30.1 C
Jakarta

Kesombongan Membawa Kehancuran, Takwa Mengundang Kemuliaan

Baca Juga:

SOLO,MENARA62.COM – Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) kembali menggelar Kajian Tafsir Al-Qur’an dengan topik Surah Al-Fajr, Kamis (6/2/2025), yang diselenggarakan secara daring melalui Zoom Meeting. Kajian ini merupakan bagian dari program pengembangan Al-Islam dan Kemuhammadiyahan bagi dosen dan tenaga kependidikan UMS, yang rutin diadakan setiap Kamis pukul 12.30 – 13.30 WIB.
Hadir sebagai narasumber, Ustadz Dr. Ainur Rha’in, S.Th.I., M.Th.I., yang membahas secara mendalam makna Surah Al-Fajr, baik dari segi tafsir maupun implikasi ajarannya dalam kehidupan. Kajian diawali dengan pembacaan ayat-ayat Surah Al-Fajr, kemudian dilanjutkan dengan analisis tafsir dari berbagai perspektif ulama.
Dalam penjelasannya, Ainur Rha’in menyebutkan bahwa terdapat dua pendapat utama di kalangan ulama mengenai makna Al-Fajr dalam ayat pertama. Pendapat pertama menafsirkan Al-Fajr sebagai waktu subuh, yakni saat kegelapan malam mulai tergantikan oleh cahaya pagi. Allah bersumpah dengan waktu ini karena memiliki keutamaan besar.
Pendapat kedua menyatakan bahwa yang dimaksud adalah shalat subuh, yang disebut dalam hadis sebagai shalat yang paling berat bagi orang-orang munafik.
“Rasulullah SAW bersabda dalam HR. Muslim No. 657, Barangsiapa yang shalat subuh (secara berjamaah), maka ia berada dalam lindungan Allah,” kata Ainur.
Terkait makna “malam-malam yang sepuluh”, terdapat dua pendapat di kalangan ulama. Mayoritas ulama berpendapat bahwa yang dimaksud adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, yang di dalamnya terdapat keutamaan ibadah haji dan hari raya Idul Adha.
Pendapat kedua menyatakan bahwa yang dimaksud adalah sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, dimana terdapat Lailatul Qadar, malam yang lebih baik dari seribu bulan.
Ainur Rha’in mengutip HR. Bukhari No. 969, yang menyatakan bahwa amalan saleh yang dilakukan di sepuluh hari pertama Dzulhijjah lebih dicintai Allah dibandingkan amalan di hari-hari lainnya, bahkan lebih utama daripada jihad, kecuali jihad dengan jiwa dan harta yang tidak kembali.
Kajian juga menyoroti nasib kaum-kaum terdahulu yang dibinasakan Allah karena kesombongan dan kedurhakaan mereka. Dalam Surah Al-Fajr ayat 6-14, Allah menyebut tiga kaum besar yang mengalami kehancuran: (1) Kaum ‘Aad, Kaum yang terkenal dengan bangunan megah dan peradaban yang maju. Namun, mereka ingkar terhadap Nabi Hud AS dan akhirnya dibinasakan oleh angin topan yang dahsyat; (2) Kaum Tsamud, dikenal sebagai bangsa yang mengukir rumah-rumah mereka di gunung batu. Mereka menolak ajakan Nabi Saleh AS dan akhirnya dihancurkan dengan suara keras yang mengguncang bumi; (3) Kaum Fir’aun, Penguasa Mesir yang terkenal dengan kebengisan dan kesewenang-wenangan terhadap Bani Israil. Kesombongan Fir’aun membuatnya ditenggelamkan bersama tentaranya di Laut Merah.
“Kaum-kaum ini adalah contoh nyata bagaimana kesombongan dan kezaliman membawa kehancuran. Allah hanya mengirim angin untuk membinasakan Kaum ‘Aad, suara menggelegar untuk menghancurkan Kaum Tsamud, dan menenggelamkan Fir’aun di lautan. Ini adalah azab dunia, sedangkan di akhirat mereka akan menerima siksa yang jauh lebih berat,” jelas Ainur Rha’in.
Lebih lanjut, kajian ini membahas ayat yang menggambarkan pola pikir orang kafir yang mengukur kemuliaan dan kehinaan berdasarkan harta dan jabatan. Dalam Surah Al-Fajr ayat 15-16, Allah menjelaskan bahwa ketika seseorang diberi rezeki berlimpah, ia menganggap dirinya dimuliakan. Sebaliknya, jika diuji dengan kesulitan, ia merasa dihina.
“Pandangan ini adalah kesalahan besar. Kemuliaan sejati dalam Islam bukan diukur dari kekayaan, tetapi dari keimanan dan ketakwaan. Banyak tokoh-tokoh kaya seperti Fir’aun, Qarun, dan kaum ‘Aad yang justru dihancurkan oleh Allah karena kesombongan mereka,” terang Ainur Rha’in, merujuk pada Tafsir As-Sama’ani dan Tafsir Al-Qurthubi.
Dari kajian ini, terdapat beberapa pesan utama yang dapat diambil, yaitu : (1) Tolak ukur orang kafir adalah harta dan jabatan, sedangkan dalam Islam, kemuliaan dinilai dari keimanan dan ketakwaan. Miskin bukan berarti hina, kaya belum tentu mulia; (2) Banyak kaum terdahulu yang kaya raya tetapi dihancurkan Allah karena kesombongan mereka; (3) Kemuliaan tidak terletak pada kekayaan, tetapi pada ketaatan kepada Allah. (*)
- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!