Hasrat dan ambisi manusia baik yang beragama maupun yang tidak, yang Islam maupun lainnya, untuk serakah terhadap sumber daya alam/material nyaris tanpa batas. Kejahatan yang teramat ekstrim, terus dipraktikkan kepada alam semesta.
Segala sesuatu dirampas dari bumi, bukan hanya sekedar mengambil tetapi menjual agar mendapatkan keuntungan berlipat lipat tanpa memikirkan akibat. Konsumsi berlebihan pun merusak keseimbangan alam: tanah kehilangan nutrisi, cadangan air menyusut dan tercemari, hingga lapisan atmosfer menipis dan berlubang di sana-sini.
Bukankah manusia dipandu ajaran agama untuk tidak berlebihan menuhankan nafsu serakah ? Bukankah manusia beriman, terbangun kesadaran akan hakikat hidupnya bahwa apa yang dirusak dan dihancurkan akan diminta pertanggungjawaban. Selain itu, dalam waktu dekat yang dibinasakan itu akan menuntut resiko. Orang-orang pasti akan merasakan dampak buruk kerusakan lingkungan.
Dalam bukunya Humankind: Solidarity with Non-Human People Timothy Morton A radical call for solidarity between humans and non-humans, Timothy Morton (2007) menyampaikan, sejatinya menjadi manusia itu artinya bersolider. Manusia bersolider secara autentik dengan berbagai ragam lingkungan non-manusia.
Kontribusi?
Saya kira ini tepat dan pas dengan apa yang diajarkan agama Islam dalam menata relasi yang adil dalam kehidupan: dengan tuhan, dengan alam, dan dengan manusia. Persoalan sekaligus pertanyaannya: seberapa ekologis ummat beragama (Islam) dalam kehidupan sehari-hari? Seberapa besar kontribusi nyatanya ummat Islam sebagai makhluk ciptaan yang diamanahkan al-Qur’an untuk menjaga dan mempertahankan keseimbangan kehidupan planet? Sebarapa serius dan sungguh-sungguh kelompok beriman mengupayakan kemaslahatan lingkungan hidup. Misalnya perilaku anti plastik, penggunaan plastik dan bahan lain yang merugikan eksosistem?
Sebelum mendiskusikan kontribusi teoritik dan praktik, ada juga pertanyaan mendasar yang perlu direnungkan. Apa yang membuat manusia menjadi manusia? Ketika sains dan teknologi menantang batas antara kehidupan manusia dan kehidupan non manusia, antara organik dan anorganik, manusia dituntut untuk mengambil bagian memimpin. Manusia dituntut dapat mendefinisikan keadaan, karena non-manusia tidak memungkinkan melakukan peran inisiator.
Timothy, seorang filosof, Morton mengundang kita untuk mempertimbangkan masalah filosofis ini sebagai sesuatu yang sangat politis. Dalam hubungan kita dengan non-manusia, kita memutuskan nasib kemanusiaan kita. Menjadi manusia sebenarnya berarti menciptakan jaringan kebaikan dan solidaritas dengan non-manusia, atas nama pemahaman realitas yang lebih luas. Pemahaman yang mencakup dan mengatasi gagasan tentang spesies. Menegosiasikan politik ambisi kemanusiaan atau antroposentris. Ini jadi langkah pertama dan penting untuk merebut kembali skala atas koeksistensi ekologis. Langkah ini, bukan untuk menoleransi kehancuran lingkungan demi kenyamanan. Langkah ini bukan sekedar lupa (pura-pura lupa). Lupa dan membiarkan Monsanto dan korporasi perusak lingkungan, serta kelompok miliarder yang secara ‘cryogenik’ menghancurkan dan membunuh kesempatan kepada mereka, untuk mendefinisikan makna keberdayaan ekologi.
Di Indonesia, kejahatan di hutan, di laut, udara lewat pembakaran hutan dan beragam polusi dibiarkan.
Jihad ekologis
Jihad ekologis barangkali agenda advokasi kaum beriman yang layak diperjuangkan di masa kini dan masa depan. Jihad—bersungguh-sungguh sekuat tenaga, memobilisasi sumber daya terbaik dan besar, untuk mengupayakan penyelamatan lingkungan hidup. Lingkungan tempat manusia tidak terpisah. Lingkungan hidup bukan di luar sana, tetapi dalam diri manusia, bahkan manusia itu milik jagad raya/alam, bukan alam milik manusia.
