Oleh: Ma’mun Murod Al-Barbasy
Innalillahi wainna ilaihi rajiun. Telah pulang ke rahmatullah KH. Hasyim Muzadi (Kiai Hasyim) mantan Ketua Tanfidziyah PBNU 1999-2010.
Saya tidak cukup dekat dengan Kiai Hasyim, kecuali hanya sekadar saling kenal. Saya kenal Kiai Hasyim, tentu sudah sewajarnya. Tapi insya Allah Kiai Hasyim juga mengenal saya.
Secara pribadi, tercatat beberapa kali saya berjumpa Kiai Hasyim. Perjumpaan pertama sekitar 24 tahun yang lalu (1993), tepatnya di sebuah acara NU di Surabaya. Saat itu Kiai Hasyim baru menjabat Ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Timur. Saat itu, acara berlangsung malam hari. Saya sendiri hadir di acara itu untuk bertemu Gus Dur yang dijadwalkan hadir pada acara tersebut. Kehadiran saya terkait dengan rencana kedatangan Gus Dur pada acara yang digelar oleh IMM Komisariat FISIP UMM yang saat itu saya menjadi Ketua Umumnya. Namun Gus Dur yang saya tunggu-tunggu tidak jadi datang. Akhirnya selepas acara saya matur ke Kiai Hasyim, kalau tidak salah waktu itu juga ada KH Hasyim Lathif dan KH Imron Hamzah (Rais Syuriah PWNU Jatim). Saya sampaikan maksud kedatangan saya ke Kiai Hasyim. Kiai Hasyim begitu care dan menanggapi dengan serius. Kiai Hasyim berjanji untuk membantu menghubungi Gus Dur, bahkan Kiai Hasyim meminta saya menelepon dua hari berikutnya. Dan benar, berkat bantuan Kiai Hasyim, Gus Dur pun memastikan bisa hadir ke UMM. Selain meminta bantuan Kiai Hasyim, saya sendiri secara langsung datang menemui Gus Dur di Kantor PBNU Kramat Raya, tentu kantor itu Belum semegah sekarang. Masih ingat betul, ketika saya diterima, Gus Dur tengah ditemani Muhammad AS Hikam yang saat itu kalau tidak salah baru pulang dari studinya di Hawaii. Saat itu Gus Dur menyampaikan kalau sudah ditelpon Kiai Hasyim dan prinsipnya akan hadir ke UMM. Hebatnya, Gus Dur yang dikenal peduli kaum muda NU, meminta saya agar mengundang juga Mas Hikam ke UMM. Saat itu saya kebingunganan, karena untuk Diskusi Panelnya, saya sudah menghubungi Abangda Din Syamsuddin, Mas Djohan Effendy, dan Pak Malik Fadjar sendiri selaku Rektor UMM. Namun yang lebih hebat lagi, orang sebesar dan sehebat Gus Dur begitu mudahnya untuk ditemui oleh mahasiswa ingusan seperti saya yang saat itu baru semester 4. Akhirnya Gus Dur pun datang ke UMM diantar oleh KH Amanullah Abdurrahim.
Tentu heboh Ketua Umum PBNU untuk kali pertama datang ke UMM. Pak Malik Fadjar, dan Pak Muhadjir Effendy tampak saat itu begitu gembira atas kehadiran Gus Dur.
Pertemuan kedua dengan Kiai Hasyim, terjadi saat saya menulis Skripsi (1994). Saat itu saya menulis soal Perilaku Politik Kiai. Kiai Hasyim menjadi salah satu key informan. Key informan lainnya adalah KH Yusuf Hasyim, KH Â A Wahid Zaini, KH Shohib Bisri, KH As’ad Umar, KH Aziz Masyhuri, KH Arifin Khan, Gus Ishomuddin Hadziq, KH Hasib Wahab, KH Nasrullah Abdurrahim, KH Amanullah Abdurrahim, dan beberapa lainnya.
Masih ingat betul, bagaimana ketika Kiai Hasyim menjelaskan atau memaknai “Kembali ke Khittah”. Saat itu Kiai Hasyim menyatakan bahwa “kembali ke Khittah 1926 itu ibarat orang naik kendaraan lalu mendapati kereta yang akan lewat, tentu tidak mungkin menabrakan mobil ke kereta, karena itu sama halnya bunuh diri, yang baik tentu membiarkan kereta itu lewat dulu, baru kita lewat.”
Seingat saya, waktu wawancara, Kiai Hasyim juga cerita kalau putrinya kuliah di UMM. Untuk diketahui, putri KH Hasyim Muzadi memang ada yang kuliah di UMM. Menguliahkan putrinya di UMM untuk tokoh NU sekelas Kiai Hasyim, tentu mempunyai makna dan perspektif tersendiri yang positif terhadap Muhammadiyah. Sama halnya ketika putra putri anak Muhamamdiyah lalu nyantri di “Pesantren NU” juga diyakini punya makna dan cara pandang yang positif terhadap NU.
