Opini : Yudhie Haryono | Rektor Universitas Nusantara
JAKARTA, MENARA62.COM — Mengapa hasil pendidikan kita tak terlalu memuaskan dalam merealitaskan janji konstitusi? Dalam preambule konstitusi ada kata: melindungi, faktanya masih banyak yang tak sekolah. Ada mencerdaskan, faktanya masih banyak yang buta huruf. Ada menyejahterakan, faktanya ketimpangan makin tajam. Ada menertibkan, faktanya makin tidak tertib.
Tentu ada banyak jawaban. Tapi lewat pendekatan postkolonial studies didapati jawaban bahwa semua itu karena kita tak menganggap “pendidikan” sebagai the battle of sovereignty (pertempuran kedaulatan) guna mendapatkan prosperity (kemakmuran).
Akibatnya, pendidikan kita mengalami academic poverty. Cirinya dua: 1)Defisit narasi, banjir hoax dan fitnah. 2)Defisit refrensi, tulisan karya ilmiah kita (skripsi, tesis, disertasi dan jurnal) banjir rujukan asing, minus rujukan lokal.
Dalam tradisi psikologi kita mengalami fraktal, mimikri dan keterpecahan jiwa. Maka, hasil pendidikannya sering: mengucapkan apa yang tak dipikirkan; mengerjakan apa yang tak diucapkan; tanda-tangan tanpa pembacaan.
Inilah warisan pendidikan kolonial yang melahirkan mental kolonial: berjiwa instan dan inlander, berkarakter mendendam, melupa dan myopik.
Karena itu, pendidikan kita memerlukan usaha revitalisasi agar ia menjadi alat pemenangan sebuah negara di zaman global dan era perang modern. Memenangkan pendidikan via revitalisasi adalah memastikan kedaulatan masa kini, kemakmuran bersama dan kemartabatan kebangsaan-kemanusiaan sekarang dan masa depan.
Tapi tak sembarang revitalisasi. Melainkan revitalisasi pendidikan berbasis konstitusi. Ia bermakna proses, cara dan perbuatan sungguh-sungguh untuk menghidupkan kembali seluruh kurikulum-tradisi pendidikan yang kurang berdaya menjadi berdaya guna dan vital kembali.
Proses ini memerlukan nalar sadar waktu, nalar sadar sejarah, nalar sadar tujuan, nalar sadar lingkungan dan nalar sadar konstitusi yang membuatnya menjadi “never ending process.” Hal ini menjadi penting karena sejarah pendidikan mutakhir hanya melahirkan keterjajahan, inlander, myopic, mengulang-ulang, tak kritis, feodal dan lemah terobosan.
Tujuannya dengan demikian adalah memperoleh situasi dan kondisi negara yang merdeka, mandiri, modern dan martabatif di segala tempat dan waktu.
Terlebih, merdeka adalah “kecerdasan.” Mari cek: Proklamasi; Kami bangsa Indonesia, dengan ini menyatakan kemerdekaannya. Membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang: (1)Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, (2)Memajukan kesejahteraan umum, (3)Mencerdaskan kehidupan bangsa, (4)Melaksanakan ketertiban dunia.
Dus, landasan konstitusionalnya adalah pasal 28, 31 dan 32 UUD 1945. Isinya, negara wajib menjamin hak warga negara dalam hal hidup, membentuk keluarga, tumbuh dan berkembang, kewarganegaraan, beragama, berserikat, sejahtera, jaminan sosial, non-diskriminasi, berbudaya, berperadaban, hormat-menghormati, mutualisme antar sesama dll.
Tiap warga negara berhak mendapat pengajaran, pendidikan, anggaran pendidikan, kemajuan ilmu dan tekhnologi serta kebudayaan yang bermartabat dan berlandaskan Pancasila, serta bahasa/widom daerah sebagai kekayaan bernilai tinggi.
Sebab negara kita adalah Pancasilaisme (ada karena bersama warga negara). Satu untuk semua, semua untuk satu, semua untuk semua: sama rata, sama rasa, sama adil sejahteranya.
Negara pancasila (konstitusionalisme) bertujuan mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat (spiritualis, intelektualis, kapital-sosialis), basisnya wargaisme/rakyat, institusinya musyawarah mufakat dan gotong-royong, filsafatnya adalah kesadaran ontologis nusantaraisme (kepulauan) dan kesadaran epistemologis maritimisme (kelautan), serta kesadaran aksiologis multikulturalisme (bhineka tunggal ika).
Aktor pengalokasian kekayaan adalah warga negara yang berhimpun dalam MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) sebagai penjelmaan seluruh warga negara yang kemudian bertugas menyusun GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara).
