JAKARTA, MENARA62.COM – Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) Kebudayaan memberikan Penghargaan Desa Budaya kepada lima desa dalam Program Pemajuan Kebudayaan Desa tahun 2021. Kelima desa tersebut adalah Desa Maitara Utara, Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara; Desa Mulyasari, Kabupaten Karawang, Jawa Barat; Desa Pedalaman, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat; Desa Tandeallo, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat; dan Desa Tanjung Mas, Kabupaten Aceh Singkil, Aceh.
“Warga dan pemerintahan desa dari lima desa penerima penghargaan dinilai telah membuat lompatan besar dalam menggerakkan ekosistem budaya di daerahnya,” jelas Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid, Jumat (17/12/2021).
Pemajuan kebudayaan desa jelas Hilmar, merupakan platform kerja bersama membangun desa mandiri melalui peningkatan ketahanan budaya dan kontribusi budaya desa di tengah peradaban dunia. Program ini merupakan salah satu program prioritas Direktorat Jenderal Kebudayaan, didukung oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.
Hilmar menjelaskan bahwa Desa merupakan akar atau asal identitas budaya Indonesia, sehingga diharapkan program Pemajuan Kebudayaan Desa dapat membuka akses informasi, membuka akses jaringan dan membuka akses pasar bagi masyarakat Desa. Selain itu, program ini juga bertujuan sebagai wadah ekspresi serta membuka ruang-ruang budaya yang selama ini sudah banyak dilakukan oleh masyarakat Desa.
“Sehingga sasaran kegiatan ini adalah masyarakat (komunitas) sebagai subjek dari pemajuan kebudayaan serta para perangkat desa. Dengan adanya peran aktif dan kolaborasi antara warga, perangkat desa dan pendampingan oleh Daya Desa serta Penggiat Budaya sehingga menghasilkan program yang komprehensif dengan sudah dibuatnya Dokumen Pemajuan Kebudayaan Desa (DPKD) sebagai bahan memasukkan kebudayaan ke dalam RPJMDes,” jelas Hilmar.
Program Pemajuan Kebudayaan Desa tahun 2021 dilaksanakan melalui 3 (tiga) tahapan yaitu Temukenali Potensi (Juni-Juli), yaitu menggali dan mengungkap potensi budaya yang dimiliki desa dari sudut pandang masyarakat atau komunitas desa itu sendiri sebagai pemilik kebudayaannya.
Pengembangan (Agustus-September) menyusun konsep pengembangan potensi budaya oleh warga bersama dengan aparat desa serta melakukan pelatihan-pelatihan, sarasehan, webinar untuk meningkatkan kapasitas sumber daya masyarakat desa sesuai dengan potensi desa yang akan dikembangkannya dan Pemanfaatan (Oktober-November) yaitu memanfaatkan potensi budaya melalui aksi nyata warga guna menyejahterakan masyarakat desa itu sendiri melalui pasar budaya, workshop, festival, pembuatan film dokumenter.
Tahun 2021, Program Pemajuan Kebudayaan Desa ini diikuti 359 desa yang tersebar di 33 Propinsi meliputi 193 Kabupaten. Program pendampingan di tahun pertama ini menjaring 3.349 data potensi budaya yang terdiri dari warisan budaya baik benda maupun takbenda, potensi alam, manusia, serta berbagai permasalahan yang dihadapi 320 desa yang telah melalui tahap verifikasi tim. Melibatkan sekitar 2000 daya warga dari 270 desa yang bergerak bersama dengan pemerintah desa yang didampingi oleh daya desa (pendamping Kebudayaan desa) dan penggiat budaya untuk melakukan tahap pemanfaatan.
Penghargaan Desa Budaya ditetapkan berdasarkan beberapa kriteria yang meliputi Konservasi Sumber Daya Alam, Inklusivitas/ Penguatan hubungan antar masyarakat, Peningkatan ekonomi lokal (bahan lokal dan ramah lingkungan), Isu kelompok rentan, Isu organisasi perempuan, Kepedulian terhadap anak, Pembangunan berkelanjutan, Pendidikan, literasi dan penguatan karakter, akumulasi pengetahuan (kekayaan budaya), Kepemimpinan (gotong royong – partisipatif).
