JAKARTA, MENARA62.COM – “Dalam Workshop Dampak Perubahan Iklim di Indonesia dan Peran Lazismu”, Lazismu dan Madani ajak masyarakat kelola mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang berangkat dari potensi lokal yang ada.
Manusia sebagai khalifah di muka bumi memiliki tugas untuk memakmurkan bumi. Kewajiban untuk mengurus dan mengelola bumi merupakan sebuah kontribusi untuk keberlansungan hidup generasi selanjutnya. Perubahan iklim sebagai sunatullah adalah bagian takdir yang bisa dibuah melalui langkah mitigasi.
Sopa sebagai Wakil Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah menyampaikan, dampak perubahan iklim harus disadari dengan sikap bahwa dalam ajaran Islam, takdir perlu dipahami sebagai ikhtiar penuh.
“Takdir bisa dalam arti suatu hal yang bisa diterima dengan ikhlas dan takdir yang bisa dimaknai dengan ikhtiar untuk bisa mengubah agar manusia tidak kehilangan kreatifitasnya,” jelasnya dalam sesi pengantar workshop di Jakarta pada Sabtu (3/7/24).
Mengenai perubahan iklim, Sopa mengatakan hubungan manusia dengan manusia tidak sekedar manusia dalam makna utuh. Tapi di dalam hubungan manusia dengan manusia juga juga bermakna bagaimana hubungan manusia dengan alam.
“Alam semesta itu untuk manusia. Kerusakan alam yang terjadi juga disebabkan oleh manusia yang berdampak kepada anak cucu kita dan berdampak juga pada pelakunya,” ungkapnya.
Sopa menjelaskan, kesadaran umat Islam tentang perubahan iklim yang dipahami masyarakat sebagai takdir harus dilihat lagi maknanya sebagai sesuatu yang bisa diubah dalam arti bisa dimitigasi.
“Ada proses pencegahan jika sudah diketahui dampaknya,” imbuhnya.
Sebelum Musyawarah Nasional Majelis Tarjih Tahun 2020, sebut Sopa, salah satu topik kajian pra munas adalah tentang salat istisqo dan dan perubahan iklim.
Dia mengatakan, curah hujan yang tidak pasti dan kemarau yang panjang memicu ikhtiar banyak orang untuk melakukan salat istisqo dan doa. Dalam diskusi inilah, sambung Sopa, istilah dosa ekologis itu muncul. Dosa ekologis adalah dosa yang berangkat dari kerusakan alam perbuatan ulah manusia.
“Memahami dosa dan maksiat itu tidak hanya seperti yang kita pahami. Jadi dikaji kembali maka ada istilah dosa ekologis,” papar Sopa.
Baginya, kemarau yang panjang itu sunatullah, maka ia bisa dipelajari dan bisa dihitung secara saintifik. “Dari topik itu berkembang dan menghasilkan produk kajian tarjih berupa Fikih Air dan Fikih Kebencanaan,” sebutnya.
Adapun rumusan dari dokumen produk tarjih tersebut, lanjut Sopa, pada intinya memberikan dasar teologis yang kuat bagi seorang muslim agar bersikap terhadap perubahan iklim. Dimana Fikih Kebencanaan menyajikan suatu sikap bagi seorang muslim untuk bersungguh-sungguh dalam merespon perubahan iklim dan dampaknya melalui mitigasi bencana.
“Dari sini sebetulnya bisa menjadi panduan moral dan etik yang akan melahirkan kerangka dasar yuridis. Prinsip universal sebagai kaidah digunakan untuk tolak ukur menyusun regulasi dan membuat program yang konkrit misalnya dalam tata kelola air dan lainnya,” terangnya.
“Dalam hal itu, keterlibatan publik dan penyusunan skala prioritas dalam merespon dampak perubahan iklim sangat signifikan,” tandasnya.
Menanggapi paparan dari Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Giorgio Budi Indrarto selaku Deputy Director Madani Berkelanjutan mengatakan, dari cara pandang umat Islam terhadap perubahan iklim membuat dirinya optimis mitigasi dan adaptasi akan bisa dilakukan.
Kendati demikian, sebut Giorgio, dalam kajian dampak perubahan iklim untuk mengelola mitigasi dan adaptasi ternyata membutuhkan biaya yang sangat tinggi. “Butuh banyak bantuan, masyarakat Indonesia dikenal dermawan apalagi untuk membantu dirinya sendiri,” jelasnya.
Dalam Islam, seperti yang dikutip Giorgio dari Majelis Tarjih dan Tajdid, ada sebuah rambu-rambu yang harus dimaknai. “Misal ketika ingin bicara energi terbarukan, ini penting kita dalami dalam konteks perubahan iklim. Dari sisi halalnya sudah dikaji, tapi dari sisi kebaikannya itu yang perlu digali kembali,” paparnya.
Giorgio menjelaskan bahwa secara zat, sumber-sumber daya alam itu halal. Namun bagaimana cara ia memperolehnya itu yang perlu dikaji lebih dalam. “Saatnya sekarang umat Islam bisa menunjukkan bahwa ini cara kita bertransisi dalam suatu kondisi ke kondisi yang lain. Cara pandangnya harus berbeda dengan negara yang menyajikan suatu kebijakan. Ketika gagal menuju perubahan yang diinginkan maka akan jadi ujian yang besar,” imbuhnya.
“Dalam konteks perubahan iklim ada banyak potensi, seperti fikih air, ini yang kita jadikan sebagai sebuah tantangan dan kita tidak dikatakan sebagai kelompok orang yang menepak air tapi mengenai muka sendiri,” lanjutnya.
Giorgio menerangkan bahwa Indonesia harus mengejar capaian itu dalam SDGs dan berangkat dari potensi lokal ini aka nada harapan bahwa Lazismu bisa berkolaborasi dengan jaringan Muhammadiyah. Ada Muhammadiyah Climate Changes (MCC) dan Majelis Lingkungan Hidup (MLH).
“Kita harus sering berdiskusi. Ada kesempatan untuk bertemu dan berkolaborasi tentang apa yang bis akita kerjakan dalam bentuk inovasi sosial,” pungkasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Nadia Hadad Directur Eksekutif Madani Berkelanjutan menyampaikan, Majelis Tarjih dan Tajdid dengan kajian dan teorinya secara nyata mengajak kita untuk memikirkan dampak dari apa yang kita kerjakan terhadap lingkungan.
“Ini bukan persoalan main-main, dampak perubahan iklim yang kita rasakan sudah sangat terasa. Dan takdir harus bisa diubah, tidak bisa membiarkan praktik yang mengabaikan kelestarian lingkungan yang dampaknya akan dirasakan anak cucu kita. Kita tidak boleh meninggalkan bumi dan lingkungan yang sulit dihuni oleh anak cucu kita karena dampak perubahan iklim,” paparnya.
Mitigasi perubahan iklim, sebut Nadia Hadad, sudah menjadi misi Madani Berkelanjutan dalam mendorong dan membantu pemerintah untuk melaksanakan kewajiban itu.
“Negara harus mengeluarkan kebijakan yang melestarikan lingkungan, Namun kebijakan itu belum mengarah ke sana dan belum maksimal,” tuturnya.
Nadia Hadad juga mengajak publik bersama masyarakat untuk menyadari dan melakukan upaya yang lebih jelas dan berdampak untuk menjaga kelestarian lingkungan.
“Kita sadar bahwa masih ada yang belum bisa melestarikan lingkungan seperti yang disampaikan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid,” tutupnya.
(Tim Media Lazismu PP Muhammadiyah)