Bayangkan, manusia mati kembali ke tanah, hidup dari tanah, dan semua urusannya tak bisa terlepas dari tanah, air, udara. Lalu, ajaran Islam mengajarkan apa tentang pemuliaan tanah, air, dan udara? Konservasi adalah ciri Islam maju dan unggul. Tanpa kekuatan konservatif, manusia hanyalah mencelakai alam semesta.
Seorang warga Belanda, professor Wijsen yang ikut memantik diskusi fikih air di PP Muhamamdiyah mempertanyakan: bolehkah wudhu dengan air hasil sulingan air kotor? Majelis tarjih belum menjawab malam itu. Tapi sang professor ini bilang, “purifikasi itu ide dari ajaran Islam”. Mungkin maksudnya, kebersihan sebagian dari iman. Langkah untuk mengupayakan air bersih, barangkali dimaknai sebagai ijtihad yang sangat penting hari ini. Ijtihad ini, penting terutama di daerah-daerah yang terpapar dampak industrial, oleh pasar yang memanjakan konsumen dengan plastik kemasan tak terdaur ulang.
Saya merasa, Islam melimpah ajaran hidup ekologis yang potensial berguna untuk membangun Islam ekologis, bukan hanya Islam teologis. Tahu teologi yang ekologi dalam Islam, sebagai sesuatu yang tak terpisahkan. Manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam sebagai tri tunggal kesemestaan hidup.
Satu saja yang patah, maka patahkan sebuah peradaban yang baik. Itulah gunanya, ajaran Islam harus dimanifestasikan dalam kegiatan lingkungan yang kongkrit. Karena itu, langkah untuk mengejawantahkan itu, semakin menemukan praktik di grassroot. Seperti inisiatif sedekah sampah, eco-masjid, konservasi air bekas wudhu untuk kegunaan lainnya, menolak plastik.
Banyak sekali ajaran-ajaran Al-Qur’an yang mengajak melestarikan alam. Seperti makan dan minum jangan berlebihan. Manusia dilarang menghancurkan diri sendiri. Kebersihan bagian dari iman, dan sebagainya.
Di Amerika, menarik dan inspiratif kisah komunitas Islam yang serius mengurus lingkungan hidup, sebagaimana yang dikisahkan dalam buku Green deen: How Islamic teaching protecting the Planet yang ditulis Abdul Matin tahun 2010. Buku ini mengajak kita sebagai orang beragama untuk memeriksa ulang hubungan kita dengan air, sampah, energi, dan makanan sehari-hari. Buku ini juga melihat apa dampak dari sikap dan perilaku kita terhadap semua itu bagi kelestarian bumi dan keseimbangan alam.
Abdul Matin memperkenalkan istilah green deen (agama hijau), sebuah cara untuk mengamalkan agama kita seraya menguatkan sinergi antara agama dan lingkungan. Karena agama amat berperan dalam membentuk sikap dan perilaku seseorang, ia menggali nilai-nilai etik agama yang menggerakkan pemeluknya untuk memelihara bumi dan menyelamatkannya dari kerusakan.
Enam prinsip
Sebagai bagian dari komunitas muslim, Abdul Matin meyakini bahwa Islam adalah agama hijau yang ramah lingkungan itu. Menurutnya, ada enam prinsip dasar agama hijau itu. Pertama, memahami kesatuan Tuhan dan ciptaan-Nya (tauhid). Bahwa segala sesuatu yang ada berasal dari sumber yang sama dari ciptaanNya. Maka dengan memelihara alam, sama dengan memelihara diri sendiri.
Kedua, melihat tanda-tanda (ayat) Tuhan di mana saja. Pernahkah kita melihat terbitnya fajar dari ufuk timur dan tenggelam di ufuk barat, kemudian kita merasa takjub? Itulah tanda-tanda kekuasaan Tuhan. Dengan mencerap bahwa segala sesuatu yang berada di sekitar kita merupakan pesan dan tanda-tanda Tuhan, maka kesadaran akan tumbuh bahwa kita memiliki keterhubungan satu sama lain.
Ketiga, menjadi penjaga atau pemimpin (khalifah) di bumi. Sebagai penghuni bumi, kita diperintahkan Tuhan untuk menjadi wakil-Nya dalam melestarikan dan memelihara alam. Kita diperbolehkan memakai segala fasilitas yang ada dengan syarat menjaganya dengan baik. Karena saat kita sudah tidak menjadi penghuninya kita akan dimintakan pertanggungjawaban.
