MENJADI tenaga kesehatan Nusantara Sehat harus berani mengambil risiko. Tidak hanya risiko jauh dari keluarga, tetapi juga risiko kemungkinan terkena penyakit yang banyak melanda warga dimana tenaga kesehatan tersebut ditugaskan.
Itu pula yang dialami 7 tenaga medis NS Distrik Iwur, Pegunungan Bintang, Papua. Dari 7 tenaga medis yang bertugas di wilayah endemis malaria tersebut, 6 diantaranya harus mencicipi menjadi pasien malaria. Tidak sekali, bahkan ada juga tenaga kesehatan yang berkali-kali terserang malaria.
Sejak ditugaskan di wilayah Distrik Iwur 2015 hingga berakhir masa tugas tahun 2017, setidaknya Sri Rachmayanti (tenaga kesmas) tercatat 3 kali malaria. Lalu Ade Tri Hastuti (analis lab) 2 kali, dr. Firman Budi Setiawan 3 kali, Intan Br Sinaga (perawat) 1 kali, Nurasma Hamra Yati (bidan) 3 kali, dan Fitria Anggraini (tenaga kesling) 4 kali. Hanya Aisyah Nurkumalasari (gizi) satu-satunya tenaga medis NS yang lolos dari gigitan nyamuk malaria.
“Jadi meski kami orang-orang yang tahu dan bekerja untuk membuat masyarakat sehat, tetap saja bisa terkena malaria,” kata Fitria melalui sambungan telepon, Sabtu (6/4).
Penyakit malaria di wilayah Distrik Iwur. Keberadaannya saat itu menduduki urutan ke-2 setelah Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dalam urutan 10 penyakit tertinggi pada tahun 2016.
Fitria Anggraini mengaku dari 4 kali terserang malaria, yang paling parah adalah serangan malaria pertama pada 19 Oktober 2015. Saat itu Fitria tengah betugas di Puskesmas.
Tak seperti hari biasanya, Fitria merasakan ada perbedaan pada kondisi tubuhnya. Rasa mual dan lemas memaksa Fitria pulang cepat dari Puskesmas hari itu. Gejala lain pun datang berurutan, demam tinggi, muntah, nyeri kepala, pegal-pegal harus ia rasakan.
“Gejalanya hampir satu minggu, setelah seminggu di-RDT baru positif malaria,” lanjut Fitria.
Fitria mengaku gejala awal malaria sangat berat. Selama sepekan tubuhnya mengalami demam, menggigil, muntah, dan suhu tubuh mencapai 39-40 derajat celcius, namun ia tetap berjuang untuk survive.
“Sebenarnya yang bikin berat itu gejalanya, tapi setelah tahu positif malaria, dilakukan terapi pengobatan yang tepat, yah lumayan membantu,” ucapnya.
Teman-teman satu tim terus merawat Fitria, dorongan agar segera sembuh pun terus diberikan kepada Fitria. Barulah sekitar 2 minggu, Fitria sudah dinyatakan pulih.
Kondisi yang paling menegangkan bagi peserta NS di Distrik Iwur ini adalah saat malaria menyerang 3 orang sekaligus dalam waktu yang sama, yakni dr. Firman Budi Setiawan, Intan Br. Sinaga, dan Ade Tri Hastuti pada November 2015. Bahkan ketiganya harus dirujuk ke Sentani, Jayapura dengan menggunakan pesawat. Beruntung, setelah melewati perawatan di sana ketiganya dinyatakan sembuh.
Dianggap seperti flu
Malaria menjadi momok menakutkan bagi sebagian tenaga kesehatan Nusantara Sehat. Lain bagi warga Distrik Iwur yang merupakan wilayah endemis malaria, yang menganggap malaria layaknya penyakit flu.
Saking biasanya, kata Nurasma Hamra, ada seorang anak usia 6 tahun datang sendiri ke Puskesmas dengan suhu badan 40 derajat dan menggigil hebat. Anak tersebut terdiagnosis malaria.
“Meski kena malaria, anak kecil itu masih sanggup berdiri dan tampak kuat untuk mendatangi Puskesmas seorang diri,” katanya.
Saat itu, berdasarkan data distribusi penyakit pasien rawat jalan di Puskesmas Iwur, Distrik Iwur pada Desember 2015, kasus malaria positif sebanyak 42 orang dan malaria klinis sebanyak 10 orang. Kasus tersebut meningkat pada 2016 menjadi 100 orang penderita malaria positif, dan 15 orang penderita malaria klinis.
Malaria menjadi jenis penyakit dengan angka kematian tertinggi nomer dua setelah ISPA di Distrik Iwur.
Hingga akhir Mei 2017 bertepatan dengan berakhirnya penugasan mereka, jumlah kasus malaria positif tercatat 105 penderita dan 40 orang penderita malaria klinis.
Selain malaria, banyak lagi tantangan yang mereka lalui. Walau jadi beban, tugas tetap diemban. Ketulusan menjadi modal utama mereka dalam meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat di pedalaman Papua, di Distrik Iwur.
Hingga akhir penugasan, banyak perubahan yang terjadi atas jasa mereka. Mulai dari berperilaku hidup bersih dan sehat, memberikan makanan bergizi untuk keluarga, cara memasak masakan bergizi untuk anak, dan banyak lagi perubahan lainnya.
Kini tiga pekan menjelang Hari Malaria Sedunia yang jatuh setiap tanggal 25 April, para tenaga kesehatan NS yang bertugas di daerah endemis malaria berharap Indonesia bisa segera mencapai eliminasi kasus malaria.
Untuk mengupayakan hal itu, pemerintah Indonesia melakukan serangkaian strategi dalam mengatasi malaria. Mulai dari pengendalian vektor terpadu sesuai dengan spesifik lokal vector, pembagian kelambu malaria, penyemprotan dinding rumah, dan menggunakan repellent. Sementara upaya lainnya adalah dengan manajemen lingkungan, termasuk menebarkan ikan pemakan jentik.
Untuk pengobatan, kini telah dilakukan terapi kombinasi berbasis Artemisin (Artemisinin Based Combination Therapy /ACT) sesudah konfirmasi laboratorium. Upaya pengobatan ini dinilai sangat efektif untuk menyembuhkan malaria.
Tidak hanya itu, pemerintah daerah diharapkan mampu menciptakan inovasi dalam menanggulangi masalah malaria di daerahnya masing-masing. Seperti yang dilakukan warga Teluk Bintuni dengan Juru Malaria Kampung dan warga Ternate dengan program Sapu Bersih (Saber) malaria.