27.3 C
Jakarta

Lato-Lato dan Sapi Kurban

Serial Pak Bei

Baca Juga:

Baru beberapa hari kemarin Pak Bei ngudarasa tentang trend permainan anak-anak yang cepat sekali habisnya. Lato-Lato, begitu orang sekarang menyebutnya, permainan yang di masa kecil Pak Bei dulu disebut Thek-Thek, penyebutan sesuai dengan suara yang dihasilkan dari dua bola kecil dan keras yang diikat tali dan diadu pakai satu tangan. Permainan tanpa irama selain hanya suara thek-thek-thek itu semakin bisa lama dimainkan, pemain pun akan semakin puas.

Tapi entahlah, sejak awal Ramadhan bulan lalu, tidak ada lagi anak-anak bermain Lato-Lato di halaman nDalem Pak Bei. Biasanya mereka tiap sore –sambil menunggu waktu takjilan di masjid– berlomba betah-betahan bermain thek-thek dengan tingkahnya yang lucu khas anak-anak. Misalnya, sambil sama-sama berdiri satu kaki dan tangan kirinya berkacak pinggang, atau sambil memejamkan mata, atau dengan gaya yang lain lagi. Jika ada yang terhenti duluan mainnya, maka akan malu karena diolok-olok lawannya. Biasanya yang kalah pun, akan minta lomba diulangi lagi dengan harapan bisa menang, meski ternyata kalah lagi. Dan seterusnya.

Tidak jarang Pak Bei memberi memberi hadiah, bagi semua peserta meski hanya berupa jajanan anak-anak yang tak seberapa nilainya untuk dimakan di masjid nanti. Bagi Pak Bei, yang penting anak-anak bisa gembira bermain bersama teman sebaya di luar rumah, tidak hanya tercogok di depan tivi di rumahnya atau asyik melototi gadget entah apa yang ditontonnya.

Kini tak terdengar lagi suara thek-thek itu. Anak-anak kembali bermain bola plastik seperti dulu. Mereka bukan hanya belajar menendang dan berebut bola dengan kakinya, sambil teriak kegirangan bila bisa masukkan bola ke gawang lawan, tapi juga belajar jauh-jauhan melempar bola. Pengin bisa seperti Arhan Pratama, katanya. Pemain PSSI U-22 itu ternyata cukup populer di kalangan anak-anak, setidaknya di kampung Pak Bei.

“Musim Lato-Lato datang lagi ini, Pak Bei,” kata Narjo setelah melempar koran ke lantai kamrin pagi. “Tapi kali ini beda,” lanjutnya.

“Beda apanya, Kang? Kan memang sudah habis musimnya.”

“Sapi-sapi tetangga saya banyak yang mati. Sakit beberapa hari, lalu mati. Padahal sudah siap dijual untuk hewan kurban,” lanjutnya.

“Sakit apa, Kang?”

“Katanya virus Lato-Lato,” jawab Narjo. “Kalau kemarin Lato-Lato itu nama permainan anak-anak, sekarang nama virus sapi, Pak Bei.”

“Weeh ada penyakit sapi baru lagi to, Kang? Tahun lalu kan ada PMK, Penyakit Mulut dan Kuku?”

“Kali ini namanya Lato-Lato. Entah apa nama ilmiahnya, saya belum tahu. Di sekujur tubuh sapi banyak benjolan seperti bola-bola kecil dan bermanah. Pating prentul, kata orang Jawa. Makanya petani menyebutnya Lato-Lato.”

“Petugas dari Puskeswan sudah turun tangan to, Kang?”

“Ya sudah. Sudah disuntik juga sapi-sapi itu, tapi tidak tertolong. Banyak yang mati.”

“Wah kasihan sekali, ya. Peternak sapi jadi gagal panen.”

“Benar, Pak Bei. Padahal bagi petani, mati satu ekor sapi sama dengan kehilangan tabungan senilai satu sepeda motor. Sudah hasil panen sawahnya tidak seberapa, eeh masih ditambah kehilangan tabungannya. Kasihan banget petani.”

Pak Bei jadi teringat si Arya, anak muda yang menekuni peternakan dan bengkel sapi di kawasan Sleman, dan sekarang ikut aktif jadi pengurus Jamaah Tani Muhammadiyah (JATAM) di MPM PP Muhammadiyah.

