Oleh: Nunu Anugrah P *)
“Kita ini da’i bukan hakim”. Begitu ucapan almarhum Buya Yunahar Ilyas dalam satu kesempatan.
Sudah seharusnya sebagai seorang da’i, dalam berdakwah kita berpedoman pada Q.S. An-Nahl: 125. Menyampaikan pesan agama bilhikmah wa mau’idhotil hasanah(dengan hikmah dan pengajaran yang baik). Hikmah diartikan menyampaikan pesan dan mengajak orang secara bijak.
Ada seseorang yang bertanya, “Bolehkan melaksanakan umroh sementara kita belum melaksanakan haji?”.
Seorang hakim akan menjawab, “Tidak boleh! Dalam ilmu fiqih, laksanakan terlebih dahulu yang wajib lalu berikutnya sunnah. Haji itu hukum nya wajib, sedangkan umrah itu sunnah. Laksanakan ibadah haji terlebih dahulu, lalu setelah itu di lain waktu jika ada rezeki laksanakan umrah!”.
Seorang da’i akan menjawab, “Boleh mengerjakan umrah walaupun kita belum melaksanakan haji”.
Seorang da’i akan menyampaikan pesan secara hikmah (bijak). Sang da’i mengetahui hampir semua orang yang pernah beribadah di masjidil haram dan Nabawi akan merindukan ingin kembali ke dua masjid itu setelah pulang ke kampung halaman.
Disinilah bijaknya seorang da’i. Menjawab boleh atas pertanyaan di atas, dengan harapan setelah umrah 9 hari, seseorang ada kerinduan untuk kembali ke Mekah dan Madinah, ibadah umrah 9 hari saja begitu nikmatnya, apalagi ibadah haji yang 40 hari. Maka diharapkan setelah melaksanakan umrah, seseorang akhirnya mendaftar untuk beribadah haji.
Hakim, memutuskan boleh/tidak boleh, benar/salah, sah/tidak sah.
Sementara da’i berfikir bilhikmah/bijak, bagaimana agar semangat beribadah seseorang tetap ada bahkan bisa ditingkatkan.
Ingatlah kisah sahabat Nabi SAW yang berhubungan suami istri di bulan suci Ramadhan. Dia tidak bisa bayar kafarat dengan berpuasa 2 bulan berturut-turut. Dia tidak bisa membayar fidyah memberi makan 10 orang fakir miskin. Malahan dia diberi se keranjang kurma oleh Rasulullah SAW. Itulah sikap hikmah nya Rasulullah SAW.
Wallahua’lam
*)Ketua PCM Pabuaran Kab. Cirebon