Bekasi – Seorang konsumen perumahan di Cottonwood, Cileungsi, Bogor, Akhmadan, mengungkapkan kekecewaannya terhadap developer Gamhasada dengan kontraktor PT Bangum Pershada dan pihak bank pembiayaan yang merupakan bank pelat merah berbasis syariah.
Pasalnya, rumah yang ia akad pada 21 Desember 2021 lalu, baru selesai dibangun setelah hampir 3 tahun dan surat Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) dicurigai belum diurus pecah per kavlingnya.
“Jangankan IMB atau PBG asli, salinannya saat akad juga tidak diberi bahkan tidak diperlihatkan. Padahal salinan IMB itu hak kami,” ujar Akhmad, Kamis (6/11/2025).
Akhmad menuturkan, sejak awal pembangunan rumahnya dipenuhi kendala. Salah satunya akibat minimnya pengawasan dari pihak developer Gamhasada terhadap para mandor, terutama mandor bernama Ahmad S, yang dikabarkan kabur setelah menerima pembayaran tambahan sebesar Rp63 juta untuk perluasan rumah.
“Saya dan istri sudah melunasi biaya penambahan rumah, tapi pekerjaan belum pernah diselesaikan,” ujarnya.
Meski pembangunan tersendat, pada 21 Desember 2023 pihak pengembang melalui tim marketing menyatakan bahwa pembangunan rumah sudah hampir selesai, dan meminta Akhmad serta istrinya menandatangani dokumen tanda terima rumah. Ia sempat menolak karena kondisi bangunan belum rampung, namun akhirnya didesak dengan janji bahwa sisa pekerjaan akan segera diselesaikan serta bonus seperti kanopi segera diberikan.
“Faktanya, rumah memang berdiri, tapi banyak detail yang terbengkalai. Kami diminta tanda tangan dengan iming-iming agar dana pembangunan dari bank bisa cair penuh,” tambahnya.
Menurut informasi yang diperoleh Akhmad dari sumber internal, terdapat dugaan pencairan dana dari bank kepada pengembang tidak sesuai dengan kemajuan pembangunan. Saat fisik rumah baru mencapai sekitar 40 persen, dana sudah dicairkan hingga 80 persen. Setelah dokumen tanda terima ditandatangani, pihak bank langsung membayar pembayaran kepada pengembang, padahal rumah belum selesai 100 persen.
“Sepertinya ada permainan, termasuk soal surat PBG kami yang entah ada dimana. Sementara petinggi developer yang mengaku memiliki pesantren di Sragen tak bisa kami temui langsung karena selalu menghindar,” tegasnya.
Ketika rumah tak kunjung rampung, Akhmad dan isteri sempat mengunjungi kantor cabang bank syariah di Bekasi untuk menemui penanggung jawab pembiayaan rumahnya. Namun, ia hanya diterima oleh staf biasa. Upaya komunikasi melalui pesan singkat dengan pegawai bank juga tidak membuahkan hasil.
“Jawaban mereka ketus, hanya fokus menagih cicilan bulanan tanpa mencari solusi atas masalah pembangunan dan legalitas rumah kami,” keluhnya.
Hingga kini, surat PBB dan PBG unit rumah Akhmad belum dipecah oleh staf pengembang yang bernama Syarif, sehingga pihak bank diduga belum memegang dokumen aslinya. Akhmad pun menilai sikap bank terkesan menutup mata terhadap kewajiban legalitas developer, padahal banyak kasus di mana pengembang tidak menyerahkan surat PBG asli kepada konsumen meski telah melunasi cicilan.
Fenomena Developer Nakal
Kasus di Bogor ini menambah panjang daftar keluhan masyarakat terhadap praktik developer nakal di Indonesia. Modus yang sering terjadi antara lain pembangunan mangkrak meski dana bank sudah cair, hingga legalitas yang tak kunjung terbit. Lemahnya pengawasan pihak bank membuat konsumen semakin dirugikan.
Fenomena serupa baru-baru ini juga terjadi di Depok. Sejumlah perwakilan warga pembeli rumah di Perumahan YH, berencana melakukan audiensi ke Komisi II DPR RI terkait kasus pembangunan rumah yang molor hingga dua tahun.
Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Dede Yusuf Macan Efendi, mengungkapkan telah menerima laporan dan mendengar langsung keluhan warga tersebut.
“Ibu ini membangun rumah di sebuah perumahan di daerah Depok. Namun, setelah dua tahun, pembangunan rumah tidak datang, tidak berkembang,” ujar Dede Yusuf.
Ia juga menerima informasi bahwa pengembang terkait sulit dijangkau dan tidak memenuhi kewajibannya sesuai kontrak.
“Kemudian mungkin akan kita tindak lanjuti bersama pemerintah di sana ada wali kota Depok, DPRD, Kementerian ATR, dan Kementerian Perumahan. Insya Allah,” tambah Dede.
Akhmad juga menegaskan, ia tidak akan tinggal diam. Jika tidak ada itikad baik dari pihak bank maupun pengembang, ia berencana membawa kasus ini ke Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) serta mempertimbangkan melapor OJK dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) agar hak-haknya sebagai konsumen dilindungi.
“Sepertinya saya dan teman-teman juga bisa mengadukan ke anggota DPR karena bukan hanya saya yang mengalami. Jangan sampai masyarakat kecil yang berjuang mencicil rumah justru menjadi korban permainan developer dan lemahnya pengawasan bank,” pungkas Akhmad Dn, yang berprofesi sebagai Humas.