Pada beberapa kali pertemuan, Arya mengingatkan tentang datangnya wabah baru yang bikin heboh di kalangan peternak sapi. Tahun lalu ada wabah PMK, penyakit sapi pada mulut dan kukunya. Bila sempat disembelih sebelum keburu mati, daging sapi yang terkena PMK masih bisa dikonsumsi karena masih sehat. Wabah yang sekarang ini lebih berbahaya lagi. Namanya LSD (Lumpy Skin Desease) atau Lato-Lato, kata orang desa.

“Daging sapi yang terkena Lato-Lato ternyata rusak sehingga tidak layak dikomsumsi,” kata Arya. “Tentu ini bukan hanya berdampak serius bagi ekonomi petani, Pak Bei, tapi juga akan berdampak pada penyelenggaraan ibadah kurban pada Idul Adha nanti,” lanjutnya.

“Bisa-bisa akan terjadi krisis sapi kurban ya, Mas?,” tanya Pak Bei.

“Sangat mungkin, Pak Bei. Saat ini banyak petani-peternak yang takut memelihara sapi. Banyak kandang yang kosong di petani.”

“Wah ini bisa bahaya, Mas Arya,” Hadi yang jadi Koordinator Jatam Nasional ikut merespon.

“Bagaimana menurut, Mas Hadi?,” tanya Arya.

“Berarti ada dua dampak serius yang perlu kita cari solusi dan antisipasi bersama. Pertama, menyangkut nasib petani-peternak sapi yang terancam gagal panen. Kedua, terkait keabsahan berkurban. Ini sudah masalah fikih, masalah syariat.”

“Kenapa jadi masalah fikih, Mas Hadi?,” tanya Adib yang dari tadi diam memperhatikan pembicaraan.

“Begini lho, Mas Adib,” jawab Hadi. “Kurban itu kan termasuk ibadah mahdhah yang sudah jelas tuntunannya. Syarat dan tata cara pelaksanaannya sudah ada, dan sudah disepakati oleh para ulama. Salah satu syaratnya adalah hewan kurban harus dewasa dan sehat,” sambungnya.

Mendengar jawaban Hadi yang tampak cukup memahami fikih kurban itu, Pak Bei pun maklum. Hadi ini memang alumni Pondok Gontor Ponorogo. Wajar bila ngaji dan referensi kitabnya agak lumayan. Jadi dia cukup berhati-hati dalam soal ibadah.

“Terus kira-kira apa yang bisa kita lakukan tekait fikih kurban itu, Mas Hadi?,” tanya Arya.

“Mungkin bagus kalau kita mengajak Bapak-Bapak di Majelis Tarjih mengkaji masalah ini.”

“Wah bagus juga itu,” kata Adib. “Saya pikir para fuqaha juga perlu memahami realitas sosial-ekonomi yang tengah terjadi agar bisa merespon dan memberi guiding secara tepat pada umat. Bahkan, mungkin saja nanti perlu ada keputusan resmi Majelis Tarjih terkait kurban di masa wabah sapi seperti saat ini,” tambah Adib dengan bersemangat.

“Mungkin begini, Mas Hadi,” Pak Bei menyela, “Tampaknya bagus kalau kita adakan sarasehan dengan menghadirkan pakar-pakar peternakan dan kesehatan sapi, para peternak sapi, dan Bapak-Bapak dari Majelis Tarjih.”

“Bagus itu, Pak Bei. Bila perlu, forum itu kita selenggarakan secara blanded, luring dan daring, agak masyarakat dari berbagai daerah bisa mengikuti secara daring,” kata Arya.

“Ya baiklah, saya setuju. Besok kita lanjutkan obrolan ini. Kita ketemu lagi bikin perencanaan yang baik. Siap?” tanya Hadi sambil memandangi koleganya satu-persatu.

“Insya Allah siap,” jawab Pak Bei, Adib, dan Arya kompak.

Obrolan di warung kopi pun bubar sebelum maghrib. Hadi pulang ke Banyuraden, Adib ke Godean, Arya ke Sleman, dan Pak Bei ke Klaten.

#serialpakbei
#wahyudinasution
#mpmppmuhammadiyah
#jatam
#latolatodansapikurban

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!