29.2 C
Jakarta

Kuliahkah di Lebanon

Baca Juga:

Lho! Ternyata ada. Mahasiswa Indonesia yang kuliah di Lebanon. Itu dia, yang di medsos itu. Yang tiba-tiba tahu saya lagi di Lebanon itu. Yang kemudian ingin ketemu saya itu.
Saya hubungi Sasa. Yang atur jadwal saya. Pengganti Meichy yang sudah menikah di Bima bulan lalu. Saya minta Sasa untuk mencari mahasiswa itu. Saya ingin undang ia makan malam. Mahasiswa di perantauan biasanya – – pinjam istilah mereka– perlu perbaikan gizi. Sesekali.

Saya minta pada Sasa: agar mahasiswa itu sendiri yang menentukan. Di mana makan malamnya. Boleh juga mengajak teman. Paling-paling dua-tiga orang. Ini kan bukan Mesir. Atau Amerika. Atau Tiongkok. Atau Arab Saudi. Yang mahasiswa Indonesianya ribuan.
Ternyata mahasiswa tadi cepat sekali memutuskan. Malam hari itu juga.

Di Beirut. Di Pusat kota. Restorannya pun sudah ia tentukan: Mandi Hadramaut Restorant. Pun menunya. Sudah mereka pesan.
Dan yang datang: 25 orang!
Ini mau makan atau mau perang?
Untung restorannya besar sekali. Gaya Arab.
Saya was-was. Dompet saya kan tipis sekali.
Tapi saya segera tenang. Kan ada kartu kredit.
Saya pun melupakan jumlah batalion itu. Fokus ke kegembiraan.

 Mandi Hadramaut Restorant, tempat makan siang bersama pelajar Indonesia di Beirut.
Mandi Hadramaut Restorant, tempat makan malam bersama pelajar Indonesia di Beirut.

“Kami semua kangen Pak Dahlan,” kata Umar Syarif Alatas. Ia baru terpilih menjadi ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia Lebanon. Kuliahnya di kota Akkar. Tiga jam naik bus ke Beirut. Itulah kota kecil di perbatasan dengan Syiria.
Kangen?
Kapan ketemunya?
“Di dalam mimpi pak,” kata Ahmad Syarif sambil tertawa. Alumni Tebu Ireng Jombang itu. Asal Makassar itu. Yang lain ikut tertawa. Seru.

Di depan kami pun ada barang tumpah. Makanan gaya Hadramaut: nasi mandi. Di beberapa nampan. Ada yang di atasnya gumpalan-gumpalan kambing. Ada juga onggokan-onggokan ayam. Ada pula lembaran-lembaran ikan. Lengkap dengan assesorinya: nampan-nampan yang saladnya membukit di atasnya. Bundaran-bundaran roti. Butiran-butiran zaitun. Dan entah apa lagi.

Tapi yang lebih banyak lagi pertanyaan: tentang masa lalu saya. Saya menghindari pertanyaan seperti itu. Lebih baik bicara tentang masa depan mereka.
Ternyata ada 92 mahasiswa Indonesia di Lebanon. Di berbagai kota. Dari jumlah itu ada dua yang wanita. Salah satunya Lya. Yang ikut datang ke resto ini. Dari kota Tripoli. Juga hampir tiga jam dari Beirut.
Yang enam orang lagi mahasiswa Syiah. Asal Malang. Kuliahnya di dekat masjid tempat saya Jumatan itu. Di Malang satu keluarganya Syiah semua.

“Yang Pak Dahlan ke masjid itu, itu bukan Jumatan. Itu salat duhur. Karena itu empat rakaat,” kata Hasan Fadlullah. Yang duduk di depan saya. “Jumatannya di masjid satunya,” tambahnya. Terima kasih keterangannya.
Hilangkan penasaran saya. Tentang empat rakaat hari itu. Di wilayah Syiah memang berlaku: di satu kota hanya satu masjid yang menyelenggarakan Jumatan. Masjid lain cukup salat duhur. Yang didahului khotbah. Sebetulnya masjid lain boleh juga Jumatan. Asal berjarak paling tidak 5 Km jauhnya.

Terjawab juga penasaran saya. Saat ke Iran dulu: mengapa di seluruh Teheran hanya satu masjid yang Jumatan. Itu pun hukumnya tidak wajib (sunnah). Sejak imam Syiah dalam status gaib. Setelah imam ke 12 meninggalkan dunia.
Selebihnya adalah mahasiswa Sunni. Itulah sebabnya. Lokasi kuliah mereka umumnya di wilayah Lebanon Utara. Basis Sunni.
Bahkan ada yang di wilayah Hisbut Tahrir. Yang di situ pun. Paling rajin mengibarkan benderanya.

BACA JUGA: Druze

“Kami ini belajar hidup di tengah banyak aliran,” kata mereka. Di Lebanon, partai komunis pun ada. Tidak dilarang. Tapi juga tidak laku. Paling demo-demo. Seperti pekan lalu. Saat penyusunan kabinet gagal lagi. Setelah delapan bulan pemilu.
Kuliah di Lebanon ini banyak yang bisa mereka banggakan. Ilmu agamanya tidak kalah. Ilmu toleransinya sangat tinggi. Saya jadi ingat waktu di pondok dulu: banyak sekali kitab kuning yang penerbitnya Lebanon. Menandakan sumber ilmu yang tinggi.
PPI Lebanon pun pecahkan rekor: pertama di Timur Tengah. Yang memiliki anggota mahasiswi.

