32.5 C
Jakarta

Kian Meriah

Baca Juga:

Trump untuk Amerika.
Xi Jinping untuk Tiongkok.
Boris Johnson untuk siapa?

Merekalah pemimpin yang sangat fokus memikirkan nasib negara masing-masing. Tidak peduli: apakah strategi mereka merusak negara lain. Sebenarnya bisa juga ditambahkan:

Vladimir Putin untuk Rusia.
Modi untuk India.
Kim Jong-Un untuk Korea Utara.
Mungkin juga Mahathir untuk Malaysia.
Dulu.

Begitu mudah bagi Johnson untuk mengatakan: tidak peduli pakai ‘deal‘ atau ‘no deal‘ pokoknya 99 hari lagi Inggris sudah keluar dari Eropa.

“Mungkin tidak menunggu sampai 99 hari. Kan sudah terlalu lama menunggunya,” katanya di hari pertama menjadi Perdana Menteri Inggris Kamis kemarin.

Keputusan Inggris keluar dari Uni Eropa itu memang sudah dua tahun. Rakyat yang memutuskannya – – lewat pemilu referendum. Pelaksanaannya molor terus. Terganggu masalah-masalah teknis di lapangan.

Misalnya: bagaimana arus barang dan manusia dari Eropa ke Inggris. Khususnya di daratan Irlandia. Daratan selatan adalah negara Irlandia. Daratan utara adalah Inggris Raya. Yang selama ini seperti tidak ada batas. Lalu-lintas bebas. Tanpa pemeriksaan apa-apa.
Apakah tiba-tiba akan ada kantor imigrasi di perbatasan itu? Lalu ada kemeriksaan bea cukai?

“Kita atasi dengan akal sehat,” kata Johnson. Enteng saja. Meski biasanya yang sulit itu justru ketika memasuki detil-detilnya.

Inilah yang membuat Johnson mirip Trump. Mudah melontarkan gebrakan. Juga sangat mencintai namanya sendiri. Johnson juga akan terus menjadi bintang di media. Apa pun dampaknya.

Johnson juga senang main kata-kata. Senang mengejek orang. Senang menyerang balik. Tipis kulit dan telinganya.

Tapi ada jenakanya. Dan lebih intelektual – – khas Inggris.
Misalnya saat Johnson jadi walikota London, tang begitu banyak berbuat selama delapan tahun.

Waktu itu Trump bilang ‘London bisa tidak jadi pilihan untuk dikunjungi, karena Islam radikalnya. Trump belum jadi presiden saat mengatakan itu. Capres pun belum.

Johnson langsung membalas. “Orang tidak akan mau ke New York. Takut ketemuan Trump di salah satu pojok kotanya.”

Johnson sendiri lahir di New York. Ayahnya Inggris. Ibunya pelukis terkenal Amerika. Kelahiran bayi Johnson didaftarkan juga di konsulat Inggris. Agar bisa mendapat dua kewarganegaraan.

Pinter, nakal, mbeling dan urakan. Itulah masa remaja Johnson. Ia sekolah di SMA yang didirikan raja Inggris di tahun 1440-an. Menjelang akhir masa kejayaan Majapahit. Ia ingin lulus No 1 tapi hanya berhasil No 1 untuk kelompok di bawah level terbaik.

Johnson sudah ahli debat sejak sekolah. Lalu jadi aktivis mahasiswa. Kemudian jadi wartawan. Pindah-pindah koran. Juga pindah dari isteri pertama ke wanita kedua. Akhirnya jadi anggota DPR dari partai konservatif.

Kini Johnson perdana menteri. Susunan kabinet barunya didominasi aktivis Brexit – – gerakan keluar dari Eropa. Yang membuat sebagian orang Inggris was-was. Jangan-jangan akan terjadi gejolak ekonomi yang keras – – hard landing.

Dari susunan menterinya ada nama Sajid Javid. Ayahnya imigran dari Pakistan. Jadi sopir bus di Inggris. Saat datang ke Inggris ibunya belum bisa bahasa Inggris sama sekali.

Javid kawin dengan aktivis gereja. Tapi tidak ikut menjadi Kristen. Secara terbuka Javid mengatakan ‘tidak beragama apa pun’.

Menteri keuangannya anak muda: Rishi Sunak. Umur 39 tahun. Keturunan India. Anak orang kaya raya. Saat ini pun bapaknya masih konglomerat di India. Sesaat sebelum menjadi perdana menteri, Johnson memberikan wawancara khusus untuk TV Hongkong.

Isinya agak mengagetkan. Tidak seperti kesan galaknya: ia akan menjalin hubungan lebih erat dengan Tiongkok. Ia sangat memuji program OBOR/One Belt One Road-nya Xi Jinping.

“Kami sangat terbuka pada modal mana saja. Termasuk dari Tiongkok. Buktinya Tiongkok lagi membangun pembangkit listrik tenaga nuklir di Inggris. Dengan teknologi Tiongkok. Anak perempuan saya sendiri baru kembali dari Tiongkok,” katanya.

“Di sana dia belajar mahasa Mandarin. Katanya sulit sekali tapi penting,” ujar Johnson.

Johnson akhirnya naik panggung. Pertunjukan di panggung dunia akan kian meriah. Di mana-mana.

Penulis: Dahlan Iskan

 

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!