JAKARTA, MENARA62.COM — Sudah dimaklumi bahwa pandemik COVID-19 berdampak luas. Kemiskinan merajalela, ketidaksetaraan meningkat dan pandemik menohok keras layanan umum seperti kesehatan, pendidikan, perlindungan terhadap anak dan orang muda. Anak-anak yang paling rentan terdampak situasi ini. Pemerintah seluruh dunia mengerahkan triliunan rupiah untuk menyelamatkan ekonomi, namun risiko kehilangan satu generasi anak-anak sangat tinggi jika biaya ini tidak menjangkau anak-anak, terutama anak yang terpinggirkan.
Isu ini menjadi perhatian bersama dari Indonesia Joining Forces (IJF). Enam organisasi kemanusiaan yang berfokus pada hak anak yang terdiri dari, ChildFund International di Indonesia, Yayasan Plan International Indonesia, SOS Children’s Villages Indonesia, Save the Children di Indonesia, Terre des hommes Jerman (dengan organisasi afiliasinya di Indonesia – Yayasan PKPA), dan Wahana Visi Indonesia, bergabung dalam Indonesia Joining Force to End Violence Against Children (IJF to EVAC).
Koalisi Joining Forces bersama badan anak PBB, Unicef, kembali mengingatkan para pemimpin dunia di United Nations General Assembly Special Session (UN-GA SS) atau sesi khusus dalam Sidang Umum PBB pada tanggal 2-3 Desember 2020 untuk memprioritaskan pemenuhan hak anak dan perlindungan anak yang berisiko mengalami kemunduran akibat pandemik COVID-19. Hasil penelitian organisasi-organisasi dalam IJF menemukan, risiko-risiko akibat COVID-19, antara lain: fasilitas kesehatan tutup atau kewalahan, membuat akses semakin sulit; anak-anak tidak belajar; anak menjadi korban kekerasan emosional dan fisik; eksploitasi ekonomi dan seksual anak; perkawinan anak; kekerasan daring; penelantaran anak, terpisahnya anak dari orang tua atau pengasuh atau keluarga; mengalami isolasi dan perubahan hidup yang dapat menurunkan tingkat kesehatan mental.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, Antonio Guterres sudah menyebutkan tiga hal yang berdampak pada anak yaitu: terinfeksi COVID-19, dampak sosio-ekonomi dari langkah-langkah penghentian wabah serta mundurnya implementasi dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals 2030. Secara khusus Guterres menekankan akan potensi makin terpuruknya anak-anak di jurang kemiskinan. Kemiskinan parah (extreme poverty) meningkat dari 84 juta menjadi 132 juta dimana setengahnya adalah anak-anak, krisis pendidikan memburuk seperti proses belajar (188 negara menutup sekolah dan mempengaruhi 1,5 milyar anak di 188 negara, ancaman keberlangsungan hidup dan kesehatan anak serta keselamatan anak yang semakin luas menghadapi berbagai ancaman (368,6 juta anak di 143 negara harus mencari sumber gizi harian di tempat lain yang biasanya mereka peroleh dari sekolah).
“Menghadapi ancaman potensi kehilangan satu generasi tentu harus dilakukan bersama-sama, dan saat bersamaan berusaha keras untuk mencegah segala bentuk kekerasan terhadap anak baik itu kekerasan dalam rumah tangga, penelantaran, penyiksaan, eksploitasi seksual secara daring dan luring dan perundungan di dunia maya. Sesi Khusus dalam Sidang Umum PBB ini menjadi ajang untuk kembali mengingatkan komitmen dari Sekjen PBB agar semua pemerintahan dunia bekerja keras guna memenuhi hak-hak anak yang terancam akibat COVID-19 ini,” ungkap Selina Patta Sumbung, Ketua koalisi IJF to EVAC di Indonesia di Jakarta (1/12/2020).
Indonesia Joining Force to End Violence Against Children (IJF to EVAC) menyerukan kepada Pemerintah Indonesia, untuk menegaskan kembali posisinya sebaga negara pathfinder dalam UN-GA SS tersebut dengan menyatakan komitmennya untuk pemenuhan hak anak dalam kebijakan penanganan COVID-19 dan perlindungan terhadap anak-anak Indonesia dari segala bentuk kekerasan baik selama belajar dari rumah maupun tatap muka di sekolah. Ini termasuk memastikan tersedia vaksin yang aman dan memadai bagi anak-anak, dan proses kegiatan belajar-mengajar yang mengutamakan kepentingan terbaik untuk anak. (*)