Mereka mengakui. Banyaknya mahasiswa kita di Lebanon adalah hasil perjuangan duta besar Ahmad Chozin Chumaidi. Yang sampai saat ini masih menjabat di Beirut. Yang saya tidak sempat menemuinya.

Dubeslah yang rajin mencari sumber beasiswa. Ada yang dari yayasan keagamaan. Ada yang dari universitas. Jenis bea siswanya pun tidak sama. Ada yang semua gratis. Bahkan masih mendapat uang saku. Ada yang gratis saja. Ada pula yang gratisnya hanya uang kuliah dan tempat tinggal. Makan cari sendiri.

Memang banyak yang merasa aneh. Kuliah kok di Lebanon. Mereka sendiri umumnya ditanya keluarga. Saat pamit mau berangkat: ini mau kuliah atau perang?
Ada juga yang bilang begini. Guyon. “Setidaknya bisa dapat istri Lebanon”.
Cita-cita beristri Lebanon jadi impian pria sedunia. Sudah terkenal pameo ini: dari 10 wanita Lebanon yang cantik 11.
Atau, dalam istilah mahasiswa malam itu, dari 10 wanita Lebanon 20 yang cantik. “Bayangan. Mereka pun cantik,” guraunya.
Saya bersaksi. Dan saya menyetujuinya.
Tapi mahasiswa di Lebanon harus tandatangan perjanjian. Sebelum menerima beasiswa dulu. Tidak boleh sambil bekerja. Dan tidak boleh kawin dengan wanita Lebanon.
“Saya pernah bertemu Pak Dahlan sungguhan,” ujar mahasiswa dari Lampung itu.
“Di mana?” tanya saya.
“Di pesantren Kyai Iskandar SQ di Jakarta,” katanya.
Ia sekolah di sana. Asal Lampung Tengah. Sudah tiga tahun di Lebanon. Mendalami ilmu syariah.
Saya memang beberapa kali sowan kyai Iskandar. Saat beliau masih hidup. Dan saat saya masih kesasar di birokrasi.
Daerah asal mahasiswa yang makan malam itu juga aneka ria: Aceh Tamiang, Asahan, Jambi, Rengat, Palembang, Lampung, Jakarta, Serang, Bekasi, Pemalang, Sleman, Magelang, Lamongan, Malang, Banyuwangi, Makassar….
Saya pun dapat kado malam itu. Sebuah buku. Judulnya bagus: Jazirah Kucing Kampung. Gambar sampulnya juga bagus: lihat sendiri fotonya. Karya Ahmad Zuhdi. Yang mengaku kangen saya di medsos itu.

Itulah buku karya mahasiswa Indonesia di Lebanon. Kumpulan cerpen. Dengan latar belakang kultur Indonesia. Dan negeri baru mereka.
Salah satunya karya Lya Khafidzul Khoir. Bagus sekali. Mahasiswi University of Tripoli. Yang kampungnya di Lyak118@gmail.com. Yang warungnya di IG@lyakhafidzul.
Sepulang dari makan saya baca habis buku itu. Saya bangga. Begitu banyak yang bakat menulis. Akan bisa lahir disway-disway masa depan.
Insyaallah. Amin.

Saya juga mencatat kegelisahan mereka. Bahkan menjadi renungan saya juga. “Siapakah alumni Timur Tengah yang bisa jadi role model,” seperti yang dikatakan Fitrah Alif.
“Kebanyakan kami yang belajar di Timur Tengah ini hanya berpikir masuk sorga itu hanya bisa lewat agama,” kata Alif.

Ia mahasiswa di kota pantai Tripoli. Yang dulu ibukota Lebanon. Perlu naik bus tiga jam untuk makan di Beirut ini. Asalnya Palembang. Sekolah di Darul Qur’an Jakarta. Milik ustadz Yusuf Mansyur itu.

“Saya menyalami pak Dahlan waktu itu. Saat bapak ke pondok kami. Saya tahu bapak ke makam kyai jam 2 malam,” katanya.
Role model itu, katanya, sangat dirindukan. “Saat ini hanya ada TGB,” ujar Alif. Yang ia maksud adalah Tuan Guru Bajang. Doktor lulusan Al Azhar Mesir. Hafal Qur’an. Jadi gubernur NTB dua pereode. Penggemar bersepeda jarak jauh.
Pernah juga, katanya, ada DR Hidayat Nur Wahid. Lulusan Madinah. Yang pernah jadi Ketua MPR. Intelektual PKS.
“Semoga di antara kami ini ada yang jadi role model masa depan,” ujar Alif.
Role model.
Begitu banyak anak muda yang merindukan itu.

Kuliahkah di Lebanon
Berfoto bersama, jadi penutup seusai makan malam bersama mahasiswa Indonesia di Beirut dan penulis.

Saya bahagia malam itu. Saya ingin lebih lama bercengkerama bersama mereka. Saya tanya: jam berapa restoran tutup. Dijawab: jam 2 malam. Berarti masih banyak waktu.
Di Lebanon memang aneh. Restoran baru ramai menjelang tengah malam. Cafe Cafe begitu ramai. Tengah malam.
Tapi saya juga tahu: mereka adalah mahasiswa. Tinggal di asrama. Yang punya aturan beda dengan restoran.
Di akhir makan malam saya kembali khawatir. Cukupkah isi dompet ini?
Restoranlah yang membuat saya khawatir. Bukan mahasiswa itu. Kartu kredit tidak laku di restoran ini. Harus bayar kontan. Saya menjauh dari mahasiswa. Saat membuka dompet.
Alhamdulillah. Uang terakhir masih cukup. Untuk naik taksi pulang ke hotel.

Penulis: Dahlan Iskan

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!