27.3 C
Jakarta

Lebaran

Serial Pak Bei

Baca Juga:

Pak Bei baru saja selesai menyapu halaman. Daun-daun kering dari pohon alpukat yang berserakan sudah berpindah tempat di jogangan, lubang di tanah yang digali khusus untuk membuang sampah organik. Bungkus jajanan anak-anak yang semula bertebaran juga sudah terkumpul di bak sampah dan siap diambil tukang sampah yang datang seminggu dua kali. Saatnya Pak Bei kembali nyeruput kopi di kursi sedan tua sambil menikmati indahnya matahari pagi yang belum lama terbit. Dan tak lupa, sebatang kretek diselipkan di pipa gadingnya, lalu disulut, dihisap, dan dihembuskan hingga kepulan asap putih bergumpal-gumpal berhamburan keluar dari mulutnya.

Beberapa kendaraan sudah lalu-lalang di jalan depan rumah sejak tadi. Ada ibu-ibu yang menuju pasar Kebonan untuk belanja sayuran, ada beberapa petani membawa cangkul dan sabit menuju sawahnya, dan entah ke mana lagi pengensara lainnya akan menuju. Suasana pagi hari di desa Pak Bei tampak sudah normal setelah 3-4 hari terasa berbeda karena Lebaran.

Satu sepeda motor masuk ke halaman. Pak Bei sudah hafal, itu Narjo si loper koran. Rupanya sahabatnya itu sudah mulai menjalani rutinitasnya.

“Pak Bei mau badan sama saya, gak?” kata Narjo dengan senyumnya yang khas setelah melemparkan koran ke lantai.

“Loh iyalah, Kang. Sini turun dulu. Duduklah. Tunggu sebentar, ya,” jawab Pak Bei sambil beranjak ke dapur membuatkan kopi.

Memang, usia Narjo lebih tua beberapa tahun dari Pak Bei. Sesuai adat-istiadat Jawa, maka Pak Bei yang harus badan (mengucapkan permohonan maaf) terlebih dahulu, baru kemudian Narjo yang lebih tua akan membalas, sama-sama meminta maaf atas segala kekhilafan. Itu berbeda bagi yang masih ada hubungan kekerabatan. Dalam budaya Jawa, tua-muda tidak didasarkan pada usia, tapi awu atau nasab. Meskipun usianya lebih tua, tapi kalau awu-nya lebih muda, maka dia yang harus badan lebih dulu. Begitulah yang sering dialami Pak Bei yang kebetulan secara awu terhitung tua di kampungnya. Banyak orang yang usianya lebih tua, sowan ke Pak Bei untuk badan dengan bahasa yang sopan, bahasa khas Lebaran.

“Ngopi dulu, Kang,” kata Pak Bei sambil meletakkan lepek dan segelas kopi di atasnya.

“Siap, Pak Bei. Terima kasih,” jawab Narjo sambil menuangkan kopi panas di lepek.

“Badan dulu ya, Kang,” kata Pak Bei mengajak salaman Narjo. “Kang, Sugeng Riyadi, sedaya lepat kula nyuwun pangapunten,” lanjut Pak Bei dengan takdzim.

Podho-podho, Pak Bei,” jawab Narjo. “Semono uga aku dadi wong tuwa akeh klera-kleruku. Mula ing dina riyadi iki aku uga njaluk pangapuramu. Muga-muga dosaku lan dosamu dilebur dening Gusti Allah Dzat Kang Akarya Jagad,” Narjo melanjutkan jawabannya.

“Ayo diminum dulu kopinya, Kang,” Pak Bei mempersilakan sambil kembali duduk di kursinya. Narjo sahabatnya itu pun langsung nyeruput kopi di lepek yang sudah hangat.

Alhamdulillahkemepyar. Seger tenan.”

“Dicicip kuenya, Kang.”

“Siap,” jawab Narjo sambil membuka toples kacang bawang. “Begitu Ramadhan usai, kehidupan langsung usreg lagi ya, Pak Bei.”

Usreg bagaimana?”

“Soal penetapan 1 Syawal yang beda metode antara Muhammadiyah dan Pemerintah yang hasilnya juga berbeda kemarin. Muhammadiyah sudah jauh hari mengumumkan Idul Fitri tanggal 21 April, sedangkan Sidang Isbat Pemerintah tanggal 20 April memutuskan Idul Fitri tanggal 22 April. Beda satu hari.”

“Iya, Kang. Begitulah yang terjadi.”

“Sebenarnya itu kan sudah biasa terjadi dari dulu, dan tidak pernah ada masalah. Semua bisa saling memaklumi, saling menghormati.”

“Ya harus saling menghormati, Kang. Tidak perlu ada yang merasa paling benar dan yang berbeda dianggap salah, bahkan dianggap musuh.”

“Tapi kenapa tahun ini kok jadi ribut gak karuan, Pak Bei? Bahkan ada orang yang konon pakar dan peneliti astronomi sampai berani mengancam mau membunuh semua warga Muhammadiyah karena dianggap tidak taat pada Pemerintah? Kok sampai segitunya ya, Pak Bei.”

“Ada beberapa kemungkinan, Kang. Boleh jadi orang itu lagi punya masalah kejiwaan. Atau, mungkin dia pengin dianggap loyal pada atasannya sehingga melakukan pembelaan secara membabi-buta. Atau, mungkin juga, dan ini sangat berbahaya, dia dibayar orang untuk sangaja bikin keributan di kalangan umat Islam agar umat Islam terpecah-belah. Ingat, Kang, ini tahun politik.”

“Iya mungkin juga ya, Pak Bei. Masuk.”

“Masuk bagaimana maksudmu?”

“Loh, pas kita lagi lebaran kemarin kan ada partai berkuasa mendeklarasikan bakal calon presidennya. Bahkan presiden yang seharusnya netral pun terang-terangan ikut jadi tim suksesnya.”

Mosok tim sukses, Kang? Kayaknya bukan.”

“Jelas sekali gitu kok.”

“Jangan-jangan bukan timses, Kang?”

“Lha apa?”

“Bisa promotor, bisa sponsor, bisa mentor, bisa apa saja, Kang. Namanya juga presiden yang lagi berkuasa. Kalau bisa kan tetap berkuasa selamanya.”

“Tapi itu tidak elok, Pak Bei.”

“Namanya juga politik kok, Kang. Apa saja bisa dilakukan untuk memenangkan pemilihan, agar tetap berkuasa.”

Presiden, penyelenggara negara, penyelenggara dan pengawas pemilu seharusnya netral, Pak Bei. Tidak boleh ikut jadi pemain. Bisa rusak demokrasi dan pemilu kita kalau presiden ikut bermain.”

“Wis embuhlah, Kang. Entahlah. Orang politik memang angel kandhanane, susah dibilangi. Akhirnya nanti rakyat juga yang jadi korban.”

“Ya sudah, Pak Bei. Saya pamit dulu. Melanjutkan tugas.”

“Oke, Kang. Jaga kesehatan, ya.”

“Siap, Pak Bei. Wassalam….”

Narjo meninggalkan nDalem Pak Bei menuju rumah-rumah pelanggan berikutnya. Meski tinggal sedikit pelanggan korannya, tapi Narjo tetap setia meladeni setiap pagi dengan senyumnya yang khas itu, plengah-plengeh.

Penulis: Wahyudi Nasution

#serialpakbei
#wahyudinasution
#lebaran1444/2023

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!