Isi GBHN adalah apa, bagaimana, siapa, kapan, mengapa kekayaan negara dikelola demi kemakmuran semua warga negara, bukan orang per orang apalagi golongan per golongan. Akhirnya, keadilan-kebahagiaan ekonomi-politik akan ditujukan menjadi milik semua warga negara, bukan individu, bukan negara. Asas berlangsungnya adalah semesta (menyeluruh). Sebab, pancasila adalah alat sekaligus tujuan serta akibat bersama bernegara.
Dus, demokrasinya juga pancasila, yaitu keseluruhan sila-sila Pancasila yang dijiwai dengan semangat kegotongroyongan yang bersumber langsung dari nilai-nilai kekeluargaan: Ketuhanan secara kekeluargaan (yang berkebudayaan lapang dan toleran); Kemanusiaan universal secara kekeluargaan (yang adil dan beradab); Persatuan kebangsaan secara kekeluargaan (Bhineka Tunggal Ika); Demokrasi-kerakyatan secara kekeluargaan (permusyawaratan dengan hikmah kebijakan); serta Keadilan ekonomi secara kekeluargaan (usaha bersama dan milik bersama—Koperasi dan BUMN).
Kurikulum dasar pendidikan konstitusional itu jelas. Bagi madzab pancasilais: keadilan, kesejahteraan dan kebahagiaan warga negara adalah tujuan, akibat, cita-cita dan alat sekaligus (semesta). Bagi madzab pancasilais: kemerdekaan, kemandirian, kemodernan dan kemartabatan adalah cita-cita yang harus dicapai bersama (mutualisma dan resiprokal).
Kurikulum utama harus menghasilkan jiwa merdeka, mandiri, modern dan martabatif. Pendidikan merdeka adalah pendidikan yang mengutamakan cita-cita negara, bangsa dan sesama di atas kebutuhan identitas pribadi dan golongan.
Inilah sumber kemerdekaan karena keyakinannya bahwa penjajahan dan neoliberalisme secara sistematis telah membuat Indonesia miskin, mandek, terbelakang dan hancur. Pendidikan ini kemudian mengutamakan penyelamatan bangsa, negara dan warganya sehingga mampu menjawab sparatisme-terorisme yang masih tumbuh subur di republik tercinta.
Pendidikan kemandirian adalah pendidikan yang mengutamakan pelaku-pemikir dan pemikir-pelaku cerdas yang mandiri guna mengatasi kebodohan-kemiskinan-pengangguran. Pendidikan ini menjawab tantangan perubahan yang berasal dari neoliberalisme dan etos kerja warga negara yang lemah.
Pendidikan inilah yang akan mengurangi kemiskinan-pengangguran sekaligus menciptakan lapangan pekerjaan sebagai pondasi bagi pemerataan dan tumbuhnya pembangunan yang aman, adil, ramah serta manusiawi. Pendidikan ini berbasis pada kesanggupan untuk memakai kekuatannya sendiri (self reliance) dan pembangunan yang mengutamakan keadilan sosial bagi seluruh warga negara tanpa pandang bulu.
Pendidikan kemodernan adalah pendidikan yang mengutamakan pada upaya penghapusan kebodohan-kemiskinan dan mental inlander dengan menempatkan “kaum bodoh-miskin” sebagai subyek utama pembangunan. Artinya, merekalah sasaran utama pembangunan nasional agar dapat sejajar dengan kaum kaya dan pintar. Dengan begitu, ideologi-praksisnya adalah pemerataan guna menjaga kebersamaan dan keselarasan.
Sebab itu, pendidikan ini akan menghasilkan agensi Pancasila yang sikap dan cara berpikir serta cara bertindaknya sesuai dengan tuntutan zaman (menzaman, adaptif dan kritis) tanpa meninggalkan idealitas dan warna khas lokal yang sesuai zamannya. Ciri utamanya adalah kreatif, berjangka panjang, solutif, progresif dan terbuka pada seluruh anasir perbedaan.
Pendidikan kemartabatan adalah pendidikan yang mengutamakan redistribusi pengetahuan nasional secara adil dan merata guna menanggulangi kesenjangan-kebodohan-kealpaan di setiap warga negara. Pendidikan ini akan menuntaskan kesenjangan kesejahteraan yang terjadi di masyarakat dengan cara yang serius, jujur dan bertanggungjawab.
