32.3 C
Jakarta

Khitan Perempuan masih Relevankah ?  ( Dalam Perspektif Muhammadiyah )

Baca Juga:

YOGYAKARTA, MENARA62.COM 

Oleh  Dian Eka Kurniawati, Mahasiswa UNISA Prodi : Keperawatan Kelas RPL Angkatan 2024-2025

Khitan, atau sunat, secara tradisional lebih dikenal sebagai praktik yang dilakukan pada laki-laki. Namun, dalam sejarah dan budaya tertentu, praktik ini juga dilakukan pada perempuan. Pertanyaan tentang apakah khitan perempuan diperbolehkan dan apa manfaatnya sering kali menjadi bahan diskusi, terutama karena praktik ini jarang ditemukan di masa kini, tidak seperti pada zaman dahulu.

Khitan perempuan telah dilakukan selama berabad-abad di berbagai budaya dan agama, termasuk di Indonesia. Dalam beberapa masyarakat, praktik ini dianggap sebagai bagian dari kewajiban agama atau simbol kesucian. Sebagai contoh, ada komunitas yang memandang khitan perempuan sebagai cara untuk menjaga tradisi, melambangkan kemurnian, atau menunjukkan penghormatan terhadap nilai-nilai adat. Namun, penting untuk dipahami bahwa praktik ini berbeda dengan khitan laki-laki, baik dari segi prosedur maupun tujuan.

Dalam perkembangan zaman, pandangan terhadap khitan perempuan mengalami banyak perubahan. Kesadaran akan hak asasi manusia, pentingnya kesehatan, dan prinsip kesetaraan gender telah membawa banyak pihak untuk mempertanyakan relevansi dan manfaat praktik ini. Secara medis, belum ada bukti ilmiah yang mendukung manfaat kesehatan khitan perempuan. Bahkan, jika dilakukan secara tidak aman, praktik ini dapat menimbulkan risiko kesehatan, seperti infeksi, perdarahan, atau komplikasi lainnya.

Di sisi lain, ada kelompok yang tetap mendukung khitan perempuan sebagai bagian dari warisan budaya yang perlu dilestarikan. Mereka berargumen bahwa praktik ini memiliki nilai simbolis yang penting dalam menjaga identitas dan tradisi suatu komunitas. Namun, pandangan ini sering kali berbenturan dengan perspektif modern yang menilai praktik tersebut sebagai sesuatu yang tidak relevan lagi, terutama jika dikaitkan dengan potensi dampak negatif bagi kesehatan dan hak-hak perempuan.

Dengan demikian, perdebatan tentang khitan perempuan terus berlangsung seiring dengan perubahan nilai-nilai sosial, budaya, dan hukum di masyarakat modern. Praktik ini kini lebih banyak dilihat sebagai pilihan yang sifatnya sangat kontekstual, tergantung pada adat istiadat, kepercayaan, dan pemahaman masing-masing komunitas. Namun, penting untuk memastikan bahwa setiap tindakan yang dilakukan, terutama yang melibatkan tubuh seseorang, selalu menghormati prinsip keamanan, kesehatan, dan hak individu.

Khitan perempuan merupakan salah satu isu yang sering menjadi bahan diskusi dalam berbagai komunitas Islam, termasuk oleh organisasi Muhammadiyah. Berikut adalah pandangan Muhammadiyah mengenai khitan perempuan, seperti yang disampaikan oleh ibu Dr. Widiastuti S.Ag MM, Ketua PP Aisyiyah.

