PONTIANAK, MENARA62.COM – Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengungkapkan keprihatinan mendalam atas proses dan isi Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang dinilai berisiko mengancam prinsip keadilan dan hak asasi manusia (HAM). Meski mengapresiasi penyelesaian Daftar Inventaris Masalah (DIM) oleh pemerintah, Majelis menyoroti sejumlah poin kritis dalam draf RUU KUHAP 3 Maret 2025 yang berpotensi mengabaikan perlindungan HAM dan partisipasi publik yang sejati.
Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah mengecam proses pembahasan RUU KUHAP yang terkesan terburu-buru dan minim transparansi. Pembahasan 1.676 DIM dalam dua hari (9-10 Juli 2025) dianggap kurang mendalam dan bermutu. Selain itu, kemunculan draf awal pada Februari 2025 tanpa kejelasan asal-usul dan pengakuan akademisi yang merasa hanya dijadikan “pajangan” semakin memperkuat dugaan proses yang tidak transparan dan akuntabel.
Mereka menyoroti sejumlah ketentuan dalam RUU KUHAP yang berpotensi melegitimasi praktik penyiksaan dan penyalahgunaan wewenang, seperti:
- Masa penangkapan yang memungkinkan penahanan hingga 7 hari, jauh melampaui standar HAM internasional 48 jam.
- Penghapusan ketentuan pembatalan penetapan tersangka akibat kekerasan yang menghilangkan disinsentif bagi aparat penegak hukum untuk tidak melakukan kekerasan.
- Alasan penahanan yang terlalu luas dan subjektif, melanggar hak untuk tidak memberatkan diri sendiri.
- Penghapusan izin penahanan oleh pengadilan yang melemahkan kontrol independen.
- Penetapan saksi mahkota tanpa jaminan kesepakatan dan tanpa paksaan yang minim akuntabilitas.
- Pengakuan bersalah di tingkat penyidikan tanpa standar kontrol yang memadai.
Majelis juga mengkritik lemahnya mekanisme akuntabilitas dan check and balances, khususnya dalam penggeledahan, pemblokiran, pengambilan sampel biologis, penyadapan, serta teknik investigasi khusus tanpa izin pengadilan. Mereka menekankan pentingnya putusan praperadilan yang tidak bisa diajukan ke pengadilan tinggi sebagaimana telah diputus Mahkamah Konstitusi.
Majelis menegaskan bahwa “Peninjauan Kembali harus ditegaskan hanya merupakan hak dari terpidana, sehingga penuntut umum tidak diizinkan mengajukan peninjauan kembali.”
Lebih jauh, Majelis menuntut agar RUU KUHAP mengutamakan hak korban dan saksi, termasuk pengakuan dampak kejahatan oleh korban (Victim Impact Statement), pengaturan kompensasi korban, serta pengaturan saksi pelaku (Justice Collaborator) untuk mengungkap kejahatan serius dan terorganisir. Mereka juga meminta agar praperadilan tetap dapat menguji setiap tindakan penyelidikan.
Majelis menegaskan:
“Mendesak DPR RI dan Pemerintah untuk melakukan pembahasan RUU KUHAP secara partisipatif, menjunjung tinggi prinsip keadilan substantif, perlindungan terhadap kelompok rentan, dan penghormatan terhadap HAM.”
Mereka juga mengingatkan pentingnya reformasi KUHAP yang benar-benar menjawab persoalan dalam praktik peradilan pidana yang selama ini rentan mengabaikan due process of law dan presumption of innocence. Majelis mengajak seluruh elemen masyarakat untuk aktif memperhatikan dan berperan dalam pembahasan ini karena:
“Undang-undang ini akan memiliki dampak yang sangat signifikan terhadap kehidupan sehari-hari masyarakat, termasuk bagi kebebasan berekspresi dan kebebasan akademik masyarakat secara luas dan ancam demokrasi serta HAM.”
Majelis percaya reformasi KUHAP sangat dibutuhkan, namun menegaskan bahwa prosesnya harus:
“Dilakukan dengan proses yang benar, substantif, dan partisipatif, bukan dengan pembahasan kilat yang mengorbankan prinsip-prinsip fundamental hukum dan hak asasi manusia. Hanya dengan demikian, kita dapat menghasilkan KUHAP yang benar-benar berkeadilan dan melindungi hak-hak setiap warga negara.”

