JAKARTA, MENARA62.COM — Wakil Ketua Komisi I DPR TB Hasanuddin menilai pembelian 500 senjata oleh Badan Intelijen Negara (BIN) sudah sesuai aturan dan sah karena menggunakan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Itu sah menurut APBN sehingga sudah clear dan tidak perlu dipolemikkan,” katanya di Gedung Nusantara II, Jakarta, Senin (25/9/2017), seperti dilansir Antara.
Dia mengatakan, DPR tidak boleh masuk pada ranah satuan tiga dalam membahas persoalan anggaran di suatu instansi seperti di BIN. Karena menurut dia, sesuai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) disebutkan bahwa wewenang DPR dalam pembahasan anggaran sebuah institusi hanya sampai satuan dua.
“Jadi di sana dicantumkan perlengkapan saja,” ujarnya.
Politisi PDI Perjuangan itu menilai pembelian senjata oleh BIN itu untuk keperluan latihan para calon anggota BIN.
Selain itu TB Hasanuddin menilai polemik terkait pernyataan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo bahwa ada institusi di luar TNI dan Polri yang membeli 5.000 senjata api, sebenarnya sudah selesai setelah Menteri Koordinator bidang Politik dan Keamanan Wiranto memberikan pernyataan resmi.
Hal itu menurut dia, karena secara hirarki yang ada di pemerintahan, sudah diambil alih oleh Menkopolhukam dan dijelaskan bahwa tidak ada pembelian 5.000 senjata api namun 500 oleh BIN. “Pejabat negara harus paham terkait aturan, prosedur dan etika. Prosedurnya kalau ada informasi seperti itu didiskusikan dengan instansi terkait namun kalau sulit maka bisa lapor ke Menkopolhukam,” ujarnya.
Dia mengatakan, melempar informasi yang dianggap sangat sensitif kepada masyarakat, bukan langkah tepat sehingga harus dihindari agar kondisi tidak menjadi riuh.
Menurut dia, 5.000 pucuk senjata itu sama dengan kekuatan lima batalyon tempur sehingga bisa menimbulkan berbagai pertanyaan di masyarakat.
“Kalau ada masalah diselesaikan saja secara internal dan kalau perlu dibawa ke rapat terbatas di kabinet,” ujarnya.
Anggota Komisi I DPR Supiadin Aries Saputra mengusulkan agar pengadaan senjata oleh sebuah institusi sebaiknya harus ada persetujuan dari Kementerian Pertahanan dan TNI.
Hal itu menurut dia untuk menghindari agar senjata yang ada di tangan rakyat dan tidak diketahui negara, tiba-tiba digunakan untuk kepentingan lain bahkan untuk melawan negara.
“Kami sarankan agar ke depan semua pengadaan senjata harus ada persetujuan, selain Polri untuk bela diri, juga ada dari TNI dan Kemhan sehingga semua senjata terkontrol dengan baik. Diharapkan Kemhan, Polri, dan TNI memiliki data,” ujarnya.
Menurut dia hal itu dilakukan agar ketika di masyarakat muncul senjata tanpa izin, bisa diketahui sumbernya dari mana.
Sebelumnya, dalam rekaman yang beredar, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menyebut adanya institusi tertentu yang akan mendatangkan 5.000 senjata secara ilegal dengan mencatut nama Presiden Joko Widodo (Jokowi). Hal itu dikatakan Panglima dalam acara silaturahmi TNI dengan purnawirawan di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta, Jumat (22/9/2017).
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Wiranto mengungkapkan, ada komunikasi yang belum tuntas antara TNI, Badan Intelijen Negara, dan Kepolisian Indonesia.
Wiranto mengatakan informasi dari Panglima TNI tentang ada instansi di luar TNI dan Kepolisian Indonesia yang akan membeli 5.000 senjata standar TNI, tidak pada tempatnya dikaitkan dengan ekskalasi kondisi keamanan saat ini.
Dia menjelaskan dikonfirmasi kepada Panglima TNI, Kepala Kepolisian Indonesia, Kepala BIN, dan instansi terkait, terdapat pengadaan 500 pucuk senjata laras pendek buatan PT Pindad oleh BIN untuk keperluan pendidikan intelijen dan bukan senjata standar militer.