Ketua Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Akhmad Muqowam menegaskan, pihaknya menggagas pembentukan Rancangan Undang-Undang tentang Etika Penyelenggara Negara yang mengatur etika penyelenggara negara sebagai bagian upaya mereformasi birokrasi. Tujuannya, menciptakan birokrasi pemerintahan yang profesional, yang berintegritas, berdedikasi, berkinerja, bebas dan bersih korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta melayani publik.
Rapat kerja Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) DPD, dan Pemerintah diwakili Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemkumham) menghasilkan Rencana Strategis (Renstra) yang isunya antara lain pelibatan DPD dalam membentuk RUU. RUU tersebut termasuk list Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019 nomor 28 yang pembahasannya bersama DPR dan Pemerintah.
“Dalam menyusun RUU ini, kami, ibaratnya, mau beli kain di Pasar Baru. Bahannya belum ada, modelnya belum ada. Kami targetkan selesai di masa sidang tahun 2017 ini,” senator asal Jawa Tengah ini mengakuinya dalam rapat dengar pendapat di Gedung DPD Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (25/1/2017). Menurutnya, penyelenggara negara yang beretika itu berwujud sikap dan laku yang menunjukkan kesediaan dan kesanggupan dalam menaati norma kehidupan.
Dia menyambung, upaya mereformasi birokrasi merupakan amanah sejumlah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR). “Sejumlah Tap MPR bisa menjadi payung dalam menyusun RUU ini. Hari ini tidak banyak payung.”
Beberapa Tap MPR tersebut yaitu Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Muqowam menyinggung alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjelaskan dan menegaskan tujuan kita bernegara. Dalam UUD 1945, pemerintah negara disebut sebagai penyelenggara pemerintah negara. Jadi, pemerintah negara bermakna sama dengan penyelenggara negara.
Namun, pelaksanaan nilai-nilai etika saat ini masih jauh dari kenyataan. Banyaknya penangkapan penyelenggara negara seperti kasus Bupati Klaten dan Bupati Katingan mengonfirmasi bahwa etika adalah persoalan terbesar. Untuk mewujudkan tujuan negara itu, etika penyelenggara negara menjadi “kunci” penyelenggaraan pemerintahan. Guna meningkatkan etika penyelenggara negara, dibutuhkan pengaturan norma etika penyelenggara negara dalam perundang-undangan.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme mendefenisikan penyelenggara negara sebagai pejabat negara yang melaksanakan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif beserta tugas dan wewenangnya dan pejabat lain penyelenggaraan negara sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. (IMS)