Oleh: Ma’mun Murod Al-Barbasy
Hak asasi manusia (HAM) adalah hak dasar atau fundamental yang dimiliki olehmanusia sejak lahir atas anugerah Allah SWT. Hak dasar yang dimaksud ini dalam perspektif maqasid al-syariah sering dikemas dalam al-ushul al-khams, yang meliputi hak hidup (hifdzul nafs), yaitu adanya perlindungan terhadap kehidupan atau nyawa manusia.
Kemudian hak beragama (hifdzul din), yaitu hak untuk menganut agama apapun, bahkan termasuk hak untuk tidak memeluk agama apapun. Hak berupa perlindungan terhadap harga diri (hifdzul ird). Hak perlindungan terhadap harta benda (hifdzul maal). Dan terakhir adalah perlindungan terhadap asal usul atau keturunan (hifdzul nasl).
Lalu pertanyaannya, siapa yang mempunyai otoritas untuk melindungi lima hak tersebut? Jawabnya tegas, negara mempunyai kewajiban dan otoritas penuh atas tegaknya lima hak tersebut.
Dalam konteks hifdzul nasl, maka siapapun, termasuk negara tidak dibenarkan melakukan pemusnahan masal terhadap manusia (genoside). Termasuk dalam konteks hifdzul nasl adalah upaya yang dilakukan oleh mereka pelaku dan pendukung LGBT. Mereka tegas mengkampanyekan secara masif hubungan atau pernikahan sejenis, laki-laki dengan laki-laki dan perempuan dengan perempuan.
Hubungan atau pernikahan sejenis, dipastikan akan memusnahkan asal usul, memusnahkan kehidupan. Padahal naluri atau fitrah manusia, ketika mereka menikah tentu berharap adanya keberlangsungan asal usul atau mempunyai keturunan. Sementara, pasti mustahil ketika laki-laki menikah dengan laki-laki atau perempuan menikah dengan perempuan akan mempunyai keturunan.
Dalam konteks inilah, selain akan membunuh asal usul kemanusiaan juga membunuh naluri atau fitrah manusia. Di sinilah letak, mengapa pelaku dan pendukung LGBT dituduh telah melanggar HAM. Konsekuensi dari sebuah pelanggaran HAM, apalagi dilakukan secara masif, maka Komnas HAM perlu secara serius menindaklanjuti melalui sebuah proses hukum.
Jadi tidak benar dan bahkan sangat ngawur ketika menuduh mereka yang mengusik para pelaku dan pendukung kejahatan LGBT sebagai pelanggar HAM. Bicara HAM dalam konteks Indonesia, juga harus dalam bingkai Pancasila.
Aneh mereka yang merasa Indonesia, namun bicara HAM perspektif yang digunakan adalah HAM perspektif Barat yang liberal. Ada perbedaan mendasar antara HAM Barat dengan HAM Pancasila. Bila HAM Barat yang liberal mendasarkan pada “bebas untuk”, maka HAM Pancasila mendasarkan pada “bebas dari”. Bila HAM Barat berpijak dari humanisme, maka HAM Pancasila berpijak dari nilai-nilai religiusitas.
Perspektif agama-agama, terlebih agama samawi, agama Ibrahim (Abrahamic Religions), tak ada satupun agama yang melegalkan atau mendukung perilaku kejahatan dan menyimpang LGBT. Maka aneh bila di negara Pancasila, ada orang bisa teriak begitu lantang mendukung LGBT, tapi negara diam membisu dan bahkan membiarkannya.
Padahal tegas, perilaku mereka nyata-nyata telah menista dan merongrong Pancasila.
Kalau terhadap HTI yang dituduh menista dan menyimpang dari Pancasila negara bisa bersikap tegas, tapi mengapa terhadap para pelaku dan pendukung, termasuk organisasi-organisasi yang terang-terangan mendukung LGBT negara tidak menindaknya secara tegas? Wallahu a’lam.
(Ma’mun Murod Al-Barbasy, Direktur PSIP FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta)