JAKARTA, MENARA62.COM — KIPJakarta Gelar Diskusi Publik Tentang Hak Privasi, Kamis (21/11/2019). Komisi Informasi Provinsi DKI Jakarta bekerja sama dengan Kedutaan Amerika Serikat di Indonesia, menggelar Diskusi Publik terkait hak privasi dan akses keterbukaan informasi publik. Diskusi Publik ini diadakan Kantor Komisi Provinsi DKI Jakarta, Gedung Graha Mental Spiritual Lantai 8, Jl. Haji Awaluddin II No.1 Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Diskusi Publik ini menghadirkan pembicara dari Komisi I DPR RI, Kementerian Komunikasi dan Informasi RI, Michael Rose (US Department of Commerce), Huey Tan (APEC-Singapore), Komisi Informasi Pusat, dan PT Telkomsel. Seminar diikuti 100 orang, yang berasal dari perwakilan lembaga pemerintah, lembaga non- struktural, lembaga keagamaan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan corporate.
Diskusi Publik ini mengangkat tema, “Diskursus dan Harmonisasi Perlindungan Data Pribadi dengan UU Keterbukaan Informasi Publik untuk Mendorong Rumusan UU PDP yang berkeadilan bagi semua.” Arah tujuan Diskusi Publik ini, untuk rekomendasi kepada Pemerintah dan Komisi 1 DPR RI dalam rangka penguatan materi dan substansi Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) yang saat ini sedang disusun pemerintah. Masukan ini, baik dari aspek filosofis maupun praktik penerapan UU PDP dan atau UU sejenisnya oleh negara-negara yang sudah menerapkannya khususnya yang tergabung dalam APEC.
Alamsyah Basri, selaku Ketua Komisi Informasi Provinsi DKI Jakarta menyebut, Kementerian Kominfo RI sudah menyusun RUU PDP yang akan segera diajukan untuk dibahas di DPR RI. RUU yang memuat 74 pasal dan 15 bab ini, mengatur tentang definisi, jenis, hak kepemilikan, pemprosesan, pengiriman, lembaga berwenang yang mengatur data pribadi hingga sanksi.
Data Pribadi
Draft RUU menyebutkan, data pribadi adalah setiap data tentang seseorang baik yang teridentifikasi dan/atau dapat diidentifikasi secara tersendiri atau dikombinasi dengan informasi lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung, melalui sistem elektonik dan/atau non-elektronik. Peraturan perlindungan data pribadi di Indonesia sendiri, saat ini tersebar kurang lebih 32 regulasi di berbagai macam sektor (keuangan, kesehatan, kependudukan, telekomunikasi, energi dan sebagainya) dan masih bersifat parsial.
Wa Ode Asmawati, selaku penanggung jawab kegiatan Diskusi Publik ini menyatakan, saat ini pertumbuhan pengguna sistem elektronik dan internet, belum dibarengi tumbuhnya kesadaran publik dalam melindungi data pribadi. Selain ini, tentu perlu ada kesetaraan dalam perlindungan data pribadi secara nasional maupun internasional.
“Maka menjadi tanggungjawab dari pemerintah untuk mencegah pelanggaran data pribadi dan meningkatkankan standar perlindungan data pribadi di lingkungan nasional maupun Internasional dengan mempertimbangkan keragaman dan nilai yang berlaku di Indonesia,” ujarnya.
Kehadiran UU Perlindungan Data Pribadi juga mendesak, karena adanya tuntutan keterbukaan di lembaga-lembaga pemerintah dan diharapkan dapat menekan angka korupsi di sektor publik sehingga upaya pemerintah untuk membuka informasi dan data perlu diapresiasi.
“Namun, pada saat yang sama konteks keterbukaan menimbulkan dilema yaitu kepentingan keterbukaan dengan kepentingan untuk melindungi hak dan privasi. Maraknya kasus pelanggaran terhadap data pribadi juga menjadi permasalahan diantaranya kebocoran data pribadi, penyalahgunaan data pribadi serta jual beli data pribadi,” ujarnya.
Untuk itu, ia berharap, sesuai tema Diskusi Publik ini, ada diskursus dan ide-ide dalam upaya menciptakan harmonisasi antara UU PDP dengan UU Keterbukaan Informasi Publik, sehingga mendorong Rancangan UU PDP yang berkeadilan. Agar kedepan kehadiran UU PDP tidak mengganggu kepentingan keterbukaan informasi publik atas nama perlindungan privasi.