Keempat, menjaga kepercayaan Tuhan (amanah). Janji kita kepada Tuhan untuk menjaga dunia yang kita tempati harus ditepati karena Tuhan telah mempercayakan kepada kita.
Kelima, berjuang menegakkan keadilan (a’dl). Yakinilah bahwa apa pun yang kita lakukan akan berpengaruh pada lingkungan kita. Kita akan adil kepada alam dengan tidak mengeksploitasinya. Keenam, menjalani kehidupan yang seimbang dengan alam (mizan), dengan cara kita menjaganya dan alam pun akan menjaga kita.
Setelah mengulas prinsip agama hijau itu, Abdul Matin juga mengupas secara detail pola-pola hidup yang bertentangan dengan prinsip tersebut. Sebagai contoh, pola konsumsi berlebihan, membeli barang-barang kemudian membuangnya. Ini, menurutnya, menciptakan banyak timbunan sampah yang menjadi beban bagi tempat-tempat pembuangan akhir. Selain itu, sampah ini juga menguras habis sumber daya.
Islam, lanjut Matin, sangat menentang limbah: Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada saat-dan-tempat salat; makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan, (karena) sungguh Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan (QS al-A`raf: 31).
Ini ajaran yang banyak luput mengamalkannya, sehingga kita banyak temui kelas menengah Muslim yang bergaya hidup konsumtif dan hedonis—anti ekologi.
Juga dalam ranah teologi progresif, Muhammadiyah di Indonesia dapat menjadi contoh, bagaimana fikih air, teologi lingkungan, fikih bencana, semoga juga ada fikih tanah. Di ranah advokasi ada jihad, konstitusi yang berkaitan dengan sumber daya air dan penolakan terhadap komersialisasi sumber daya yang berujung pada penderitaan tanpa ujung anak bangsa.
Gerakan jihad konstitusi memang masih lebih kuat nuansa advokasi untuk keadilan dan kesejahteraan sosial, bukan atau belum menguat ideologi konservasi di dalam jihad ini. Namun, terobosan ini layak dan penting dicatat. Selain itu, langkah ini dapat dijadikan yurisprudensi tentang langkah kelompok Islam dapat memimpin dan mengambil peran dalam isu ketahanan dan keamanan lingkungan. Bina damai dan bina ekologis keduanya saling berkelindan. Tanpa lingkungan yang sehat dan seimbang, bagaimana praktik damai dapat dijalankan? Jika akses air tidak ada, bagaimana orang bisa hidup tenteram dan merawat kehidupan bersama?
Saya kira, keadilan lingkungan itu sendiri adalah keadilan bagi semesta kehidupan. Nilai-niali agama berguna untuk menuntut. Daya politik advokasi bidang ekologi juga sebuah keniscayaan. Siapa pun orang yang mau dikatakan sebagai beriman, harus punya dimensi sekecil apa pun keberpihakannya terhadap lingkungan hidup. Lebih-lebih, dapat mendorong tata kelola pemerintahan yang pro keseimbangan lingkungan, pro konservasi, dan pro kehidupan.
Dengan demikian, manusia beragama bisa menunjukkan solidaritasnya dengan non-manusia yang melekat tak terpisahkan dalam diri manusia. Solidaritas ini perlu, sehingga masing-masing entitas manusiawi dan non manusiawi (material) dapat saling menjaga keseimbangan ekologisnya: ekologi sosial, dan ekologi lingkungan. Saya kira, gerakan paling mendesak hari ini adalah gerakan lingkungan. Beruntung jika ada ormas-ormas yang sudah mulai menerapkan etika hijau di dalam pergerakannya.
Islam yang tidak menyelamatkan lingkungan, pasti ada persoalan keimanan. Keimanan yang nir solidarotas kepada persoalan alam adalah iman yang perlu digugat dan diperbaharui. Ajaran agama sejatinya menjadi pondasi etik untuk keadilan ekologis terhadap lingkungan. Dan, alam raya punya hukum keseimbangan yang mengikuti kehendak takdirnya. Semoga kita menuju Muslim yang paripurna, Muslim yang ekologis!
Upaya kecil dan terus diupayakan adalah langkah terbaik hari ini yang bisa dilakukan. Selamat berjuang menjadi Islam ekologis! Jika tidak sekarang, tak ada lagi kesempatan, karena menunggu, artinya kita sedang jatuh terperosok kedalam kehancuran.
Penulis: David Efendi/Penasehat Komite Nasional Kader Hijau Muhammadiyah. Dilansir situs kaderhijaumu.id