Pendapat Muhammadiyah tentang Khitan Perempuan

  1. Tidak Ada Ketentuan yang Kuat dalam Islam
    Muhammadiyah menyatakan bahwa dalam Islam, tidak ada aturan yang jelas atau ketentuan yang mewajibkan khitan bagi perempuan, seperti halnya khitan untuk laki-laki. Bahkan jika terdapat hadist yang membahas tentang khitan perempuan, statusnya dianggap dhaif (lemah) sehingga tidak dapat dijadikan landasan hukum yang kuat.
  2. Lebih Bersifat Tradisi daripada Kewajiban
    Dalam pandangan Muhammadiyah, khitan perempuan lebih merupakan tradisi yang dilakukan di beberapa masyarakat, bukan kewajiban agama. Tradisi ini berbeda-beda tergantung pada budaya dan kebiasaan lokal di suatu daerah. Oleh karena itu, Muhammadiyah mendorong umat Islam untuk memahami bahwa praktik ini bukanlah sesuatu yang diwajibkan oleh agama.
  3. Pentingnya Perspektif Kesehatan dan Hak Perempuan
    Muhammadiyah menekankan bahwa khitan perempuan perlu dilihat dari sisi kesehatan dan hak-hak perempuan. Organisasi ini mendorong adanya edukasi yang lebih luas mengenai kesehatan reproduksi serta perlindungan perempuan dari praktik-praktik yang dapat merugikan mereka. Praktik khitan perempuan seringkali memiliki dampak terhadap kesehatan fisik maupun psikologis, sehingga penting untuk membicarakannya secara hati-hati dan bijaksana.
  4. Prinsip Pelayanan Kesehatan yang Aman
    Jika khitan perempuan tetap dilakukan di komunitas tertentu, Muhammadiyah menekankan agar prosedur tersebut dilakukan dengan cara yang aman, profesional, dan tidak merugikan kesehatan perempuan. Hal ini sesuai dengan prinsip pelayanan kesehatan yang mengutamakan keselamatan dan kesejahteraan pasien.

Tinjauan dari Al-Qur’an dan Hadist

Baik dalam Al-Qur’an maupun hadist, tidak ada ayat atau pernyataan yang secara eksplisit memerintahkan khitan perempuan. Berikut beberapa poin terkait:

  • Al-Qur’an: Tidak ditemukan ayat yang secara langsung mengatur atau mewajibkan khitan perempuan.
  • Hadist: Beberapa hadist menyebutkan tentang khitan perempuan, tetapi derajatnya dinilai lemah atau tidak kuat sehingga tidak dapat menjadi dasar hukum. Sebagai contoh, salah satu hadist menyebutkan soal khitan, tetapi karena sanad (rantai perawi) dan matannya (isi) tidak memenuhi standar keshahihan, maka hadist ini tidak dijadikan pedoman.

Dalam konteks ini, Muhammadiyah mendorong pendekatan yang berbasis pada kesehatan dan menghargai hak-hak perempuan. Sementara tidak ada perintah eksplisit dalam Al-Qur’an atau hadist mengenai khitan perempuan, Maka, jelaslah bahwa khitan perempuan bukan sebuah praktik yang dianjurkan. Sunat perempuan bahkan bisa menjadi mudharat apabila pelaksanaanya hanya sekadar untuk memenuhi tradisi atau adat masyarakat.. Muhammadiyah lebih condong untuk mengedepankan perlindungan dan penghormatan terhadap perempuan penekanan pada kesehatan dan etika dalam praktik tersebut menjadi hal yang penting dalam menghadapi isu tentang khitan perempuan ini..

Sebagai penutup, penting untuk memahami bahwa khitan perempuan merupakan isu yang memerlukan pendekatan hati-hati, dengan mempertimbangkan nilai-nilai agama, tradisi budaya, kesehatan, dan hak-hak perempuan. Muhammadiyah mendorong edukasi dan diskusi yang terbuka agar masyarakat dapat membuat keputusan yang bijaksana, berdasarkan pengetahuan yang benar dan prinsip menjaga kemaslahatan bersama. Pada akhirnya, tujuan utamanya adalah melindungi kesehatan dan kesejahteraan perempuan, sekaligus menghormati tradisi tanpa melupakan aspek keadilan dan kemanusiaan.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!