JAKARTA, MENARA62.COM – Ketua Senat Universitas Krisnadwipayana (Unkris) Prof Gayus Lumbuun memandang perlunya Indonesia membentuk lembaga Mahkamah Medik atau Pengadilan Medik. Lembaga ini penting untuk mengakomodir kasus-kasus hukum yang menimpa profesi dokter dan tenaga medis lainnya.
Hal tersebut disampaikan Prof Gayus usai memimpin Sidang Terbuka Promosi Doktor atas nama Fransisren di kampus Unkris, Senin (24/2/2025). Fransisren yang berlatar belakang profesi dokter berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul Panduan Praktik Klinis sebagai Alat Bukti dalam Pembuktian Kelalaian Medis dan berhak menyandang gelar doktor bidang hukum kesehatan dengan predikat cum laude.
“Ini adalah kali pertama Unkris melahirkan seorang doktor yang berlatar belakang profesi dokter dengan kajian ilmu hukum kesehatan,” ujar Prof Gayus.
Ia berharap ke depan akan banyak dokter-dokter yang menempuh dan menyelesaikan gelar doktor hukum kesehatan di kampus Unkris. Karena kampus Unkris sejak dulu memang memiliki keunggulan di bidang ilmu hukum.
Disertasi yang disampaikan promovenda tersebut diakui Prof Gayus membuka mata dan kesadaran kita semua akan pentingnya lembaga pengadilan khusus bagi profesi dokter. Mengingat dalam pekerjaannya, sesungguhnya dokter tidak bisa disamakan dengan profesi lain. “Dokter dan para medis mestinya mendapat bentuk keadilan tersendiri. Mereka tidak bisa lecture general berupa KUHP. Karena tidak ada dokter yang dalam praktik profesinya berniat mencelakakan pasiennya,” lanjut Prof Gayus.
Menurut Prof Gayus, dalam praktik profesi, seorang dokter memang tidak bisa terlepas dari kesalahan. Baik itu sifatnya ringan, sedang hingga berat berupa cacat seumur hidup bahkan kematian.
Sementara itu dalam disertasinya, Fransisren menjelaskan dalam menjalankan profesinya, dokter acapkali dihadapkan pada kasus kelalaian medis, yakni kegagalan dokter dalam memberikan standar perawatan hingga mengakibatkan kerugian pada pasien. Perbedaan konsep kelalaian pada KUHP dan lex spesialis UU nomer 17 Tahun 2023 yakni pada legal standing dasar pembuktian kelalaian medis.
Pada pasal 359 dan 360 KUHP tidak melibatkan PPK (pejabat pembuat komitmen). Pada pasal 280 ayat (2) jo pasal 291 ayat (1) UU No 17 Tahun 2023 dijelaskan bahwa untuk menghindari dampak yang dapat merugikan tenaga medis, dan rumah sakit maka pelayanan harus dijalankan sebagai bentuk upaya terbaik, yang sesuai dengan norma, standar pelayanan, standar profesi dan kebutuhan pasien.
“Pembuktian ada tidaknya kelalaian yang dilakukan oleh dokter, perlu menghadirkan PPK dan rekam medis,” katanya.
Menurutnya banyak kasus-kasus pidana maupun perdata di pengadilan dalam hal pembuktiannya, hakim telah mengesampingkan PPK sebagai bukti surat. Permasalahannya adalah bagaimana PPK dapat dijadikan alat bukti dalam kasus kelalaian medis, bagaimana pertimbangan hukum yang diterapkan hakim dalam memutuskan dugaan kelalaian medis dan bagaimana hakim menggunakan PPK dalam menetapkan keputusan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembuktian kelalaian medis di rumah sakit dapat menggunakan PPK sebagai alat bukti jika memenuhi syarat hukum formil dan materiil. Syarat formil yakni jika PPK sesuai Perundang-undangan dan syarat materiil yaitu jika PPK disusun sesuai keilmuan yakni pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK).
Syarat pembuktian kelalaian medis menurut UU No 17 Tahun 2023 yaitu harus memenuhi kewajiban hukum, pelanggaran terhadap kewajiban, cedera dan kausalitas Putusan Hakim berdasarkan atas batas minimum pembuktian yang mengacu pada pasal 184 KUHAP dimana masing-masing alat bukti dikaitkan dengan peran PPK ditambah keyakinan hakim yang mengacu pada pasal 183 KUHAP dimana system pembuktian menurut UU secara negative