JAKARTA, MENARA62.COM—Sejak awal diperkenalkan, permohonan restitusi (ganti rugi) bagi korban kejahatan dalam peradilan pidana sempat mendapatkan banyak penolakan, termasuk dari aparat penegak hukum, baik penyidik kepolisian, kejaksaan maupun hakim.
Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai mengungkapkan, mulanya banyak pihak yang bingung dan mempertanyakan, apa beda restitusi dan denda dalam putusan pidana. “Ganti rugi bagi korban kejahatan dalam penerapannya mendapatkan banyak penolakan. Pengalaman LPSK, sudah dijelaskan dasar hukumnya, termasuk PP No 44 Tahun 2008, kini perlahan mulai diterima,” kata Semendawai kepada Menara62.com di kantor LPSK, Jakarta, kemarin.
Sesuai Pasal 1 UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, restitusi dimaksudkan sebagai ganti kerugian bagi korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga.
Sedangkan dalam PP 44 Tahun 2008, restitusi sebagai ganti kerugian kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga berupa pengembalian harta milik, ganti rugi atas penderitaan dan penggantian biaya tindakan tertentu.
Menurut Semendawai, khusus dalam kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO), permohonan restitusi sudah banyak diterapkan. Apalagi, UU Pemberantasan TPPO juga menyebut secara khusus mengenai restitusi bagi korban.
Hanya saja muncul permasalahan lain, manakala sudah masuk ke dalam tuntutan dan dikabulkan hakim, restitusi dimaksud tidak bisa dieksekusi. “Tetapi, ada juga beberapa kasus, saat sidang masih berjalan, restitusi sudah dibayarkan oleh pelaku,” kata dia.
Wakil Ketua LPSK Lili Pintauli Siregar menambahkan, permohonan restitusi pada tindak pidana lain selain TPPO saat ini masih belum jelas. Beda dengan penanganan kasus TPPO, dimana restitusi sudah diatur khusus dalam UU. Sedangkan tindak pidana lain yang masih mengacu pada KUHP masih sulit diterapkan.
“Banyak contoh semisal kasus malapraktik di Singkawang, penganiayaan atau kasus buruh kuali di Tengerang, yang tidak ada satu sen pun restitusi dikabulkan hakim,” ungkap Lili.
Ketua Pusat Penelitian dan Studi Migrasi Migrant Care Anis Hidayah menjelaskan, tujuan dari permohonan restitusi yakni melindungi hak-hak korban kejahatan serta memiskinkan pelaku. Apa alasannya? Karena TPPO termasuk kejahatan luar biasa, dimana pelaku mengambil keuntungan besar dari korbannya, hampir sama seperti korupsi.
“Untuk restitusi sudah diatur khusus dalam Pasal 48 UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO,” kata dia.
Anis juga menyebutkan kerugian-kerugian yang diderita korban TPPO, antara lain kehilangan atas penghasilan, penderitaan selama menjadi korban, adanya biaya yang dibayarkan yaitu medis dan psikologis, serta kerugian immaterial lainnya. Semua hal tersebut dapat menjadi pertimbangan bagi majelis hakim dalam menetapkan jumlah restitusi bagi korban TPPO.
Sebagai informasi, pada tahun 2016, LPSK telah memfasilitasi sebanyak 195 korban untuk mendapatkan restitusi. Mereka terbagi atas korban TPPO sebanyak 182 orang, korban kekerasan seksual 2 orang dan korban tindak pidana umum lainnya sebanyak 11 orang. Sedangkan untuk tahun 2017, LPSK memfasilitasi 33 korban kejahatan, terbagi atas TPPO sebanyak 30 orang dan pidana umum lainnya sebanyak 3 orang.