Pertemuan ketiga dengan Kiai Hasyim, terjadi dalam suasana yang sama sekali tak nyaman dan rasanya malu untuk diceritakan. Namun karena ada sisi kearifan dari sisi Kiai Hasyim, maka rasanya pantas untuk diceritakan. Saat itu, kalau tidak salah beberapa hari menjelang Muktamar Lirboyo 1999. Saat kejadian itu, saya bersama Gus Aminuddin. Gus Aminuddin ini cermin orang yang sudah selesai dengan keislamannya. Gus Aminuddin tentu tahu dan paham saya saat itu aktivis IMM.
Tidak tau ceritanya, karena lupa, saya dan Gus Aminuddin ada acara di Surabaya (saat itu saya masih kuliah S2 di Unair Surabaya), karena kemalaman, akhirnya Gus Aminuddin mengajak bermalam di Kantor PWNU Jl. Darmo. Masih ingat, waktu Gus Aminuddin bilang nanti kita tidur di ruang yang biasa Kiai Hasyim istirahat kalau pas kemalaman. Saat itu, saya setengah menolak. Takut kualat, maklum pernah nyantri (haha). Untuk meyakinkan, Gus Aminuddin bilang, “tidak apa-apa, kalau pun Kiai Hasyim ada dan tahu pun tidak apa-apa.” Waktu itu pun disampaikan bahwa sangat mungkin malam itu Kiai Hasyim akan singgah sebentar ke Kantor PWNU. Dan benar, ketika kami memutuskan nginep dan tidur di ruangan Kiai Hasyim, dini hari itu Kiai Hasyim mampir ke Kantor PWNU dan masuk ke kamar tempat saya tidur. Saya pun dibuat malu. Namun yang bikin ayem, karena sikap arif Kiai Hasyim. Ketika itu Kiai Hasyim bilang “teruskan tidurnya, saya cuma sebentar saja, ambil surat.” Seingat saya waktu itu Kiai Hasyim baru kembali dari keliling daerah dan akan melanjutkan perjalanan ke kediamannya di Malang.
Pertemuan keempat dan berikut-berikutnya tentu terjadi di banyak tempat dan kegiatan, namun lebih sering terjadi di acara-acara Muhammadiyah.
Bagi Muhammadiyah, Kiai Hasyim itu sosok yang dalam banyak perspektifnya tentang Muhammadiyah menyerupai Gus Dur. Selain itu, ada ketulusan juga dalam menjalin relasi dengan Muhammadiyah. Ketulusan Kiai Hasyim ini kemudian lebih nyambung lagi karena Ketua Umum PP. Muhammadiyah yang seangkatan dengan Kiai Hasyim adalah Abangda Din Syamsuddin, sama-sama alumni Pesantren Gontor. Selain tentunya Abangda Din Syamsuddin juga punya latar belakang NU.
Hubungan yang seperti ini menjadikan jalinan ukhuwah Muhammadiyah dan NU di era Abangda Din Syamsuddin dan Kiai Hasyim menempati pada posisi yang sangat harmonis. Secara pribadi hampir-hampir tak ada sekat antara Kiai Hasyim dengan keluarga besar Muhammadiyah. Bahkan, Muhammadiyah bagi Kiai Hasyim seperti sudah menjadi “rumah” kedua setelah NU.
Abangda Din Syamsuddin sendiri seperti sudah menganggap Kiai Hasyim sebagai kakaknya. Pernah dalam perbincangan terbatas, saat itu selepas Kiai Hasyim tidak lagi menjabat Ketua Tanfidziyah PBNU dan gagal menjadi Rais ‘Am Syuriah PBNU (Pasca Muktamar Makassar 2010), Abangda Din Syamsuddin meminta agar dalam setiap kegiatan PP Muhammadiyah yang memungkinkan untuk mengundang Kiai Hasyim, maka undanglah. Konteks pesan Abangda Din Syamsuddin adalah semata untuk menghormati dan mengorangkan Kiai Hasyim. Maka hampir di dalam kegiatan Muhammadiyah yang memungkinkan Kiai Hasyim diundang, pun Muhammadiyah mengundangnya.
Karena hubungan yang begitu dekat ini, maka ketika mendapat berita atas wafatnya KH Hasyim Muzadi, saya dan pasti keluarga besar Muhammadiyah khususnya dan umat Islam pada umumnya merasa sangat kehilangan. Saya dan warga Muhammadiyah pasti merindukan “kemesrahan” yang berhasil dijalin di era kepemimpinan Abangda Din Syamsuddin dan Kiai Hasyim.
Akhirnya, sebagaimana Firman Allah dalam al-Qur’an: “Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam surga-Ku.”
Selamat jalan KH. Hasyim Muzadi, selamat menghadap ke Sang Khalik. Semoga dengan keadilan-Nya, Allah tempat di singgasana surga-Nya yang paling layak. Aamiin. (Ma’mun Murod Al-Barbasy, Direktur Pusat Studi Islam dan Pancasila (PSIP) FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta)