Oleh : Hendro Susilo*)
…Setiap warga Muhammadiyah baik dalam menciptakan maupun menikmati seni dan budaya selain dapat menumbuhkan perasaan halus dan keindahan juga menjadikan seni dan budaya sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah dan sebagai media atau sarana da’wah untuk membangun kehidupan yang berkeadaban…
SOLO, MENARA62.COM – Cuplikan tulisan diatas diambil dari Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM) bidang kehidupan seni budaya. Berbicara tentang kehidupan kesenian dan kebudayaan, secara konsep Muhammadiyah telah selesai. Namun, dalam tataran praktis dinamika Muhammadiyah dalam hubungannya dengan seni budaya menarik untuk dicermati.
Dalam catatan sejarah perintisan Muhammadiyah, kita lihat bagaimana Ahmad Dahlan mengenalkan agama dengan bermain biola yang mengajarkan makna bahwa agama itu indah. Pun, bagaimana kiprah Pasukan Genderang Terompet dan Seruling (PGTS) yang dimiliki Muhammadiyah memberikan warna nuansa yang berbeda. Pilihan yang diambil di tengah tantangan pandangan masyarakat waktu itu yang beranggapan alat musik haram selain rebana, apalagi seruling yang diidentikkan dengan alat tiupan setan pada zaman tersebut, nampaknya Muhammadiyah memilih seni modern.
Pilihan seni modern pada waktu itu menarik perhatian anak-anak muda untuk mengenal dan masuk di Muhammadiyah. Bahkan, para perintis Muhammadiyah sampai membentuk kelompok-kelompok kesenian untuk memfasilitasi para pemuda berekspresi dan membantu mereka menemukan jati diri. Mereka membuat gelanggang bersama dan ruang ekspresi sehingga Muhammadiyah menjadi tempat menunjukkan kreasi yang akhirnya mereka merasa bagian dari Muhammadiyah.
Memfasilitasi dan Saling Menguatkan
Muhammadiyah turut mengapresiasi ekspresi-ekspresi kesenian. Memang, secara konsep dengan adanya rumusan dakwah kultural, Muhammadiyah telah menunjukkan sikap dalam apresiasi kesenian. Dalam dakwah pun, kita harus bisa mensinergikan dengan ekspresi-ekspresi kesenian. Mengapa? Karena seni bisa menjadi media yang menciptakan ikatan emosional yang kuat.
Tantangannya sekarang, bagaimana mendesain dakwah melalui seni budaya yang menarik bagi generasi muda (digital native) saat ini? Setidaknya, kita bisa petik hikmah dari kisah sejarah awal perintisan yang menggunakan seni budaya sebagai media dengan memberikan gelanggang pada mereka melalui kelompok seni yang dibuat.
Komunitas seni bisa menjadi alternatif menumbuhkan ekosistem seni untuk kepentingan dakwah. Seperti yang kita tahu, seni adalah sarana media yang memiliki nilai filosofis dan pendidikan. Adanya komunitas bisa membantu menumbuhkan ekosistem seni. Saya pernah berdiskusi dengan teman-teman guru seni budaya di lingkup Perguruan Muhammadiyah Kottabarat (perguruan ada jenjang TK, SD, SMP, SMA) terkait fenomena seni budaya sebagai media pendidikan. Dari obrolan itu, akhirnya tercetuslah ide untuk membentuk komunitas Seni Kottabarat.
Komunitas seni yang terdiri dari lintas jenjang di perguruan Muhammadiyah Kottabarat memiliki keinginan sebagai wadah untuk memfasilitasi warga sekolah baik guru maupun siswa di bidang seni. Bidang seni yang meliputi seni tari, seni suara, seni musik, seni rupa maupun keterampilan bisa tumbuh dan menjadi media ekspresi dalam kerangka dakwah Muhammadiyah. Guru seni budaya sebagai lokomotif tumbuhnya kehidupan seni memiliki peran sentral, maka dengan adanya sebuah komunitas seni yang diprakarsai oleh guru seni budaya di perguruan Kottabarat bisa saling menguatkan dalam membuat gelanggang.
Contoh hal yang saling menguatkan yang terjadi di Kottabarat adalah ketika ada program gelanggang seni di jenjang SD misalnya, maka potensi seni warga perguruan bisa turut ambil peran serta. Pun termasuk siswa dari tiap jenjang bisa ikut partisipasi. Dengan adanya komunitas seni ini, peluang untuk menghadirkan gelanggang seni budaya keluarga besar Kottabarat bisa diwujudkan. Inilah sekiranya yang saya tangkap dari harapan ketua Komunitas Seni Kottabarat, Fachruddin saat berdiskusi dengan saya terkait ekosistem seni budaya
*)Sekretaris MPI PDM Kota Surakarta