Oleh: Budiawan, Cangkrukan
JAKARTA, MENARA62.COM – Di sebuah desa sunyi di wilayah Kurdistan Irak, lilin-lilin dinyalakan dan dupa dibakar. Para tetua mengenakan jubah putih, berdiri menghadap api yang menyala dalam altar batu, dan memanjatkan doa kepada Ahura Mazda—Tuhan yang Maha Esa dalam keyakinan kuno Zoroastrianisme. Ini bukan adegan dari masa lalu. Ini nyata, hari ini, di abad ke-21.
Generasi muda Kurdi, yang telah muak dengan perang, fanatisme, dan politisasi agama, mulai melirik kembali ajaran leluhur mereka. Di tengah kekecewaan terhadap agama-agama besar yang mereka warisi, terutama Islam dalam bentuknya yang penuh konflik dan sektarianisme, mereka bertanya-tanya: apakah kita telah mengenal Tuhan dengan cara yang benar?
Kembali ke Api: Sebuah Simbol Pencarian Makna
Kebangkitan Zoroastrianisme di kalangan Kurdi bukan sekadar fenomena spiritual, melainkan ekspresi kekecewaan kolektif terhadap institusi agama yang gagal menunaikan janji-janji damainya. Mereka menyaksikan terlalu banyak darah tumpah atas nama Tuhan. Dari perang Irak-Iran, genosida Saddam terhadap Kurdi, hingga konflik internal Sunni-Syiah—agama tak lagi menjadi tempat bernaung, tapi justru sering menjadi alasan untuk menindas.
Di tengah kebingungan ini, api Zoroaster kembali menyala. Tidak sekadar sebagai simbol purifikasi, tapi sebagai bentuk perlawanan terhadap interpretasi agama yang keras, eksklusif, dan terjebak dalam rivalitas politik.
Sejarah yang Berulang: Dari Zoroaster ke Islam, Lalu Kembali?
Zoroastrianisme adalah agama resmi Kekaisaran Persia sejak abad ke-6 SM, dan mencapai puncak kejayaan di bawah Dinasti Sassanid. Namun setelah penaklukan Arab pada abad ke-7 M, wilayah Persia (termasuk wilayah Kurdi) secara perlahan memeluk Islam. Banyak yang beralih agama bukan karena keyakinan spiritual semata, tapi karena tekanan sosial, ekonomi, dan politik.
Namun, seperti bara dalam abu, warisan Zoroaster tidak pernah benar-benar padam. Meski secara formal mayoritas penduduk menjadi Muslim, nilai-nilai Zoroaster tetap hidup dalam budaya, sastra, dan bahkan ritual-ritual keagamaan, khususnya di Persia yang kemudian berkembang menjadi Iran modern.
Sebagian ahli sejarah bahkan menyebut bahwa kelompok-kelompok Syiah awal di Persia adalah ekspresi dari semangat kebangsaan yang membungkus dirinya dengan baju Islam. Ritual kesedihan atas wafatnya Imam Husain di Karbala, penghormatan terhadap “keluarga suci”, hingga hierarki kepemimpinan spiritual dalam Syiah, banyak mengandung jejak-jejak spiritualitas Zoroaster. Bagi beberapa kalangan, Syiah menjadi ‘Islam Persia’—yakni Islam yang telah dipenuhi ruh lama dari Zoroastrianisme.
Lalu, Mengapa Generasi Baru Justru Menolak Agama?
Karena yang mereka lihat bukanlah keteduhan ajaran tauhid, tapi rivalitas yang membingungkan. Sunni dan Syiah saling membenci. Takfirisme menyebar. Masjid dijadikan panggung politik. Dan para pemuka agama lebih sibuk dengan fatwa permusuhan daripada empati pada kemanusiaan.
Gen Z dan Alpha bukan anti-Tuhan. Tapi mereka kecewa pada cara kita—generasi sebelumnya—mengenalkan Tuhan kepada mereka.
Kita mengajarkan agama dengan suara tinggi, penuh larangan, dan menumbuhkan rasa takut. Kita lupa mengenalkan Tuhan dengan kelembutan, logika, dan cinta. Kita terlalu fokus pada formalisme ibadah, lupa memberi ruang dialog untuk memahami makna spiritual yang lebih dalam.
Pelajaran dari Api yang Menyala Kembali
Apa yang terjadi di Kurdistan seharusnya menjadi cermin bagi kita semua, terutama generasi Baby Boomer dan Gen X. Bahwa cara kita menyampaikan nilai-nilai Islam bisa jadi malah menjauhkan generasi muda dari agama, bukan mendekatkan.
Jika kita ingin Islam tetap menjadi cahaya peradaban, maka kita harus menyampaikan Islam sebagaimana ia datang: sebagai rahmat bagi semesta. Kita harus kembali pada misi kenabian yang membebaskan, bukan mengekang; yang menyatukan, bukan memecah; yang membawa damai, bukan permusuhan.
