Oleh: Sutia Budi
Kita kembali kehilangan salah satu putra terbaik Indonesia. Sosok panutan, yang nasihat dan pendapatnya selalu dinanti oleh ummat -bahkan lintas ummat- negeri ini dan dunia Islam pada khususnya. Kyai Haji Ahmad Hasyim Muzadi, mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU, 1999-2010), tokoh Islam Indonesia terkemuka, mantan Calon Wakil Presiden Republik Indonesia pada Pilpres 2004, menjabat sebagai Anggota Dewan Pertimbangan Presiden sejak 19 Januari 2015 hingga akhir hayatnya. Almarhum, telah mewakafkan seluruh hidupnya untuk tegaknya nilai-nilai, serta menjaga keutuhan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sikap dan pendapatnya, mungkin sering berseberangan dengan pendahulunya, Ketua Umum PBNU sebelumnya (Gus Dur), namun Kyai Hasyim selalu menyikapi perbedaan pandangan itu dengan bijak. Sekalipun dalam berbagai kesempatan sering “disemprot” oleh Gus Dur. Namun Sang Kyai tetap menanggapinya dengan penuh bijaksana. Tentu, Gus Dur baginya adalah sahabat sekaligus guru, sehingga sekalipun berbeda pandangan tentang suatu hal, tidak pernah menimbulkan “keretakan mendalam”.
Sekalipun pada 11 Juli 2004 (liputan6.com), Gus Dur pernah marah, beliau mengatakan tidak akan melakukan kesepakatan apa pun dengan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Nonaktif Hasyim Muzadi (Ketika Kyai Hasyim menerima tawaran menjadi Cawapres). “Hasyim itu tidak jujur. Dan saya tidak akan deal dengan dia sampai kapan pun,” kata Gus Dur kala itu. Gus Dur menekankan, tidak ada peluang untuk rujuk dengan Kyai Hasyim yang menjadi Calon Wakil Presiden mendampingi Ibu Megawati Sukarnoputri. Selama ini, Gus Dur mengaku selalu menghindar dari kemungkinan bertemu Kyai Hasyim. “Dia mengharap bertemu dengan saya di Pesantren Sunan Drajat, Lamongan, Jawa Timur. Saya tahu dia nungguin segala macam. Tetapi saya nggak mau,” kata Gus Dur.
Namun pada akhirnya (liputan6.com), pada 17 Agustus 2004 Kyai Hasyim bertemu Gus Dur. Pertemuan mereka difasilitasi warga keturunan Tionghoa di Jakarta yang sedang memperingati HUT ke-59 RI. Pertemuan tersebut adalah yang pertama sejak Kyai Hasyim mencalonkan diri sebagai Wapres. Kyai Hasyim dan Kyai Solahuddin Wahid (adik Gus Dur, cawapres Partai Golkar) duduk berdampingan di deretan kursi depan. Sementara Gus Dur memilih duduk terpisah. Seusai acara, Kyai Hasyim mengatakan bahwa pertemuannya dengan Gus Dur baru sebagai pembuka. Belum ada pembicaraan serius, misalnya, tentang koalisi. Sementara Gus Dur mengaku tak ada persoalan pribadi antara dirinya dengan Kyai Hasyim Muzadi. Apapun kata keduanya, perselisihan di antara mereka sudah bukan rahasia. Ketegangan memuncak ketika Kyai Hasyim menerima pinangan Ibu Megawati Sukarnoputri sebagai Cawapres. Sementara Gus Dur dan Musyawarah Kerja Nasional PKB menghendaki Kyai Hasyim Muzadi menjadi Capres PKB bila Gus Dur terganjal masalah kesehatan.
Dari kisah di atas, nampak jelas betapa “sayangnya” Gus Dur kepada Kyai Hasyim. Bukan jadi Cawapres, tetapi Gus Dur menghendaki Kyai Hasyim menjadi Capres (bila Gus Dur terganjal). Keberanian dan kebulatan tekad Kyai Hasyim dalam menentukan sikap politiknya, dalam pandangan Muhammadiyah, dapat dikatakan linier dengan apa yang termaktub dalam Pedoman Kehidupan Islami Warga Muhammadiyah dalam Kehidupan Dalam Berbangsa dan Bernegara, pada poin pertama, yang berbunyi: “Warga Muhammadiyah perlu mengambil bagian dan tidak boleh apatis (masa bodoh) dalam kehidupan politik melalui berbagai saluran secara positif sebagai wujud bermuamalah, sebagaimana dalam bidang kehidupan lain dengan prinsip-prinsip etika/akhlaq Islam dengan sebaik-baiknya dengan tujuan membangun masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.”