Dari 270 desa yang telah memanfaatkan program pemajuan budaya, tim juri memutuskan 5 desa mendapat penghargaan karena menunjukkan gerak perubahan yang sangat besar untuk memastikan keberlanjutan pemajuan budaya desa. Keberlanjutan tersebut ditunjukkan melalui: 1) kerjasama antar masyarakat dengan pemerintah desa melalui rembug desa yang menghasilkan pemdes dan perkades yang mendukung pemajuan budaya 2) pemanfaatan sumberdaya budaya untuk konservasi sumberdaya alam 3) peningkatan ekonomi desa berbasis budaya dengan memanfaatkan bahan lokal ramah lingkungan.
Lalu 4) partisipasi perempuan, kelompok rentan dalam kerja budaya 5) keterlibatan kaum muda dan anak untuk menghidupi seni budaya lokal melalui sanggar dan pendidikan literasi 6) kebersamaan melalui kerja budaya yang partisipatif, inklusif dan gotong royong termasuk kerjasama dengan pihak-pihak ketiga (akademisi, swasta dan pihak-pihak lain untuk menjamin keberlanjutan.
Profil 5 Desa Pemenang
Pertama, Desa Maitara Utara, Kota Tidore Kepulauan, Provinsi Maluku Utara Pulau yang secara visual telah diabadikan dalam uang Rp 1000 ini memiliki sejarah yang panjang, termasuk kontak dengan budaya Portugis yang masuk ke Ternate di abad ke-16. Pulau ini dikenal dengan keindahan alamnya. Sayangnya, selama ini potensi budaya lokal yang kaya selama ini kurang dimanfaatkan. Melalui Program Pemajuan Kebudayaan Desa, Desa Maitara Utara mulai bergerak untuk menggali dan memajukan potensi budaya yang nyaris hilang.
Selain mengingatkan kembali suara rababu, suling, okulele, genderang tifa dan gemulai tangan penari yang dulu selalu mewarnai keseharian kehidupan mereka, proses temukenali mengangkat tradisi Ito Oti, ritual Oti Domo, dan ritual Dorora Kie se Gam atau zikir bersama sebagai bentuk kepasrahan dan pemujaan kepada Yang Kuasa. Gerak perubahan agar generasi muda lebih mencintai budaya dan bangga sebagai orang Maitara terlihat setelah diadakan workshop Musik dan tari Tradisi Maitara Utara 2021.
Keberlanjutan perubahan dipastikan melalui dukungan pemerintah desa yang diwujudkan dalam Perdes untuk menganggarkan dana pengembangan kebudayaan desa. Antusiasme warga semakin tinggi ketika berhasil mendapatkan dukungan penuh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata kota Tidore Kepulauan untuk pengembangan budaya Desa Maitara.
Festival Maitara Tododara menginspirasi 3 (desa) yang lain yang ada di pulau Maitara untuk kembali menemukenali potensi budaya desa mereka.
Kedua, Desa Tandeallo, Majene, Sulawesi Barat Desa Tandeallo adalah sebuah desa terpencil yang terletak di Kecamatan Ulumanda, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat dengan jarak tempuh lebih dari 2 jam ke ibukota kabupaten melalui jalan tanah. Desa ini juga kurang mendapat akses komunikasi karena kesulitan sinyal komunikasi. Meskipun demikian, desa ini mempunyai potensi besar karena kuatnya tradisi Ada’ Tuho untuk saling membantu mendukung pendidikan anak di luar desa dan komitmen anak desa untuk kembali ke desa setelah selesai pendidikan untuk membangun desanya. Gerak perubahan di desa terlihat dari dokumentasi sumberdaya budaya yang berhasil dipublikasikan warga setelah tahapan temu kenali pada November 2021.