Agama tidak rusak oleh orang-orang yang membencinya dari luar. Agama rusak oleh umatnya sendiri, yang menyalahgunakannya untuk ambisi politik dan dominasi.
Dan ketika agama tak lagi membawa damai, jangan salahkan jika orang-orang mencari cahaya di tempat lain—bahkan jika itu berarti menyalakan kembali api yang telah padam ribuan tahun lalu.
—
Referensi Pendukung
1. Suara.com (2019)
“Muak Perang yang Brutal, Mereka Kembali ke Ajaran Kuno Zoroaster”
[Link artikel](https://www.suara.com/news/2019/10/27/151659/muak-perang-yang-brutal-mereka-kembali-ke-ajaran-kuno-zoroaster)
— Laporan lapangan yang menggambarkan fenomena kembalinya masyarakat Kurdi (khususnya generasi muda) ke ajaran Zoroaster karena trauma dan kekecewaan terhadap konflik berkepanjangan dalam nama agama.
2. Touraj Daryaee (2013)
“The Oxford Handbook of Iranian History”
— Merinci sejarah Zoroastrianisme sebagai agama utama Kekaisaran Persia dan bagaimana ia tergantikan oleh Islam pasca-penaklukan Arab, serta pengaruhnya terhadap budaya dan keyakinan Syiah di kemudian hari.
3. Hamid Dabashi (2011)
“Shi’ism: A Religion of Protest”
— Mengupas sisi politis dan spiritual dari Syiah, termasuk bagaimana unsur-unsur nasionalisme Persia dan nostalgia pra-Islam ikut membentuk doktrin dan ekspresi keagamaannya, khususnya di Iran dan wilayah Kurdi.
—
Lampiran:
Fenomena sebagian masyarakat Kurdi yang kembali ke ajaran Zoroastrianisme memang nyata, namun tidak bisa disederhanakan sebagai “kegagalan dakwah Islam” semata. Terdapat sejumlah faktor kompleks yang melatarbelakangi tren ini:
1. Konteks Sejarah
* Zoroastrianisme adalah agama resmi Kekaisaran Persia dan tersebar luas di kawasan yang kini dikenal sebagai Irak utara, Iran barat, dan sebagian Turki, termasuk wilayah-wilayah beretnis Kurdi.
* Setelah penaklukan Arab pada abad ke-7 M, wilayah tersebut berangsur-angsur memeluk Islam, namun identitas budaya pra-Islam tetap hidup di memori kolektif.
2. Kekerasan dan Trauma
* Kekejaman kelompok militan seperti ISIS yang mengatasnamakan Islam menimbulkan trauma mendalam. Kekerasan ini menodai citra Islam di mata banyak generasi muda Kurdi, yang sudah sejak lama merasa terpinggirkan secara politik dan sosial.
3. Kebangkitan Identitas Etnik Kurdi
* Kembalinya sebagian orang ke Zoroastrianisme lebih merupakan bentuk pencarian akar budaya dan identitas, bukan murni pencarian agama baru.
* Gerakan ini juga menjadi semacam penegasan jati diri yang berbeda dari Arab-Muslim atau Turki-Muslim, sebagai bentuk resistensi terhadap dominasi politik dan budaya.
4. Modernitas dan Globalisasi
* Di tengah krisis spiritual global dan kebingungan identitas akibat modernitas, beberapa kalangan justru mencari stabilitas dalam tradisi lama atau spiritualitas kuno.
5. Fenomena yang Masih Terbatas
* Mayoritas masyarakat Kurdi tetap memeluk Islam (baik Sunni maupun Syiah). Gerakan kembali ke Zoroastrianisme masih berskala kecil, namun simboliknya cukup besar.
—
Referensi
1. Omarkhali, Khanna (2011). “The Status of Zoroastrianism amongst the Kurds.”
2. BBC News (2016). “The Kurds Who Are Turning to Zoroastrianism.”
3. Foltz, Richard (2013). Religions of Iran: From Prehistory to the Present.
4. Maisel, Sebastian (2017). The Kurds: An Encyclopedia of Life, Culture, and Society.
5. Al-Monitor (2018). “Why Are Some Kurds Converting to Zoroastrianism?”
6. Rudaw (2015–2020) – Media Kurdi yang aktif meliput kebangkitan Zoroastrianisme di wilayah Kurdistan Irak.
📌 Catatan Tambahan:
Beberapa pengamat juga mencatat adanya upaya menyusupkan ide-ide Zoroaster ke dalam kelompok tertentu dalam Islam, terutama melalui jalur esoterik Syiah. Namun, hal ini masih menjadi perdebatan akademik dan belum bisa digeneralisasi.
