“Ketahuilah, aku harus bekerja keras dalam meletakkan batu pertama daripada amal yang besar ini. Kalau sekiranya aku terlambat atau aku hentikan sementara karena sakitku ini, maka tiada seorang pun akan sanggup membina batu pertama itu. Aku merasa hayatku tidak akan lama lagi. Maka jika aku terus kerjakan amal ini, mudah-mudahan orang di belakangku nanti tidak akan mendapat kesukaran untuk menyempurnakan” (hal 6)
Bernama kecil Muhammad Darwisj. Kelak, beliau lebih dikenal dengan Ahmad Dahlan. Nama yang diperoleh setelah menunaikan ibadah haji. Adalah Sayyid Bakri Syatha -seorang syekh/guru di Mekah- yang memberikan nama tersebut kepadanya.
Kiai Haji Ahmad Dahlan lahir di Kauman, Yogyakarta, pada tahun 1868 M atau bertepatan dengan 1285 H. Keluarganya berlatarbelakang pejabat kepengulon (penghulu/pemangku urusan agama Islam) Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Ayah beliau malah memiliki garis keturunan sampai dengan Maulana Malik Ibrahim.
Menginjak remaja, Ahmad Dahlan -yang telah khatam Alquran pada usia 8 tahun- makin serius belajar agama. Tidak hanya kepada guru-guru setempat, bahkan juga syekh-syekh di tanah suci, Mekah. Ilmupun bertambah setelah mulai membaca kitab-kitab berjiwa pembaruan. Semisal, Al-Tauhid (karya Muhammad ‘Abduh), Dairah al-Ma’arif (karya Farid Wajdi), dan Matan al-Hikam (karya ‘Atha Allah).
Pada tahun 1896, ayah beliau meninggal dunia. Dan, sudah menjadi tradisi keraton bahwa apabila seorang abdi dalem wafat, maka anak lelaki sulungnya menjadi pengganti untuk menduduki jabatannya. Sejak itu, beliau menjadi Khatib Amin Kiai Ahmad Dahlan (dalam lidah Jawa disebut Ketib Amin, Tibamin).
Tugas seorang Ketib Amin antara lain melaksanakan khotbah salah Jumat dan piket di serambi masjid secara bergiliran. Di sela-sela tugas itulah, beliau memberikan pelajaran agama kepada mereka yang membutuhkan.
Jam terbang mengajar kian bertambah saat beliau bergabung dengan perkumpulan Budi Utomo. Kali ini diminta memberikan pelajaran agama Islam di Kweekschool, Jetis, Yogyakarta. Sekolah umum untuk kalangan menengah pribumi dan Belanda.
Kweekschool mendorongnya untuk mendirikan sebuah sekolah yang memodifikasi pelajaran agama dan umum. Sekolah ini kemudian diberi nama Madrasah Ibtidaiyah Diniyyah Islamiyah. Dari hanya sembilan murid, dalam kurun waktu setengah tahun bertambah menjadi 20 anak.
Tak cukup hanya itu, Ahmad Dahlan masih mempunyai keinginan untuk melaksanakan cita-cita pembaruan demi kemajuan umat Islam di Indonesia. Gagasan yang pada awalnya mendapat resistensi dari sejumlah pihak.
Berbekal pengalaman dan pergaulan yang luas dengan berbagai kalangan, cita-citapun tercapai. Pada 18 November 1912 berdiri persyarikatan Muhammadiyah. Sebuah wadah organisasi untuk mengadakan pembaruan dalam cara berpikir dan beramal menurut pemahaman yang benar sesuai dengan tuntunan Alquran dan Hadis.
Kurang dari sepuluh tahun kemudian, tepatnya 2 September 1921, pemerintah Belanda mengabulkan permohonan untuk mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Sejak saat itu, Ahmad Dahlan bersama para sahabat dan murid-muridnya semakin gigih berjuang menyebarluaskan gagasan reformasi agama di kalangan umat Islam.
Kiai Haji Ahmad Dahlan berpulang pada 23 Februari 1923, dalam usia 55 tahun. Semasa hidupnya, beliau pernah memiliki beberapa istri. Siti Walidah (Nyai Dahlan) yang dinikahinya pada tahun 1889 adalah istri yang mendampingi beliau hingga wafat. Mereka dikarunia enam orang anak.
Sumber: 100 Tokoh Muhammadiyah yang Menginspirasi (Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2014)