Sebuah program yang menonjol dari Desa Tandeallo adalah lokakarya pemanfaatan rotan dan bambu menjadi hasil kerajinan tangan (anyaman), pengembangan teknologi tradisional berbasis kebun warga seperti issong sebagai alat menumbuk padi, bettang dan sarurang jaha sebagai alat pengusir hama kebun (babi, burung, dan kera). Lokakarya tersebut diikuti oleh sebagian besar ibu-ibu dan kelompok disabilitas, yang mencerminkan inklusivitas dan partisipasi warga.
Menyambut gairah warga, pemerintah Desa memberikan dukungan melalui penggunaan anggaran desa untuk pembuatan film dokumenter. Selain itu pada Musrenbang Desa telah disepakati agar desa berfokus pada pengembangan dan pemanfaatan potensi budaya desa. Penyusunan Dokumen Pemajuan Kebudayaan Desa (DPKD) diagendakan untuk tahun 2022.
Kepala Desa juga telah membentuk sanggar seni baru bernama Timba Ta’Bu yang dijadikan model untuk 8 desa sekitar.
Ketiga, Desa Pedalaman, Sanggau, Kalimantan Barat Desa Pedalaman adalah desa di Pusat ibu Kota Tayan Hilir yang berada di Provinsi Kalimantan Barat. Sebagai desa yang merupakan pusat Keraton Pakunegara Tayan, desa ini kental diwarnai budaya Melayu. Warga desa yang tinggal di wilayah yang terbelah oleh Sungai Kapuas dan Sungai Tayan ini menggantungkan hidupnya sebagai nelayan tangkap tradisional yang menolak memakai racun tuba dan setrum.
Beberapa langkah telah dilakukan Desa Pedalaman untuk memastikan keberlanjutan pemajuan kebudayaan melalui regulasi. Pemerintah desa melakukan perubahan APBDES Tahun 2021 guna mendukung Operasional Daya Warga Desa Pedalaman. Juga telah dirancang Peraturan Desa (Perdes) Pedalaman Tentang Pemajuan Dan Pelestarian Budaya serta menerbitkan Peraturan Kepala Desa (Perkades) Pedalaman yang memuat Petunjuk Laksana dan Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pemajuan Dan Pelestarian Budaya Desa Pedalaman.
Desa telah berhasil memasukkan kegiatan aksi Ngombok Kite ke dalam Perkades. Ngombok Kite adalah Tradisi Rembuk Keluarga pada awalnya yang kemudian dikembangkan menjadi Rembuk Desa untuk membahas Pemajuan Desa dari seluruh aspek Budaya, Ekonomi, Sosial, Pendidikan Kesehatan yang di hasilkan dari Proses Temu Kenali Potensi Desa Komitmen warga dan perangkat desa yang disepakati melalui rembug desa Ngombok Kite diharapkan memberi dampak besar pada desa karena meningkatkan ekonomi lokal. Setiap acara kebudayaan akan disertai ruang bisnis yang menjual Produk lokal dan UMKM Desa. Pelaku usaha pakaian Tradisional dapat menjual dagangannya untuk di pakai peserta dan cinderamata.
Desa menunjukkan komitmen untuk memajukan bahasa Melayu Tayan dan literasi budaya desa dengan menggandeng Perguruan Tinggi IKIP PGRI PONTIANAK dan LSM Pojok Si Gondrong (Pengiat Literasi Kabupaten Sanggau). Setiap acara kebudayaan akan disertai dengan Permainan Tradisional Desa Pedalaman berupa Kaki Hantu, Congklak, Gasing, Kelereng, Lompat Tali dan lain sebagainya dimana menjadi ajang untuk mengenalkan kembali permainan rakyat kepada anak-anak. Desa Pedalaman melakukan peningkatan peran serta perempuan dan pemberdayaan keluarga miskin. Desa membuat komitmen untuk mengadakan secara rutin budaya Ngombok Kite yakni budaya makan bersama yang merupakan tradisi kuliner lokal yang diproduksi oleh kaum perempuan. Perempuan menjadi pelaku utama dalam Festival Ngombok Kite.
