JAKARTA, MENARA62.COM — Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (Mahutma) gelar diskusi media omnibus law. Diskusi media bertajuk “Omnibus law, Untuk Apa dan Siapa?” ini, digelar Senin (25/11/2019) di Gedung Dakwah Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Beberapa tokoh nasional dihadirkan khusus untuk menjawab dialektika kenegaraan terkait dengan isu ketatanegaraan yang satu ini. Diantaranya, Dr Ahmad Redi, Tim Perumus Omnibus Law sekaligus direktur eksekutif Kolegium Jurit Institute, Prof Aidul Fitriciada selaku komisioner KY dan Ketua Umum Mahutma, mantan panitera Mahkamah Konstitusi Prof Zaenal Arifin Hoesein yang juga Guru Besar Universitas Muhammadiyah Jakarta, serta ahli Hukum Tatanegara, Dr M Ilham Hermawan.
Diskusi ini sendiri langsung dipandu oleh Sekretaris Jendral Mahutma dan Akademisi FH Universitas Muhammadiyah Tangerang Auliya Khasanofa. Pada awal diskusi, ia mengatakan, belakangan ini Omnibus Law menjadi terminologi yang banyak dibicarakan. Istilah ini mengemuka, terutama pasca Presiden Joko Widodo menyinggung akan membuat sebuah konsep hukum perundang-undangan yang disebut Omnibus Law, dalam pidato pertamanya setelah dilantik sebagai Presiden RI 2019-2024, Ahad (20/10/2019).
Dalam paparannya Ahmad Redi menjelaskan jika tujuan pembentukan omnibus law ialah semata-mata untuk merampingkan regulasi khususnya yang terkait dalam hal investasi sesuai arahan Presiden Joko Widodo. “Omnibus Law yang hendak buat sejatinya bertujuan untuk memangkas perijinan yang ditengarai bisa menghambat investasi. Banyak investor tidak mau datang ke Indonesia karena adanya tumpang tindih regulasi. Kedepan Omnibus law ini akan memangkas hampir 74 undang-undang yang dirasakan mengganggu iklim investasi di Indonesia,” ujarnya.
Sejalan dengan hal itu, Prof Aidul Fitriciada Azhari berujar, pemberlakuan Omnibus Law juga harus disesuaikan dengan bentuk negara dan sistem ketatanegaraa Indonesia.
“Pemberlakuan Omnibus Law ini pada dasarnya mengandung prinsip dekonsentrasi sebagai ciri khas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Agar jalannya Omnibus Law ini dapat berjalan efektif, maka tidak ada salahnya jika presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan, menarik kewenangan pada level daerah ke tingkat pusat. Namun patut disadari, jika omnibus diterapkan dalam sistem otonomi daerah yang bercorak federal seperti sekarang ini akan sangat sulit implementasinya,” ujarnya.
Pada aspek lainnya, Prof Zainal menyoroti, seharusnya Omnibus Law ini tidak hanya diberlakukan pada regulasi yang berkait dengan investasi semata. Pasalnya, banyak sekali regulasi di Indonesia yang tumpang tindih. Sebagai contoh, dalam kekuasaan yudikatif saja, antara UU Kekuasaan Kehakiman, UU Mahkamah Konstitusi, UU Peradilan Umum, UU Mahkamah Agung, didalamnya berisi Pasal-Pasal yang ternyata bersifat tumpang tindih antara satu undang-undang dengan undang-undang lainnya.
Meskipun demikian, menurut M Ilham Hermawan, regulasi terkait omnibus law ini, jangan sampai dipahami secara kurang tepat dalam pelaksanaannya. Jangan sampai terjadi kegamangan dalam pelaksanannya. Hermawan, yang tidak ingin hanya karena atas nama investasi, ada hak-hak rakyat yang tercerabut.
Hermawan sepakat jika, pada prinsipnya omnibus hanya menyasar masalah perizinan. Ia mencontohkan, pada sektor perumahan. Menurutnya, jangan sampai hal-hal terkait harus adanya keterbangunan 20% rumah susun baru dapat dijual, penentuan hak suara anggota dalam penentuan pengurus berdasarkan satu orang satu suara, hanya karena menurut pelaku pembangunan dianggap menghambat investasi, menjadi hal yang turut disasar dalam omnibus law, yang pada akhirnya ketentuan tersebut dihapus.
Padahal menurut Ilham Hermawan, ketentuan tersebut, jelas tidak berkaitan dengan perizinan, melainkan bentuk perlindungan hukum bagi masyarakat khususnya konsumen.
Diskusi media ini kemudian ditutup oleh Auliya Khasanofa yang menegaskan, diskusi kali ini menghadirkan dinamika pemikiran hukum dan perspektif kritis untuk menghindari omnibus law dari penyalahgunaan kekuasan demi kesejahteraan rakyat dan merah putih yang berkemajuan.