Menyambut Milad ke-106 Muhammadiyah
Oleh Muhammad Izzul Muslimin
Hampir semua orang mengenal sosok KH Ahmad Dahlan sebagai pendiri Persyarikatan Muhammadiyah. Tapi, mungkin, tidak banyak orang yang tahu bahwa Kiai Ahmad Dahlan adalah seorang guru. Bahkan, salah satu alasan penting kelahiran Muhammadiyah pada 18 November 1912 adalah untuk menghidupkan sekolah yang dirikan Ahmad Dahlan setahun sebelumnya. Konon, ia pernah berpesan agar sekolah tersebut tetap hidup atas dukungan organisasi.
Ia, dengan demikian telah meletakkan dasar-dasar tradisi berorganisasi di Muhammadiyah di atas kesadaran tentang arti penting pendidikan. Mungkin itulah kenapa pada usianya yang ke-106, Muhammadiyah menjadi organisasi terdepan dalam mengabdi kepada bangsa ini melalui jalur pendidikan. Karena orientasi dan sentuhan tangan dingin sang guru, Ahmad Dahlan, tradisi kependidikan yang melembaga di persyarikatan tersebut, Muhammadiyah kini tumbuh menjadi organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia, bahkan dunia. bila dilihat dari jumlah lembaga amal usahanya dengan ribuan sekolah dari pendidikan usia dini hingga perguruan tinggi, selain rumah sakit dan panti asuhan.
Perintis pendidikan modern
Dilahirkan pada 1 Agustus 1868 di Yogyakarta dengan nama Muhammad Darwis, Ahmad Dahlan tumbuh dalam lingkungan kultur Jawa dan keislaman yang kental. Ayahnya, KH Abu Bakar, adalah seorang khatib di Masjid Kesultanan Yogyakarta. Ibundanya, Siti Aminah adalah putri KH Ibrahim, penghulu Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Kelak, ia pun menikahi gadis Kauman, Siti Walidah (lebih dikenal dengan nama Nyai Ahmad dahlan), putri dari KH M Fadhil, Ulama dan Penghulu Keraton Yogyakarta. Darwis adalah seorang pencari ilmu yang gigih, tidak hanya dalam lingkup ilmu-ilmu agama tetapi juga ilmu modern. Dua kali menunaikan ibadah haji selalu tak segera pulang kecuali memilih tinggal beberapa waktu, bahkan hingga dua tahun pada kepergiannya yang kedua pada tahun 1903. Selama di Mekah, ia sempat belajar kepada Syeh Ahmad Khatib Al Minangkabawy yang juga guru dari pendiri NU, KH. Hasyim Asyari. Dari gurunya itulah nama Ahmad Dahlan berasal. Di Mekah, selain Syekh Ahmad Khatib, Ahmad Dahlan juga berjumpa dengan beberapa guru asal Indonesia, seperti Syeikh Nawawi al Bantani, Syeikh Machfudz Termas, Syaikh Jamil Jambek, dan Syeikh Najrawi Banyumas. Ia juga belajar kepada Ulama Mekah seperti Syeihk Hayat dan Syeikh Bakri Syatho.
Dari sanalah tumbuh orientasi progresif untuk mengelaborasi Islam ke dalam tatanan sosial nyata sesuai tantangan pada era itu: penjajajahan, kebodohan, semangat cinta tanah air. Ide-ide progresif pada jiwa Ahmad Dahlan terutama berkat perjumpaannya dengan tokoh pergerakan Rasyid Ridha, selain berguru secara literal dengan sejumlah ulama visioner, terutama karya-karya Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Nah, untuk memberikan pemahaman-pemahaman dasar seperti itu, sekolah merupakan wahana yang paling tepat. Sekolah yang ia bayangkan adalah sekolah sebagaimana yang dikembangkan Belanda kala itu dengan koreksi pada karakter sekulerismenya.
Sepulang dari Tanah Suci Mekah pada tahun 1905, Ahmad Dahlan lantas menjadikan surau atau langgar milik ayahnya sebagai tempat mengajarkan ilmu agama yang ia kuasai. Yang menarik, KH Ahmad Dahlan lebih suka mencari murid daripada didatangi murid. KH Ahmad Dahlan secara aktif berkeliling di kampungnya untuk mengajak anak-anak yang mau belajar agama. Akhirnya ia mempunyai beberapa murid dari hasil bergerilya itu.
Atas usulan dan bantuan murid-muridnya di Sekolah Guru dan beberapa pengurus Budi Utomo, KH Ahmad Dahlan akhirnya mendirikan sekolah klasikal di rumahnya yang mengajarkan pelajaran agama dan umum. Sekolah rintisan inilah yang akhirnya melahirkan sekolah formal Muhammadiyah yang pertama kali didirikan oleh KH Ahmad Dahlan pada tahun 1911.
Fasilitas sekolah adalah berupa ruang tamu berukuran 2,5 x 6 meter. Dengan murid hanya sembilan anak, ruang kelas hanya menggunakan tiga meja dan tiga bangku sekolah kayu bekas serta satu papan tulis. Hari-hari berikutnya, jumlah siswa bertambah hingga 20 anak pada enam bulan kemudian.
Belakangan, sekolah ini menerima bantuan dari Boedi Oetomo berupa guru umum tamatan Kweekschool. Cerita yang terakhir ini semakin menjelaskan kemodernan sekolah yang Ahmad Dahlan dirikan. Menurut Abdul Munir Mulkhan, Guru Besar Pendidikan Islam dari UIN Sunan Kalijaga, sekolah tersebut dikelola secara modern dengan metode dan kurikulum baru: antara lain diajarkan berbagai ilmu pengetahuan yang berkembang pada awal abad ke-20.