Kyai Hasyim dan Gus Dur adalah anugerah indah dari Tuhan bagi Indonesia. Dalam sebuah diskusi tentang Gus Dur (11 Desember 2016) bersama Prof Greg Barton, dosen Monash University Australia yang juga pengamat NU, Kyai Hasyim mengatakan (youtube.com):
“Saya mengenal Gus Dur tahun 1979, dan terus bersama beliau sampai dengan 1999, jadi 20 tahun penuh mendampingi beliau, dan menjadi juru bicara pemikiran beliau yang sulit-sulit itu… (tersenyum) …beliau lebih mementingkan pendekatan yang filosofis, jadi makna dari agama itu, tidak sekedar teks agama. Yang kedua, pendekatan etis, dimana agama ditampilkan sebagai kesopanan universal. Yang ketiga, beliau membawa agama secara humanis. Sehingga agama harus wujud di dalam sebuah persaudaraan kemanusiaan yang utuh. Nah, ketiga pendekatan ini mengalahkan pendekatan legal-formal di dalam agama…. Nah, lompatan-lompatan ini, pemikiran ini, oleh Gus Dur disampaikan sedikit demi sedikit. Karena harus disampaikan di NU yang sangat konvensional di dalam pemikiran. Beliau selalu berceramah dengan saya, dan saya harus menjelaskan lompatan-lompatan ini. Jadi ketika beliau mengajar Agama Islam di Gereja, itu ribut Kyai-Kyai. Dan yang dimarahi itu saya… (hadirin pun tertawa..) ‘kamu yang dekat dengan Gus Dur kok ngga ngomong. Masa khutbah di Gereja.’ Begitu… marah itu semua. Saya tanya sama Gus Dur, ‘Gus, Sampeyan dimarahi sama Kyai-Kyai…’ Jawabnya Gus Dur: ‘Loh.. saya di situ mengajar loh, saya ndak jadi murid di situ.’ Bener juga saya pikir….akhirnya hal itu yang saya sampaikan kepada Kyai-Kyai. Nah, Pendekatan tiga ini menjadikan Gus Dur tidak bertumpu kepada fikih agama, tapi bertumpu pada esensi agama itu. Nah, yang dipegangi tidak pernah lepas adalah Theologi. Theologi ini tidak dilepaskan sama sekali oleh Gus Dur. Tapi wujud dari Theologi itu harus berupa humanis, etika dan filosofi agama-agama..”
Persahabatan Kyai Hasyim dengan Gus Dur demikian hangat, walau diwarnai pasang surut. Namun itu hal yang wajar dan biasa saja dalam dinamika per-teman-an. Lalu, bagaimana hubungan Kyai Hasyim dengan Muhammadiyah serta ormas Islam lainnya? Subhaanallah… Beliau adalah perekat, penyambung, pemersatu ummat, yang kehadirannya amat dinanti golongan manapun. Tengok saja ketika beliau bersilaturrahim dengan berbagai kalangan di negeri ini. Sangat hangat, sejuk, serta membawa kegembiraan dan keceriaan.
Apa pun yang terjadi, komentar, pendapat, nasihat Kyai Hasyim, sepanjang pengetahuan penulis, selalu menyejukkan, menenangkan-menenteramkan, dan menggembirakan bagi siapa pun yang mendengarnya. Insya Allah, tidak ada yang terluka, ketika Sang Kyai berbicara, kecuali maaf, yang mendengar sedang “sakit”. Oleh karenanya, Kyai Hasyim “selalu dinanti”. Ya, selalu ditunggu nasihat dan “fatwa”-nya.
Sebagai contoh, ketika masyakat dibuat gonjang-ganjing karena ulah seseorang bernama Taat Pribadi (Dimas Kanjeng). Komentar Nasihat Kyai Hasyim sangat lugas dan bijak dalam sebuah acara Talk Show di sebuah stasiun televisi swasta yang mengangkat tema: “Menguak Misteri-Misteri Kanjeng Dimas”. Acara itu dihadiri oleh Ulama, Politikus, Akademisi, dan Pakar-pakar lain, termasuk mereka yang pro terhadap sosok Taat Pribadi (diantaranya yang hadir adalah Prof Dr Marwah Daud Ibrahim).
