SOLO, MENARA62.COM – Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) kembali menggelar Kajian Tarjih ke-193 secara daring melalui Zoom Meeting. Dalam kesempatan tersebut, Drs. Yayuli, M.P.I., menjadi narasumber dengan menguraikan tema, yakni Redefinisi Asnaf Mustahik Zakat Kontemporer, sebuah isu yang lahir dari hasil Musyawarah Nasional Tarjih ke-31 di Yogyakarta tahun 2020.
Kajian ini menyoroti relevansi zakat dalam konteks zaman modern. Yayulii menegaskan bahwa pembahasan asnaf mustahik tidak dapat dilepaskan dari perubahan sosial, ekonomi, dan budaya umat Islam. “Kehidupan sekarang sangat berbeda dengan masa Nabi, sehingga redefinisi mustahik zakat menjadi kebutuhan agar Islam tetap menghadirkan solusi,” jelasnya, Rabu, (1/10).
Ia mengawali pemaparan dengan menegaskan bahwa zakat memiliki dua unsur utama, yaitu muzaki (pemberi zakat) dan mustahik (penerima zakat). Kriteria muzaki sudah jelas, yakni Muslim, baligh, memiliki harta yang mencapai nisab, dan melalui haul. Namun, pembahasan utama terletak pada siapa saja yang tergolong mustahik sesuai perkembangan zaman.
Dalam kajiannya, Yayuli mengurai secara detail delapan golongan penerima zakat (asnaf) yang disebutkan dalam Al-Qur’an Surat At-Taubah ayat 60. Ia menjelaskan bagaimana Majelis Tarjih Muhammadiyah memberikan redefinisi terhadap fakir, miskin, amil, muallaf, riqab, gharimin, fi sabilillah, dan ibnu sabil agar lebih relevan dengan tantangan kontemporer.
Fakir, misalnya, tidak lagi sekadar dipahami sebagai orang yang tidak memiliki apa-apa. Majelis Tarjih menambahkan kategori fakir sebagai mereka yang mengalami kemiskinan multidimensional, difabel, lansia tanpa penghasilan, korban bencana, hingga kaum imigran yang terlantar. “Fakir adalah mereka yang kebutuhan dasarnya tidak terpenuhi, baik pangan, sandang, papan, pendidikan, maupun kesehatan,” ujarnya.
Sementara itu, kategori miskin juga diperluas. Yayuli menekankan bahwa orang miskin adalah mereka yang memiliki penghasilan tetapi tidak mencukupi kebutuhan hidup. Termasuk di dalamnya mereka yang kekurangan modal usaha, penderita sakit tanpa biaya berobat, hingga keluarga yang tidak memiliki biaya pendidikan dasar 12 tahun. “Zakat harus bersifat produktif agar membantu mereka keluar dari lingkaran kemiskinan,” tambahnya.
Amil zakat dalam konteks sekarang tidak lagi perorangan, tetapi lembaga resmi sesuai Undang-Undang No. 23 Tahun 2011. Oleh karena itu, lembaga seperti BAZNAS dan LAZISMU menjadi pihak yang berwenang mengelola zakat, dengan hak penggunaan maksimal 10% dari dana zakat untuk operasional.
Pada aspek muallaf, Majelis Tarjih menegaskan bahwa zakat dapat diperuntukkan bagi pemberdayaan ekonomi, pendidikan, serta dakwah bagi mereka yang baru masuk Islam. Bahkan, zakat juga bisa digunakan untuk mendukung strategi dakwah Muhammadiyah di wilayah baru.
Konteks riqab atau pembebasan budak yang kini sudah tidak ada, diinterpretasikan ulang menjadi bantuan bagi buruh migran, korban perdagangan manusia, serta pengungsi akibat konflik politik maupun bencana kemanusiaan. Sementara gharimin, atau orang yang berutang, dimaknai sebagai mereka yang terjerat hutang karena kebutuhan dasar, biaya rumah sakit, hingga biaya pendidikan.
Asnaf fi sabilillah dipahami lebih luas sebagai segala bentuk kegiatan yang membawa kemaslahatan umat. Hal ini mencakup pembangunan masjid, penyediaan sarana pendidikan, hingga beasiswa. “Sabilillah adalah jalan kebaikan yang menegakkan kemaslahatan umat. Maka pembangunan fasilitas umum bisa dibiayai dari zakat,” jelas Yayuli.
Kategori terakhir, ibnu sabil, juga mendapat redefinisi. Tidak hanya musafir yang kehabisan bekal, namun juga mahasiswa perantauan yang kekurangan biaya, peserta pendidikan khusus, hingga pekerja migran yang terlantar di luar negeri. Hal ini menunjukkan fleksibilitas syariat Islam dalam merespons tantangan global.
Dalam sesi tanya jawab, sejumlah pertanyaan muncul, di antaranya tentang zakat untuk pembangunan masjid, beasiswa, maupun properti sewaan. Yayuli menegaskan bahwa semua dapat dikategorikan sebagai bagian dari fi sabilillah jika bertujuan menghadirkan kemaslahatan umat. Properti yang digunakan sebagai investasi, seperti kos-kosan atau rumah usaha, juga wajib dizakati jika mencapai nisab.
Kajian yang digelar pada Selasa (30/9) itu kemudian ditutup dengan penegasan bahwa Islam hadir sebagai solusi sepanjang zaman. Redefinisi asnaf mustahik zakat menjadi bukti bahwa Muhammadiyah terus mengaktualisasikan ajaran Islam sesuai perkembangan zaman, sehingga zakat benar-benar mampu menjadi instrumen keadilan sosial dan pemberdayaan umat. (*)