Perkembangan sekolah Muhammadiyah dapat dibilang sangat pesat. Dalam catatan Mulkhan, pada tahun 1922, misalnya, persyarikatan tersebut telah mendirikan 8 jenis sekolahan dengan melibatkan 73 orang guru dan 1.019 orang siswa. Sekolah itu adalah Opleiding School di Magelang (Jawa Tengah), Kweek School di Magelang dan Purworejo (Jawa Tengah), Normaal School di Blitar, NBS di Bandung (Jawa Barat), Algemeene Midelbar School di Surabaya (Jawa Timur), TS di Yogyakarta, Sekolah Guru di Kotagede (Yogyakarta), dan Hoogere Kweek School di Purworejo (Jawa Tengah). Bila ditambahkan dengan sekolah-sekolah yang berada di Kauman, Lempuyangan, Suronatan, dan Karangkajen, semua berjumah 12 sekolah. Di tahun itulah Taman Siswa baru berdiri.
Egaliter, empati dan dialogis
Cara mengajar Ahmad Dahlan termasuk unik dibanding tradisi pengajaran kiai pada umumnya pada masa itu. Selain mengajarkan ilmu agama, Ahmad Dahlan juga mengajari murid-muridnya bermain biola dan beberapa kegiatan lain, semisal pencak silat dan berapa olahraga permainan yang memang disukai anak-anak. Pendekatan pedagogis ia kemas dengan cara yang akrab, terbuka dan dialogis, bukan sebagaimana para guru dan kiai pada umumnya yang sengaja menjaga jarak dan menjaga image (jaim) dari muridnya. Merasa paling tahu dan paling benar adalah hal yang paling ia hindari.
Dengan cara seperti itu, selain membuat hubungan yang akrab antara guru dan murid, sang guru dapat memotivasi anak didik untuk berpikir kreatif, kritis, dan inovatif. Hasilnya, banyak murid-murid lebih suka bermain dan beraktivitas di langgar ketimbang berada di rumah mereka. Murid-murid inilah yang di kemudian hari menjadi penyokong dan penerus perjuangan KH Ahmad Dahlan membesarkan Muhammadiyah. Mereka adalah, antara lain Mohammad Syuja’, Fachroddin, Ki Bagus Hadikusuma, Mohammad Mochtar, M. Zain, Ahmad Badawi, dan RH Hadjid.
Sembari menjalankan tugas-tugas sebagai guru, Ahmad Dahlan tetap melakukan kegiatan dakwahnya. Ia aktif mengajar ke kampung kampung lain di luar Kauman. Beliau menginisiasi pembentukan kelompok-kelompok pengajian yang ia hadiri secara berkala. Dari kegiatan itu terbentuklah beberapa kelompok pengajian di Suronatan, Karangkajen, Kotagede, dan beberapa kampung lainnya. Hal seperti ini jelas tidak sama dengan kebiasaan. Biasanya santri atau murid lah yang mendatangi kiyai atau gurunya. Tapi, Ahmad Dahlan justru yang aktif mendatangi santri-santrinya.
Selain mengajar di langgar dan kelompok pengajian, Ahmad Dahlan juga aktif menawarkan diri mengajar di beberapa organisasi pergerakan yang saat itu mulai bertumbuh. Beliau aktif menjadi anggota dan pengajar di Syarikat Islam dan Budi Utomo. Ahmad Dahlan juga menawarkan diri untuk bisa mengajar agama Islam di Kweekschool (Sekolah Guru) milik Belanda di Jetis dan OSVIA (sekolah pamong praja) di Magelang. Tawaran tersebut akhirnya dikabulkan, dan Ahmad Dahlan bisa mengajar di sekolah tersebut tanpa dibayar sepeser pun.
Setelah Muhammadiyah berdiri, sekolah tidak lagi menjadi milik pribadi KH Ahmad Dahlan, tetapi menjadi milik Muhammadiyah. Dari sinilah akhirnya Muhammadiyah mengembangkan sekolah di berbagai tempat dan pelosok Indonesia. Hingga saat ini ada puluhan ribu lembaga pendidikan yang diselenggarakan di bawah bendera Muhammadiyah sejak dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga Perguruan Tinggi.
Dalam hidupnya, Ahmad Dahlan tidak pernah mengambil keuntungan dari kegiatan pendidikan yang ia selenggarakan. Beliau malah sempat melelang seluruh perkakas dan perabot rumahnya untuk membiayai sekolah yang didirikannya itu. Bahkan, di akhir hayatnya, Ahmad Dahlan tidak banyak meninggalkan harta warisan kepada keluarganya. Tapi semua orang tahu, warisan terbesar Ahmad Dahlan adalah Muhammadiyah dengan segala amal usaha terutama pendidikan yang manfaatnya bisa dirasakan orang banyak hingga saat ini.
Pendidikan adalah modal besar yang paling berharga bagi kemajuan seseorang, keluarga, masyarakat, bahkan suatu bangsa. Karena itu Ahmad Dahlan bahkan berani mengorbankan tenaga, waktu, dan hartanya untuk menyokong jalannya lembaga pendidikan yang didirikan. Berkat kegigihannya tersebut Ahmad Dahlan selalu dikenang jasanya hingga saat ini, bahkan selama Muhammadiyah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat luas.
– Penulis adalah menantu cicit KH Ahmad Dahlan, aktif sebagai Wakil Ketua Lembaga Seni Budaya dan Olahraga Pimpinan Pusat Muhammadiyah, tinggal di Kota Bekasi.
– Tulisan ini pernah dimuat di rubrik Guru Tempo Dulu, Majalah Sahabat Guru, Edisi Desember 2017, dengan sedikit penyesuaian.