Berikut ini adalah paparan lugas dan bijak Kyai Hasyim (youtube.com):
“Assalaamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh…Para Pemirsa sekalian yang saya muliakan, Pak Karni (DR Karni Ilyas). Saya tidak kenal Taat Pribadi, sekalipun saya orang Jawa Timur. Tapi saya tahu, di Probolinggo itu sering ada begitu, ganti-ganti orang. Ini apa karena “tanah-nya” yang sangar?, apa bagaimana? Nah, saya hanya mendengar dari uraian para bapak-bapak dan juga dari berita Jawa Timur, yang sebagian besar saya percaya karena beliau-beliau bukan orang yang suka bohong. Kalau seperti yang diceritakan tadi saya setuju kepada kesimpulan, bahwa fenomena ini adalah fenomena penipuan. Fenomena kekejaman dan kezaliman. Saya tidak berani mengatakan ini dibungkus agama, karena bungkusnya memang tidak ada. Tapi diaromakan agama, iya. Nah, saya juga setuju dari Pak Akbar Faisal tadi, Bu Marwah (Prof Dr Marwah Daud Ibrahim) ini kembali sajalah kepada kita-kita ini…”
Hadirin langsung bertepuk tangan, riuh… Dugaan penulis, pemirsa di rumah yang mendengar komentar Sang Kyai akan tersenyum lebar, senang dan mungkin juga ada yang bertepuk tangan sendirian di rumahnya masing-masing. Prof Dr Marwah Daud Ibrahim (“pengikut” Dimas Kanjeng) pun tersenyum. Entah…, tersipu malu dibuatnya, tapi nampaknya tak sedikit pun merasa direndahkan.
Lalu Kyai Hasyim melanjutkan, “Saya kenal beliau itu di London, jauh dari sini (Bu Marwah terlihat tersenyum, manggut-manggut tanda meng-iya-kan ucapan Sang Kyai). Pada waktu itu kopernya hilang, jadi bajunya habis dan menggunakan baju istri saya. Untungnya saya tidak keliru…” Prof Dr Marwah Daud Ibrahim tertawa lebar dan hadirin pun demikian.
“Nah, karena kecerdasan itu belum segalanya. Kepandaian, kecerdasan itu masih tergantung pada kejiwaan. Ketika kejiwaan itu goncang, maka kecerdasan pun juga goncang. Sehari-hari kita, yang doktor, yang profesor, yang pinter-pinter itu, kalau pulang, itu dimarahi istrinya, bisa goblok, ngga ada dia itu…” Sang Host dan hadirin pun tertawa lebar.
Kyai Hasyim selanjutnya mengatakan:
“Mungkin ini pengalaman semua. Artinya apa? Intelektualisme bisa goncang karena instabilitas rohani. Nah, pada instabilitas rohani inilah, seluruh penyakit-penyakit rohani, baik yang dari dalam maupun yang dari luar masuk di situ. Mengapa saya mengambil kesimpulan ini, karena setelah saya runut di dalam agama, saya hanya tahu dari agama dan negara. Ini ukuran saya untuk melihat sesuatu. Untuk yang lain saya tidak ahli, sehingga saya tidak menggunakan pendapat-pendapat atau pendekatan-pendekatan itu.”
“Saya runut di agama, ini nggak ketemu, pembenaran terhadap fenomena ini. Di agama itu ada (istilah) perdukunan, yang di dalam agama disebut “kahanah”. Tapi jenisnya banyak perdukunan itu. Pertama, dukun fisik yang bermanfaat. Misalnya dukun bayi, itu kan bagus itu. Dukun bayi, dukun pijat, dan diantara mereka juga ada yang diberikan kelebihan oleh Allah. Misalnya ada tulang yang patah, itu disentuh saja, kadang juga sudah bisa baik. Tapi ini jelas halal, karena tujuannya dan peruntukkannya. Tapi kalau perdukunan ini sudah masuk ramalan, ini bermasalah. Meramal nasib orang dan sebagainya. Antronomi bagus, tapi Astrologi itu tidak bagus. Allah menciptakan takdir itu disimpan, dan tidak boleh dikemukakan oleh orang yang oleh Allah diberi kemampuan untuk melihat takdir itu.”
