JAKARTA, MENARA62.COM – SEAMEO Qitep in Language (SEAQIL) berkolaborasi dengan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) melakukan riset tentang kebijakan di bidang kebahasaan dan pendidikan bahasa di kawasan Asia Tenggara, periode tahun 2021 sampai dengan 2023. Kegiatan ini diselenggarakan untuk memberi gambaran dan inspirasi tentang penerapan kebijakan kebahasaan serta bagaimana mekanisme sistem pendidikan di negara-negara Asia Tenggara.
SEAQIL merupakan pusat regional yang didirikan oleh Menteri-menteri Pendidikan Asia Tenggara dan fokus pada bidang kebahasaan. Dengan melibatkan pakar bahasa dan praktisi pendidikan, pada kesempatan ini SEAQIL dan UPI mulai melakukan pengumpulan data untuk meneliti kebijakan di bidang kebahasaan dan pendidikan bahasa di Asia Tenggara melalui Diskusi Kelompok Terpumpun (DKT).
Direktur SEAQIL, Luh Anik Mayani menyatakan bahwa bahasa memegang peranan penting di dalam kehidupan termasuk pendidikan. Tidak hanya sebagai bagian dari mata pelajaran sekolah, kata dia, tetapi bahasa juga digunakan dalam media pengajaran. “Riset tentang kebijakan di bidang kebahasaan sangat dibutuhkan untuk memastikan bahwa bahasa yang digunakan dan pembelajaran bahasa yang berlangsung dapat menjadi tujuan pendidikan yang utuh,” terangnya pada Senin (6/6), di Jakarta.
Pengumpulan data dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu DKT tahap I yang berlangsung selama tiga hari antara bulan Juni–Juli, dan DKT tahap II pada Agustus 2022. Sebagai langkah awal, SEAQIL dan UPI mengadakan DKT tahap I dengan mengumpulkan informasi tentang undang-undang atau peraturan-peraturan yang berkaitan dengan penggunaan bahasa daerah, bahasa resmi, dan bahasa internasional di beberapa negara anggota SEAMEO.
Pada kesempatan ini, Wakil Rektor Bidang Pendidikan dan Kemahasiswaan UPI, Didi Sukyadi, turut menyampaikan bahwa ASEAN memiliki lebih dari 1.200 bahasa yang digunakan oleh 650 juta orang. Setiap negara, kata Didi, memiliki kebijakan tersendiri. “Oleh karena itu, kebijakan di bidang kebahasaan dan pendidikan bahasa penting dan menarik untuk ditelaah guna mencapai pemahaman yang lebih baik dari setiap negara Asia Tenggara,” jelasnya.
Deputi Direktur Program SEAQIL, Esra Nelvi M. Siagian, menyampaikan bahwa narasumber pada forum ini akan berdiskusi mengenai 1) undang-undang dan peraturan yang mengatur bahasa daerah, bahasa resmi/nasional, dan bahasa asing; 2) peran dan fungsi bahasa daerah, bahasa resmi/nasional, dan bahasa asing; 3) undang-undang dan peraturan yang mengatur tentang pengajaran bahasa, serta penggunaan bahasa daerah, bahasa resmi/nasional, dan bahasa asing; dan 4) undang-undang peraturan yang mengatur bahasa yang digunakan dalam pengajaran pada pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi.
Di akhir diskusi, Direktur Luh Anik menyimpulkan bahwa empat negara telah menerapkan kebijakan bahasa daerah, resmi atau nasional, dan bahasa asing dalam sistem pendidikan. Secara umum, bahasa Inggris menjadi bahasa asing utama di pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi, sedangkan bahasa daerah digunakan dan diperkenalkan mulai dari pendidikan usia dini, seperti pada tingkat taman kanak-kanak atau tingkat pendidikan dasar.
“SEAQIL berharap data yang disajikan oleh narasumber dari keempat negara dapat dikompilasi dan dianalisis lebih lanjut untuk memberikan gambaran tentang kebijakan bahasa, serta sistem pendidikan di negara-negara Asia Tenggara,” tutupnya.
DKT tahap pertama dilakukan pada Senin (6/6), dan mengundang pakar serta praktisi pendidikan bahasa dari empat negara, yaitu Heidi Macahilig dan Maria Jhona Acuña dari Filipina; Emi Emilia dan Yanty Wirza dari Indonesia; Rien Chamrong dan Suos Sovannarin dari Kamboja; serta Xayaphet Chaphichith dan Cheanmaly Phonesavanh dari Laos.
Forum daring ini dihadiri oleh pimpinan instansi penyelenggara, yakni Direktur SEAQIL, Luh Anik Mayani; Deputi Direktur Program SEAQIL, Esra Nelvi M. Siagian; Deputi Direktur Administrasi SEAQIL, Misbah Fikrianto; Wakil Rektor Bidang Pendidikan dan Kemahasiswaan UPI, Didi Sukyadi; serta Dekan Fakultas Pendidikan dan Bahasa UPI, Tri Indri Hardini.