JAKARTA, MENARA62.COM – Komite Nasional Keselamatan Tranportasi (KNKT), Basarnas, dan sejumlah negara yang tergabung dalam Asia SASI (Society of Air Safety Investigators) menggelar Underwater Recovery Exercise atau latihan pemulihan di bawah air. Pelatihan ini diadakan di Jakarta dan Kepulauan Seribu pada 3-6 Juni 2024.
Recovery Exercise digelar untuk meningkatkan kerja sama antarnegara, berbagi pengalaman, dan saling membantu dalam penanganan kecelakaan pesawat di laut. Termasuk pula koordinasi penggunaan fasilitas peralatan pencarian black box.
“Sebagai negara kepulauan yang memiliki lautan yang sangat luas, Indonesia sangat berkepentingan dengan hal ini,” kata Soerjanto Tjahjono, Ketua KNKT pada pembukaan pelatihan, Senin (3/6/2024).
Soerjanto membuka acara tersebut didampingi Kepala Basarnas, Kusworo. Pesertanya adalah anggota Asia SASI, yakni Australia, Kesultanan Oman, Papua Niugini, Filipina, dan Singapura. Ada pula Arab Saudi, yang walau bukan anggota, tapi selalu bekerja sama dengan Asia SASI.
Underwater Recovery Exercise ini dilaksanakan untuk kali kedua secara bersama-sama.
“Kegiatan ini, selain mempererat kerja sama, juga menunjukkan komitmen yang kuat terhadap keselamatan penerbangan,” lanjutnya.
Menurut Soerjanto, hal itu menunjukkan kepada International Civil Aviation Organization (ICAO) bahwa Indonesia selalu berusaha meningkatkan kompetensi SDM dalam melakukan pencegahan kecelakaan, penanganan kecelakaan penerbangan, bertukar pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman yang akan difasilitasi oleh para ahli di bidangnya.
Ditegaskannya bahwa pemulihan bawah air adalah tugas yang sangat besar, sangat mahal, dan membutuhkan teknologi canggih serta pengalaman. “Underwater recovery sebaiknya dilakukan oleh tim yang bekerja bersama dan saling membantu,” ucap Soerjanto.
Pelatihan tersebut dinilai sangat penting untuk memahami kemampuan dan apa yang bisa dibagi untuk membantu orang lain dalam operasi bawah air.
KNKT berbagi pengalaman tentang operasi bawah air dalam kecelakaan Sriwijaya Air nomor penerbangan SJ 182 tahun 2021 di perairan Karimun Jawa dengan biaya sekitar 1 juta dolar AS. Begitu pun dengan kecelakaan Lion Air nomor penerbangan JT 610 tahun 2018 di perairan dekat Karawang, yang biayanya sekitar 2,8 juta dolar AS.
Pengalaman lainnya pada kecelakaan Air Asia nomor penerbangan QZ 8501 tahun 2014 di peraira Selat Karimata dekat Kalimantan Barat, yang biayanya sekitar 3 juta dolar AS. Kecelakaan Adam Air nomor penerbangan KI 574 tahun 2007 di Selat Makassar, yang biayanya sekitar 6 juta dolar AS.
Ada juga kecelakaan Garuda Indonesia nomor penerbangan GA 220 di Sungai Bengawan Solo, yang biayanya sekitar 0,3 juta dolar AS. Begitu pun kecelakaan Silk Air nomor penerbangan MI 185 tahun 1997 di Sungai Musi, Sumatera Selatan, yang biayanya sekitar 3 juta dolar AS. “Dari pengalaman di atas, kita belajar bahwa setiap kecelakaan memiliki keunikan, kesulitan, dan tentu saja solusinya sendiri,” jelas Soerjanto.
Salah satu masalah paling sulit adalah mendapatkan pendanaan untuk mendukung operasi tersebut. Di sisi lain, Indonesia memiliki peraturan yang mewajibkan setiap maskapai untuk mengasuransikan biaya pemulihan bawah air, tapi berurusan dengan perusahaan asuransi bukanlah tugas yang mudah. “Seringkali situasi ini membuat frustrasi, sehingga kerja sama dengan pihak lain menjadi solusi terbaik dan sangat signifikan,” tuturnya.
Dipaparkannya tentang pemulihan bawah air pada kecelakaan Adam Air di Selat Makassar. Awalnya, pihaknya harus menemukan lokasi kecelakaan. Saat itu digunakan data radar sekunder yang tidak diproses, yang diambil dari beberapa kepala radar di sekitar Selat Makassar.
Berdasarkan empat data radar yang tidak diproses, pihaknya dapat menemukan koordinat (lintang – bujur), sedangkan kedalaman laut di lokasi tersebut sekitar 1000 – 3000 meter.
Oleh karena itu, pihaknya menggunakan kapal survei dari Angkatan Laut AS yang memiliki kemampuan dan peralatan untuk mendeteksi puing-puing pesawat di laut yang sangat dalam.
Ketika kapal tiba di lokasi, yang disarankan sebagai area dampak, pihaknya mengerahkan perangkat Towed Pinker Locator (TPL) untuk mendeteksi Underwater Locator Beacon (ULB). TPL tersebut ditenggelamkan sekitar 600 meter di bawah permukaan laut. Ini dilakukan untuk menghindari termoklin sekitar 300-500 meter.
Setelah memastikan bahwa suara tersebut berasal dari ULB kotak hitam, dengan frekuensi sekitar 36 MHz dan interval waktu antara ping sekitar 0,9 detik, tim mengoperasikan sonar pemindaian samping untuk memetakan dasar laut dan menemukan puing-puing pesawat serta untuk mengeplot lokasi dua ULB kotak hitam.(*)