“Memang ada beberapa orang yang diizinkan Allah untuk melihat ke depan. Tetapi sekalipun dia tahu, dia tidak boleh memberitahukan kepada masyarakat awam secara vulgar. Karena dia tidak akan kuat menerima itu. Misalnya saya menyampaikan kepada Pak Azyumardi (Prof Dr Azyumardi Azra) bahwa ‘anda akan meninggal 3 bulan lagi’. Ini kan ngga bisa. Kan lebih baik, ‘insya Allah panjang umur’. Kan gitu. Nah kenapa? Dia harus mencari formulasi, yang formulasi ini bisa dimengerti oleh orang awam dan kuat orang awam menerimanya.”
“Seperti pengalaman saya pribadi, ayah saya sakit keras, saya datang ke kakek saya, yang dikenal kakek saya itu mengertilah “begitu”. Saya bilang “Mbah, ini ayah sakit, mohon dido’akan dan mohon dikirim obat”. Jawab gimana? “Ya, ndak usah, kamu pulang saja, ndak, ndak, kalau akan mati tahun ini, ndak, ndak bakalan”. Gembira saya pulang Pak, karena ndak tahun ini. Nah saya tidak sadar bahwa ini sudah di penghujung tahun. Akhirnya 5 hari kemudian Muharram, innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Tapi menyampaikannya kan baik. Dan itu larangan kepada siapa ahli hakekat untuk menyampaikan hakekat tanpa bungkus. Itu tidak boleh. Nah kemudian, ada memang perhitungan, bukan ramalan, kalau kamu begini akan menerima Allah begini, kalau kamu begini, Tuhan akan memberinya begini. Itu memang ada patokannya di dalam agama. Ini bukan ramalan. Misalnya “sing becik ketitik olo ketoro”. Kita bisa mengatakan, kamu berbuat sekarang nanti panen loh yang akan datang. Ini bukan ramalan, memang ketentuan Yang Maha Kuasa begitu. Tapi kalau kemudian membongkar takdir, ini tidak boleh.”
“Menjadi ahli nujum juga tidak boleh. “Kadzaba al-munajimuuna walau shadaqu”. Orang ahli nujum itu bohong sekalipun dia benar. Jadi kalau benar pun, dia ketepatan. Nah, ini jenis perdukunan pertama.”
“Jenis perdukunan kedua adalah yang menggunakan, berkolaborasi dengan makhluk halus, makhluk ghaib yang bisa dihubungi untuk menyampaikan hasrat dan tujuan-tujuannya. Dan makhluk itu hanya dua. Syaitan atau Jin. Malaikat tidak mungkin, karena malaikat itu bukan sewaan. Dia hanya bekerja dengan garis Allah. Tapi yang dua ini bisa dipakai untuk teman. Dikirim ke sana, melihat yang di sana apa. Dikirim ke bank sana, ambil beberapa uang ke sini. Tapi Syaitan ini juga tidak bisa menjelma uang untuk selamanya. Tapi dia menggeser uang, itu dia bisa. Tapi jahatnya Syaitan itu, kalau sudah dipakai orang, maka dia akan meminta upah yang sangat tinggi. Baik dia berupa harta, kehidupan, atau mungkin binatang, yang banyak adalah nyawa orang. Sehingga banyak tumbal-tumbal yang harus dikorbankan untuk itu.”
“Nah, kalau Jin itu kadang bisa baik, bisa buruk, kenapa? Karena ada yang muslim juga Pak Karni (DR Karni Ilyas). Nah, tapi semuslim-muslimnya, dia juga tetap minta upah. Nah, upahnya adalah dia harus dirawat kemauannya. Kalau tidak, dia akan mengganggu keluarga itu. Jadi tidak ada gunanya, Kyai punya santri Jin. Kalau dia anu Kyai ini kedatangan sendiri monggo, tapi kalau dia memanajemen per-Jin-an, itu tidak bisa. Tapi yang paling bahaya adalah Syaitan yang meminta tumbal atas perintah-perintah manusia itu. Jadi kematian, kadang-kadang pembunuhan, kadang-kadang ketumbalan daripada yang diminta oleh syaitan-syaitan itu. Nah ini antara beda dan tidak bedanya, antara perbedaan dan kesamaan Jin dengan Syaitan itu.”