Pendidikan ini dibangun atas kesadaran bahwa, kita kaya tapi miskin (kaya sumber daya alam, miskin penghasilan); Kita besar tapi kerdil (besar wilayah dan penduduk, kerdil produktivitas dan daya saingnya); Merdeka tapi terjajah (merdeka secara politik, terjajah secara ekonomi). Kita kuat tepi lemah (kuat dalam anarkisme, lemah dalam menghadapi tantangan global); Kita indah tapi jelek (indah potensi dan prospeknya, jelek dan korup dalam pengelolaannya). Akhirnya kita akan menjadi bangsa bermartabat.
Singkatnya, kurikulum pendidikan berbasis konstitusi adalah usaha membangun pendidikan negara dan warganya yang melindungi, memajukan, mencerdaskan, membariskan, memodernkan, memartabatkan (6M) yang terjilid dengan lima (5) dasar statis dan akan menyelenggarakan dua (2) program besar. Dua program tersebut yaitu program pembangunan jiwa (sektor non fisik), dan program pembangunan badan (sektor fisik).
Sebab cita-cita dalam program pendidkan jiwa dan badan itu telah disebutkan oleh petikan lagu kebangsaan kita, “Indonesia Raya.”
…Hiduplah tanahku/Hiduplah negeriku/Bangsaku rakyatku semuanya/Bangunlah jiwanya/Bangunlah badannya/Untuk Indonesia raya…
Metoda pendidikan konstitusional itu adalah mematrialisasikan kurikulum yang bertumpu pada lima hal : 1)Ruh al-istiqlal (freedom); 2)Ruh al-intiqad (criticism); 3)Ruh al-ibtiqaar (inovation); 4)Ruh al-ikhtira (invention); 5)Ruh al-idzati (interdependency). Dan, mendendangkan gairah meta science yang berkelanjutan. Ini merupakan anti tesa fraktal yang partisan, anti industri-teohnologi dan pinggiran. Sedangkan meta science, sebaliknya.
Singkatnya, semua agensi Pancasilais (warga negara unggul) yang selalu menjadikan pendidikan sebagai alat perang guna mendapatkan keadilan, kedaulatan dan kemakmuran dengan menjadikan Pancasila dan konstitusi sebagai modal utama, paham bahwa kita akan selalu menghadapi perang dan pertempuran yang harus dimenangkan.
Setidaknya ada perang kecerdasan yang selalu terjadi setiap saat: currency war, assimetric war, proxy war, medical war, perang biologi-kimia, perang psikologis, perang dirgantara yang kesemuanya bertumpu pada tekhnologi dan industri. Semua bisa dikenali via program Big Data, alat Artivicial Intelligence dan metoda Network Connectivity.
Aku percaya, kata Hatta (1955), “bahwa proyek neokolonialisme yang melucuti pilar utama dari sebuah bangsa merdeka, yakni kedaulatan dan kemakmuran akan terus berlangsung tanpa akhir bahkan jeda waktu.”
Karena itu tak ada pilihan lain kecuali siap siaga sepanjang masa, sepanjang usia. Inilah perang semesta. Perang modern yang hadir setiap saat. Tentu saja, ini bukan hipotesa sembarangan. Tetapi hasil perenungan yang dalam dari pendiri Republik Indonesia.
Tetapi, pada akhirnya pendidikan adalah faktor ultima untuk memenangkan masa kini dan masa depan. Tapi harus diingat—seberapa besar anggaran yang digelontorkan, seberapa banyak waktu dihabiskan—jika mental konstitusional tak menjadi ciri utama pembangungan pendidikan kita, semua akan mubazir saja.
Dus, pendidikan mental konstitusional akan menjadi kurikulum besar yang bersambung dengan Sejarah Geoteritorial Negeri Atlantis, Sejarah Nusantara dan Martabatnya, Gagasan dan Genealogi Indonesia, Jejak Langkah Para Pendiri Republik, Jejak Sastra dan Revolusi, Jejak Agama dan Revolusi, Sejarah Gerakan Sosial dan Revolusi, Jejak Revolusi Ekonomi-Politik Konstitusi, Arsitektur Imperium Indonesia Masa Depan.
Semua kehendak dan revitalisasi di atas dapat kita mulai dengan cara memilih pemimpin yang jenius dan crank (menyempal). Tanpa kepemimpinan yang berdentum dahsyat, sebagus apapun konsep pendidikan kita tak akan bermakna banyak.
Dus, soal utama kita adalah kepemimpinan dan keteladanan. Mampu menemukan dan menempatkan pemimpin yang dahsyat adalah cara utama memastikan revitalisasi pendidikan berbasis konstitusi akan berjalan. Memastikan pendidikan konstitusional adalah menghadirkan kemenangan atas perang dan pertempuran masa kini dan masa depan.(*)