Keempat, Desa Mulyasari, Karawang, Jawa Barat Desa Mulyasari merupakan wilayah pertanian dan perhutanan produktif sebelum dijadikan kawasan industri. Peralihan fungsi lahan telah mengubah berbagai sektor kehidupan masyarakat Desa Mulyasari. Dari segi budaya, terjadi perubahan besar seperti mulai ditinggalkannya kearifan dan budaya lokal. Proses temu kenali menyadarkan warga akan kayanya budaya yang pernah mereka punyai, khususnya terkait dengan pertanian seperti hajat bumi, babarit, lisung tutunggulan, bangunan leuit, dan pengelolaan sampah secara tradisional.
Padahal kini sampah telah menjadi masalah global. Gerak perubahan nampak ketika warga mulai mengerjakan kembali pengelolaan sampah tradisional, yakni dengan cara membuat lubang besar yang disebut gorombongan sebagai TPS yang rutin diolah dan diambil komposnya. Untuk mempercepat penguraian sampah tersebut dengan menggunakan magot.
Upaya menghidupkan kembali seni tari lisung tutunggulan yang sudah lama hilang dalam waktu yang tidak lama juga telah menunjukkan hasil. Setelah tampil dalam Pekan Kebudayaan Desa, kelompok seni lisung tutunggulan diundang untuk tampil dalam acara motor cross se-Jawa Barat. Dengan adanya kemajuan ini, warga Mulyasari semakin bergairah untuk menjadikan budaya sebagai branding identitas desanya. Keberlanjutan pemajuan kebudayaan di Desa Mulyasari ditunjukkan dengan adanya alokasi anggaran pada APBDes untuk bidang kebudayaan yang sudah dituangkan dalam perdes dan pembentukan DPKD.
Beberapa agenda yang sudah ditentukan untuk diadakan secara rutin selain seni lisung tunggulan adalah festival adu tanding permainan rakyat, seni musik calung dan jaipongan dan hajat bumi. Untuk regenerasi dan pendidikan, sudah ada rencana memasukkan tata Kelola sampah tradisional, permainan tradisional dan seni lainnya menjadi kegiatan ekstrakurikuler sekolah di desa.
Dan kelima, Desa Tanjung Mas, Aceh Desa Tanjung Mas adalah sebuah desa terpencil yang terletak di Kecamatan Simpang kanan, Kabupaten Aceh Singkil ,Provinsi Aceh. Desa tua ini sudah ada sejak jaman kerajaan pada abad ke 17 merupakan salah satu dari 25 desa yang ada di Kecamatan Simpang Kanan.
Di Desa Tanjung Mas terdapat makam ayahanda Syeikh Abdurrauf As-singkily Ulama besar Aceh. Ia bukan saja ulama yang tersohor dan penulis terkenal dengan buah karyanya terjemahan Alquran ke dalam bahasa Melayu pertama di Nusantara.
Proses temu-kenali yang dilakukan oleh Desa Tanjung Mas, memunculkan berbagai macam kesenian tradisional yang akhirnya mendorong terbentuknya Sanggar Desa Tanjung Mas. Sanggar Desa Tanjung Mas dikelola dengan partisipasi aktif warga desa dan sampai sekarang masih berjalan dan telah menerima undangan pentas dari desa-desa sekitar. Salah satu tradisi desa yang telah menghilang dan kini menjadi kegiatan budaya yang meramaikan gotong royong desa adalah tradisi gegunungen.
Komitmen pemerintah dan masyarakat Desa Tanjung Mas ditunjukkan dengan dikeluarkannya dana desa untuk program pemajuan kebudayaan desa. Dana Desa bahkan telah dianggarkan untuk tahun anggaran 2022 . Pemerintah Desa juga telah merancang Peraturan Desa (Perdes) Tanjung Mas Tentang Pemajuan Dan Pelestarian Budaya serta menerbitkan Peraturan Kepala Desa (Perkades) Tanjung Mas yang memuat Petunjuk Laksana dan Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pemajuan Dan Pelestarian Budaya Desa Pedalaman.