“Nah, sekarang kalau kita geser menjadi “Karomah”. Ini sangat jauh Pak. Ini hitam-putih. Yang disebut black magic dan white magic. Karomah selalu berjalan dimulai dari kesalehan. Kecuali Allah menghendaki lain. Ada orang perampok misalnya, kemudian karena dia mendapat hidayah, dia menjadi Waliyullah, seperti Sunan Kali Jogo. Tapi setelah jadi Waliyullah, dia tidak menggandakan uang Pak. Nah ini pada proses karomah ini, ada yang langsung memang oleh Allah ditunjuk, tapi ada juga yang harus merangkak dari bawah. Nah orang-orang, pertama kali dia saleh, naik lagi dia punya Basyirah, artinya hatinya itu terasa, oh ini baik, ini tidak. Nah ini sangat diperlukan oleh seorang pemimpin di dalam mengangkat siapa pembantunya. Tidak cukup dengan rasionalitas, tapi harus dengan rasa juga. Supaya dia tidak keliru terus, dia menunjuk pemimpin itu.”
“Naik lagi namanya Fadhilah. Fadhilah artinya kelebihan yang diberikan Allah. Naik lagi Ma’unah. Ma’unah ini adalah pelipatgandaan kekuatan orang, jauh dari kekuatan yang sesungguhnya. Seseorang sebetulnya tidak kuat untuk menjadi Presiden, tapi karena diberi Ma’unah maka dia kuat. Tapi ketika itu diambil, kelihatan bodohnya, aslinya. Sehingga dengan demikian, naik lagi baru Karomah. Nah, karomah ini diberi oleh Allah kemampuan untuk melihat serba-dimensi, yang lalu, yang sekarang, dan yang akan datang. Jadi kalau ketemu orang, itu dengan gamblang, dia bisa membaca. Kenapa? Sekat-sekat daripada dia dengan alam ghaib dan kodrat Allah itu diambil oleh Allah SWT. Sehingga semuanya itu terang, tetapi seterang-terangnya dia tidak boleh membuka ini kepada manusia biasa. Nah di sini beratnya. Orang tahu, tapi tidak boleh menyampaikan “ketahuannya”. Dia harus mencari formula-formula yang orang awam juga menerima, bisa kuat menerima, tetapi sambil berjalan dia dibimbing menuju ke jalan yang benar.”
“Nah, kalau kriteria ini yang kita pakai, tidak ketemu fenomena itu dimana tempatnya? Dimana tempatnya? Saya tidak menuduh ini menggunakan prewangan atau apa, tetapi konsep agama seperti itu. Kita mikir sendiri, kira-kira fenomena itu masuk sebelah mana?”. Beliau tersenyum beberapa detik.
“Nah, Sekarang kita masuk rasio biasa saja. Tadi yang sudah disampaikan Pak Mahfud (Prof Dr Mohammad Mahfud MD), rasio biasa aja. Kalau memang seseorang bisa mengadakan uang, atau katakanlah menggandakan uang, kenapa mesti uang orang lain yang diminta?” Hadirinpun kembali bertepuk tangan.
“Lah uangnya sendiri digandakan, misalnya sekarang sepuluh ribu, digandakan jadi sepuluh juta, besok pagi digandakan lagi menjadi sepuluh milyar, digandakan lagi sepuluh triliun. Kan sudah selesai. Ada apa dia mesti harus cari di Makassar? Harus masih di sana dan sebagainya. Apalagi ada maharnya. Nah, cuma kembali seperti yang disampaikan oleh Pak Azyumardi (Prof Dr Azyumardi Azra), sudah tahu begitu, pengikutnya kok banyak. Kesimpulannya, masyarakat kita sedang sakit,” papar Sang Kyai dengan lugas dan tegas, sambil mengacungkan telunjuk tangan kanannya. “Benar” sambar Bang Karni Ilyas (Host) diiringi tepuk tangan hadirin.
