan pajak tidak langsung pada fase eksplorasi, serta percepatan perizinan melalui regulasi baru, didalamnya termasuk Peraturan Menteri ESDM No.14 Tahun 2025, diharapkan dapat memperbaiki keekonomian proyek dan mempercepat tambahan produksi.
“Ke depan, pemerintah menargetkan akselerasi produksi melalui kolaborasi antara kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) dan mitra teknologi maupun investor, termasuk melalui kerja sama operasi dan pengelolaan sumur tua,” ujarnya.
Maruf menegaskan bahwa keberhasilan kebijakan ini akan sangat bergantung pada percepatan adopsi teknologi, kepastian regulasi, serta koordinasi erat antara Kementerian ESDM, SKK Migas, dan pelaku industri untuk memastikan peningkatan lifting migas berjalan berkelanjutan.
Arah Kebijakan Energi Indonesia
Dalam kesempatan yang sama, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Dina Nurul Fitriah menyoroti kebijakan energi Indonesia ke depan, menurutnya kebijakan harus diarahkan untuk menyeimbangkan aspek ketersediaan, keterjangkauan, aksesibilitas, dan keberterimaan energi bagi masyarakat dan industri.
Dina menjelaskan, pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2025 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) sebagai landasan baru arah pembangunan energi. Regulasi ini menggantikan PP No. 79 Tahun 2014 dengan penekanan pada penguatan kemandirian energi, percepatan pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT), optimalisasi gas sebagai energi transisi, serta pencapaian target Net Zero Emission pada 2060.
“Dalam proyeksi jangka panjang, bauran EBT ditargetkan mencapai 70–72% pada 2060 dengan pasokan energi primer sebesar 665–775 juta ton setara minyak (TOE),” ungkapnya.
Meski demikian, Dina menilai tantangan struktural masih signifikan, mulai dari penurunan produksi minyak, tingginya impor BBM dan LPG, hingga keterbatasan integrasi infrastruktur gas dan listrik antarwilayah. Kondisi ini menuntut kebijakan investasi yang konsisten dan terkoordinasi lintas sektor.
Dina memaparkan, dari sisi permintaan, konsumsi energi final nasional diperkirakan tumbuh 1,3–1,4% per tahun hingga 2060, dengan dominasi sektor industri mencapai 63–65% dan peningkatan elektrifikasi di seluruh sektor ekonomi.
Pemerintah juga mendorong diversifikasi energi rumah tangga melalui substitusi LPG ke gas, listrik, biogas, dan dimethyl ether (DME) guna mengurangi ketergantungan impor dan tekanan fiskal subsidi energi.
Terkait peluang bisnis sektor ESDM, dia menilai akan semakin besar, terutama melalui hilirisasi mineral, pengembangan EBT, dan proyek strategis nasional untuk menekan impor energi.
“Keberhasilan strategi tersebut bergantung pada kepastian regulasi, dukungan pembiayaan, serta kolaborasi antara pemerintah, BUMN, dan swasta agar transisi energi dapat berjalan seimbang antara pertumbuhan ekonomi, ketahanan energi, dan target dekarbonisasi nasional,” ujarnya. (*)

