JAKARTA, MENARA62.COM – COVID-19 telah menginfeksi jutaan penduduk dunia, virus ini sangat menular sehingga alat pelindung diri (APD) khususnya masker menjadi kebutuhan mutlak dalam kehidupan sehari-hari. Memasuki kondisi “new normal” ini, masker menjadi barang wajib yang harus dipakai semua orang. Akibatnya, lonjakan permintaan global untuk masker medis dari seluruh dunia mengancam pasokan.
Selain itu, limbah dari masker medis menjadi bentuk pencemaran baru yang mencemari laut. Oleh karena itu, pencarian bahan baku yang berkelanjutan dan ramah lingkungan perlu ditingkatkan.
Sejak tahun lalu, didukung oleh WHO, Pemerintah Indonesia telah memperbolehkan penggunaan masker kain untuk mengelola lonjakan harga masker medis dan penimbunan ilegal. Masker dan respirator yang terbuat dari kain katun dan kain sintetis dengan ukuran pori yang lebih besar tidak dapat menyaring virus atau tetesan kecil yang mengandung virus secara efektif, dibandingkan dengan yang terbuat dari bahan dengan ukuran pori yang jauh lebih kecil. Selain itu, faktor-faktor seperti kenyamanan pengguna dan kemampuan bernapas juga bervariasi di berbagai model.
Dian Burhani S.Si., M.T. Peneliti Muda Pusat Riset Biomaterial BRIN, baru-baru ini mendapatkan penghargaan The 2021 Man and The Biosphere (MAB) Young Scientists Awards (YSA) dari UNESCO. Penghargaan ini diperoleh dari proyek penelitiannya yang berjudul “The Potential of Local Commodity of Macroalgae from Karimunjawa Jepara Muria Biosphere Reserve as Mask-Filter-Based Cellulose Nanofiber in Non-Medical Cloth Mask to Promote Green Economy for Local Community”.
“Mendapatkan masker dengan kapasitas lebih tinggi, yang memberikan kenyamanan optimal, serta efisiensi tinggi dalam menghilangkan bio-aerosol dan penyaringan partikel udara yang optimal selalu menjadi salah satu tujuan studi yang dilakukan di bidang ini. Untuk tujuan ini, faktor-faktor yang mempengaruhi penentuan kualitas masker telah difokuskan pada peningkatan efisiensi masker,” kata Dian dalam siaran persnya.
Perempuan kelahiran Padang 1 Desember 1986 ini menegaskan bahwa spesifikasi filter masker mencakup sifat yang melekat pada bahan yang digunakan dalam masker, seperti komposisi kimia filter, dan karakteristik seperti ketebalan dan kerapatan pengepakan serat dalam filter. Melt-blown (MB) Polypropylene (PP) kain non-anyaman dengan diameter serat 0,5–10 um biasanya digunakan dalam masker medis saat ini. Diameternya yang relatif besar tidak cukup untuk menyaring partikel atau aerosol 0,3 um secara efisien, sehingga diperlukan perlakuan elektrostatik untuk meningkatkan efisiensi filtrasi.
“Namun, selama pemakaian atau pada saat dibersihkan, listrik statis mudah hilang. Akibatnya, masker ini hanya dapat digunakan sekali pakai. Ini tidak hanya menyebabkan pemborosan sumber daya tetapi dikhawatirkan juga dapat mengurangi stok masker selama pandemi,” ujar Dian.
Dian menambahkan bahwa membran nanofiber electrospun dengan diameter serat di bawah 0,3 um merupakan kandidat alternatif yang menjanjikan untuk digunakan sebagai filter yang dapat digunakan kembali. “Masker ini bisa menjadi penghalang fisik untuk partikel dan virus melalui diameter serat dan diameter pori yang lebih kecil. Saat menggunakan metode desinfeksi yang tepat tanpa merusak struktur fisiknya, membran nanofiber dapat digunakan kembali. Selain itu, fungsionalisasi bahan filter serat dapat dicapai dengan merancang komposisi dan struktur serat ultrafine secara rasional yang dapat merespons penyebaran virus dengan lebih baik,” imbuhnya.
Dari penelitian yang pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya ditemukan bahwa efisiensi filtrasi filter MB turun secara signifikan setelah perlakuan dengan etanol, sedangkan filter NF menunjukkan efisiensi filtrasi tinggi yang konsisten terlepas dari jenis pembersihannya. Selain itu, filter NF menunjukkan sitokompatibilitas yang lebih baik daripada filter MB, menunjukkan tidak berbahayanya pada tubuh manusia.
“Masker saat ini, yang terbuat dari sumber daya yang tidak terbarukan dan tidak dapat terurai secara hayati, dapat menghasilkan mikroplastik berbahaya setelah dibuang setelah sekali pakai, yang merusak lingkungan. Lebih baik mengembangkan masker dengan bahan yang dapat terurai secara hayati untuk mengurangi masalah lingkungan demi masa depan yang berkelanjutan dalam jangka panjang,” terang Dian.
Menurut Dian, penggunaan bahan berbasis selulosa telah meningkat pesat selama dekade terakhir karena bobotnya yang rendah, biaya rendah, tidak beracun, kekuatan mekanik dan kekakuan yang tinggi dibandingkan dengan banyak bahan polimer komersial lainnya. Selain itu, biodegradabilitas dan kelayakan untuk didaur ulang membuat permintaan pasar bahan berbasis selulosa terus meningkat.
“Selulosa dari makroalga telah mendapatkan perhatian yang meningkat baru-baru ini karena keuntungan yang ditawarkan dibandingkan dengan selulosa dari biomassa lainnya. Tidak adanya lignin dalam makroalga menyebabkan fraksi selulosa lebih murni, berpotensi lebih cocok untuk aplikasi biomedis daripada lignoselulosa,” jelas Dian.
Dian menyampaikan harapannya terkait penelitian yang dilakukannya di masa yang akan datang. “Saya berharap dengan penelitian ini, nantinya saya dapat mengembangkan filter masker (lapisan tengah masker) berbasis biomassa yang lebih ramah lingkungan. Sehingga perlahan dapat menggantikan material berbasis plastik yang menjadi salah satu penyebab polusi mikroplastik,” harapnya.
“Saya mengucapkan terimakasih kepada MAB YSA UNESCO, dan MAB Indonesia yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk melakukan penelitian melalui penghargaan ini. Terima kasih juga saya sampaikan kepada Prof. Enny Sudarmonowati yang telah memberikan saran-saran yang sangat membangun terkait dengan penelitian ini. Semoga penghargaan ini menjadi tambahan motivasi bagi saya untuk melakukan penelitian di bidang konversi biomassa untuk material fungsional dan memberikan kontribusi langsung yang dapat dirasakan oleh masyarakat banyak,” pungkasnya.