“Yang masyarakat bawah miskin dia pun pengin uang, yang masyarakat tengah dia mulai kesulitan ekonomi, yang masyarakat atas sudah sangat serakah, sehingga seberapa pun duit itu, dia tidak pernah akan cukup.” Kyai Hasyim menggoyangkan telunjuk tangan kanannya yang disambut riuh tepuk tangan hadirin.
“Maka dalam kondisi seperti itu, irrasionalitas, dan khusus di bidang ekonomi, ini akan tumbuh secara menjamur. Insya Allah, ini kalau tidak ada penanganan akan terjadi seperti ini terus. Dimana-mana tempat, tapi ujung-ujungnya tetap ekonomi Pak. Jadi agama dan sebagainya itu hanya sebagai landasan, tapi ujung-ujungnya adalah uang itu tadi. Maka yang penting sekarang, mumpung di sini ada Ketua MUI Jawa Timur, apalagi Ketua MUI Probolinggo, yang banyak begini ini Jawa Timur Pak. Kata pak Azyumardi karena banyak NU-nya..” Mendengar paparan Sang Kyai, Prof Dr Azyumardi Azra dan hadirin pun tertawa renyah.
Kyai Hasyim melanjutkan, “Saya juga ngenes, sebetulnya NU (warga NU) ini kenapa?, yang menipu NU (warga NU), yang ditipu juga Alhamdulillah….”.
“NU (warga NU)” timpal Bang Karni Ilyas yang disambut gelak tawa hadirin.
“Ini harus diterangkan, kepada ummat bahwa jangan mendekati begini-begini. Hal-hal yang seperti ini. Tapi ummat, itu tidak selalu mengerti membedakan, mana penipuan, mana gendam, dan mana Karomah. Nah, tetapi untuk memudahkan mereka, kita beri saran saja, kalau ada seseorang mengaku bisa begini, begini, begitu, tetapi kelakuan tidak baik dan ibadahnya tidak jelas, jangan didekati dulu. Kedua, dicoba, orang ini kalau saya minta sesuatu yang jahat dia menuruti apa ndak? Misalnya, Mbah Dukun, tolong toko yang sebelah saya itu dimatikan aja. Supaya saya bisa…. Begitu dia mau, jangan didekati. Inilah bedanya, al-kahanah, an-nujum, dan al-karomah.”
“Sehingga harus ada kehati-hatian, Jangan mendekati orang-orang, yang sebenarnya dia seperti ‘Auliaullah’, tetapi ibadah dan akhlaknya tidak sesuai dengan kriteria yang ada itu semua. Semoga rangkuman saya ini ada guna dan manfaatnya…. wassalaamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh..” Tepuk tangan hadirin terdengar begitu riuh, mungkin tanda setuju dan puas dengan paparan Sang Kyai.
Bang Karni Ilyas lalu mengajukan pertanyaan, “ Pak Kyai, boleh tanya, apakah orang yang memanaj syaitan ataupun jin tadi termasuk golongan yang musyrik?”
Kyai Hasyim spontan menjawab, “Bukan hanya musyrik, ya kafir, ya musyrik, ya sesat, semua numpuk di situ. Karena kita sudah diberi tahu syaitan itu musuhmu. Jangan sekali-kali kamu perlakukan sebagai teman. Dia harus diperlakukan sebagai musuh. Maka ketika kita memperlakukan sebagai teman, kita sudah hancur dunia kita dan akhirat kita. Bayangkan Pak, kalau mereka minta setiap tahun harus ditumbali dengan nyawa. Kadang-kadang dia dimatikan sebelum mati yang sesungguhnya. Kemudian disiksa oleh syaitannya itu, betapa korban-korban yang jatuh dan dosa kita. Sementara yang kita cari, hanya uang. Kalau mereka mencuri, seperti tuyul, seperti itu bisa gampang pak. Tapi baliknya ini yang berbahaya. Dia akan meminta imbalan yang jauh lebih dahsyat daripada jumlah yang kita terima. Dan itu bisa. Ada tempat-tempat kita, grup-grup, mungkin WA-WA, dari syaitan-syaitan itu yang bisa dihubungi. Dan juga Jin. Kalau Jin itu masih ada lumayannyalah. Cuman ya tetap tidak usah. Kenapa? Karena tetap dia juga minta imbalan. Kalau imbalan tidak cukup, bisa mengganggu keluarga dan anak keturunan kita. Mudah-mudahan kita tidak berkolaborasi dengan syaitan, karena kita bisa syaitanan. Tetapi syaitan tidak bisa kemanusiaan..” Hadirin tepuk tangan, tetapi Ibu Marwah Daud Ibrahim langsung interupsi sembari mengacungkan telunjuk tangan kanannya.
