JAKARTA, MENARA62.COM – Perkawinan anak di bawah usia 18 tahun mengalami penurunan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2019, terjadi penurunan proporsi perempuan umur 20 -24 tahun yang berstatus kawin sebelum umur 18 tahun secara nasional yakni 11,21 persen (2018) turun menjadi 10,82 persen (2019).
Meski terjadi penurunan prosentasi perempuan kawin sebelum umur 18 tahun, tetapi masih terdapat 22 provinsi dengan angka perkawinan anak yang lebih tinggi dari angka nasional. Padahal dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan, batas usia perkawinan adalah 19 tahun.
Karena itu, Ketua Umum Kowani Dr Ir Giwo Rubianto Wiyogo memandang pentingnya untuk melakukan sosialisasi terkait Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang perkawinan, terutama terkait batas usia perkawinan.
“Logikanya, dengan adanya peningkatan batas usia perkawinan akan membuat praktik perkawinan anak berkurang, atau bahkan tidak ada. Namun, faktanya tidaklah demikian, masih ada wilayah dengan angka perkawinan di bawah umur yang cukup tinggi,” kata Giwo pada Talkshow Sosialisasi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan dengan tema Batas Usia Perkawinan dalam Berbagai Perspektif yang diselenggarakan secara virtual, Jumat (7/8/2020).
Oleh karenanya, menjadi penting untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat terkait Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan agar masyarakat dapat mengedukasi lingkungannya, terutama terkait batas usia perkawinan. Giwo mengatakan bahwa pencegahan perkawinan anak merupakan tanggung jawab kita bersama, karena begitu besar taruhannya bagi eksistensi anak bangsa.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga juga memiliki pandangan serupa. Menurutnya persoalan perkawinan dibawah umur k merupakan kekhawatiran kita semua, karena dampaknya mengakibatkan banyak kegagalan yang dialami oleh Negara, masyarakat, keluarga, bahkan oleh anak itu sendiri.
“Perkawinan Anak harus dihentikan! Batas usia perkawinan 19 tahun harus terus disosialisasikan secara intensif dan masif. Dengan adanya sinergi yang dilakukan bersama antara pemerintah dengan lembaga masyarakat, dunia usaha, dan media, kami berharap dapat mengubah cara pandang para orangtua dan keluarga yang mempunyai tanggung jawab dan berkewajiban untuk memerdekakan anak-anak Indonesia dari jeratan praktik perkawinan anak,” tegas Bintang.
Sebelumnya, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sudah disahkan pada tahun 2019. Dalam undang-undang tersebut telah mencantumkan perubahan usia minimal perkawinan dari 16 tahun bagi perempuan menjadi 19 tahun. Hal ini telah mengakomodasi prinsip kesetaraan dan juga bentuk afirmasi yang progresif.
Untuk mempercepat penurunan perkawinan anak, sejak 2018 Kemen PPPA telah melakukan beberapa upaya, dan dikuatkan kembali pada 2020. Upaya tersebut diantaranya Gerakan Bersama Pencegahan Perkawinan Anak (Geber PPPA) yang keanggotaannya melibatkan 17 kementerian/lembaga dan 65 lembaga masyarakat. Selain itu, 20 provinsi dengan angka perkawinan anak tertinggi (tahun 2018) juga telah membuat Pakta Integritas yang melibatkan dunia usaha, para tokoh agama dari 6 (enam) lintas agama, Forum Anak, dan Jurnalis Kawan Anak.
Berdasarkan data BPS pada 2019, Provinsi Kalimantan Selatan menempati posisi pertama dengan jumlah perkawinan anak paling tinggi, yakni 21,2 persen. Sebuah provinsi akan menjadi fluktuatif terhadap perkawinan anak jika tidak gencar melakukan upaya dalam pencegahan perkawinan anak.
Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kemen PPPA, Lenny N Rosalin menjelaskan dan mengingatkan kepada seluruh pemangku kepentingan utamanya para pimpinan daerah bahwa banyak akibat yang terjadi jika perkawinan anak kita biarkan. Ada 3 (tiga) dampak yang paling tampak dan mudah diukur, yakni dampak terhadap pendidikan, kesehatan, dan ekonomi.
Pertama, terkait pendidikan. Sebagian besar perkawinan anak menyebabkan anak putus sekolah, sehingga menghambat capaian Wajib Belajar 12 Tahun.
Kedua, terkait kesehatan. Kondisi kesehatan reproduksi seorang anak jika memiliki anak, pemenuhan gizinya ketika mereka juga harus mengasuh anak mereka, bahkan hal terburuk adalah risiko kematian ibu dan anak.
Ketiga, terkait ekonomi. Seorang anak yang menikah pada usia anak susah untuk mendapatkan pekerjaan yang layak untuk menafkahi keluarganya, mendapatkan upah yang rendah, lalu akhirnya memunculkan kemiskinan dan masalah pekerja anak.
Sementara itu, Bupati Bogor, Ade Yasin mengungkapkan bahwa berdasarkan Sensus BPS 2018 karakteristik seseorang yang menikah di bawah umur adalah anak perempuan pada rumah tangga dengan pengeluaran lebih rendah, anak perempuan di daerah pedesaan, dan anak perempuan berpendidikan rendah. Hal ini dilatarbelakangi oleh faktor tradisi, budaya, dan ekonomi. Ade menambahkan, Pemerintah Kab. Bogor telah melakukan beberapa upaya dalam menekan angka perkawinan anak.
“Upaya yang kami lakukan untuk mencegah perkawinan anak diantaranya menyediakan akses ke pendidikan formal seperti Program Bogor Cerdas, mendidik kaum muda tentang kesehatan reproduksi dan hak-hak anak, serta melakukan sosialisasi kesetaraan gender hingga tingkat akar rumput,” jelasnya.
Di tingkat desa, Kasubdit Kesejahteraan Masyarakat Ditjen Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes-PDTT), Ibrahim Ben Bella Bouty menjelaskan bahwa upaya pencegahan perkawinan anak yang dilakukan oleh Kemendes-PDTT adalah melalui fasilitasi Desa Inklusif dengan menggunakan pendekatan Desa Inklusif yang Ramah Anak.