Bu Marwah keberatan, dengan mengatakan:
“Bung Karni, saya ingin memohon, saya kira kita tidak punya hak mengatakan ini syaitan, ini Wali Allah, tidak ada yang lebih berhak, saya katakan Allah Maha Melihat, Allah Maha Tahu, Allah Maha Adil, mari kita berproses, kita punya pengalaman masing-masing… saya hormati… saya kira bukan hak kita, hanya karena kita Majelis Ulama, saya bisa balik, lalu kemana selama ini? Ulama tidak mendidik orang sehingga salah.. saya kira ini belum selesai nih, belum selesai perdebatannya, tetapi saya hormat, tapi hak kita manusia, saya kira bukan untuk mengkafirkan, memusyrikkan, ini panjang, mari kita belajar, proses….”
Kyai Hasyim tunjuk tangan, “Begini… saya kan tidak menuduh siapa pun, kriteria di dalam agama seperti itu. Nah terserah Bapak-Bapak mau memasukkan fenomena ini di sebelah mana? Di dalam masalah-masalah yang menyangkut ini…” Hadirin kembali riuh, gemuruh bertepuk tangan. Kyai Hasyim melanjutkan, “ Nah, yang tepuk tangan ini memasukkan di syaitan, di jin atau di waliyullah, kan begitu terserah…(Sang Kyai tersenyum).. tapi begitulah ketentuan yang ada. Sekarang penggandaan atau pengadaan, itu menurut Pak Mahfud (Prof Dr Mohammad Mahfud MD), secara ilmu negara kan sudah kriminal. Nah, secara negara. Bagaimana “kesucian” itu lalu berubah menjadi kriminal?. Terima kasih” Pertanyaan Sang Kyai menutup paparannya.
Uraian Kyai Hasyim di atas, terlepas kita setuju atau tidak di dalam beberapa hal, namun paparan itu sangat menyejukkan dan menenteramkan masyarakat kebanyakan. Kalimat-kalimat lugas dan bijak Sang Kyai berhasil menjawab keresahan masyarakat selama ini. Masyarakat membutuhkan pencerahan semacam ini.
Dengan bahasa “sederhana”, beliau mampu menyentuh kesadaran berbagai kalangan. Uraian Kyai Hasyim mudah dimengerti oleh semua lapisan masyarakat, mulai mereka yang kurang berpendidikan, terlebih bagi mereka yang terdidik. Bahasa Sang Kyai mampu menenangkan-menggembirakan orang miskin di satu sisi, dan membuat tertawa orang berada di sisi lain. Untaian kata Sang Kyai adalah kalimat yang mendorong tumbuhnya “rasa malu” terhadap dirinya sendiri bagi siapa pun yang mendengarnya, “malu terhadap Sang Khaliq”. Semoga kita semua selalu ingat sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya setiap agama memiliki akhlak, dan akhlak Islam adalah malu” (HR Ibnu Mâjah).
Ceramah-ceramah Kyai Hasyim dalam berbagai kesempatan, rasanya tak ada yang tidak menyejukkan. Beliau berbicara dengan penuh ketenangan (selalu berdo’a sebelum berbicara), sehingga yang mendengar rasanya lebih tenteram dan lapang, sekalipun persoalan yang sedang dibahas cukup pelik. Sesekali ketika beliau berseloroh, berkelakar, sekalipun “menyentil” warga NU misalnya atau menyindir ummat pada umumnya, namun rajutan kata yang keluar sungguh menggembirakan siapa pun yang mendengarkan. Karena sesungguhnya, Sang Kyai sedang mengajak kita untuk “menertawakan” kebodohan kita sendiri. Kyai Hasyim sedang memompa semangat ummat, dengan gayanya yang khas, untuk menggapai masa depan yang lebih cerah.
(Sutia Budi, Wakil Ketua STIE Ahmad Dahlan Jakarta, Ketua Bidang Perekonomian & Moneter KORNAS FOKAL IMM, Direktur Riset Global Base Review)