JAKARTA, MENARA62.COM – Pemerintah Malaysia menawarkan bantuan pengembangan digital manuskrip. Negara tersebut saat ini sudah memiliki teknologi digital manuskrip yang cukup canggih.
“Jika diperlukan kami bisa membantu untuk digitalizing manuscript karena Indonesia pasti kaya akan khazanah keilmuan,” kata Menteri Pendidikan Malaysia Maszlee bin Malik dalam kunjungannya ke Kementerian Agama.
Maszlee bercerita pemerintah Malaysia pernah menawarkan metode ini kepada Maroko. Tetapi ternyata Indonesia pernah meminta bantuan pemerintah Inggris.
“Mengapa kita tidak saling membantu, jauh-jauh ke Inggris, sementara kami ada teknologinya,” lanjut Maszlee.
Maszlee menuturkan kajian manuskrip yang ada di Malaysia juga mencakup beberapa manuskrip yang tersebar di Asia Tenggara.
“Ada yang dari Mindanao misalnya. Manuskrip yang ada di Asia Tenggara sebenarnya tak kalah dengan yang ada di Arab Saudi,dan sebagainya,” ujar Maszlee yang mengaku memiliki nenek moyang berdarah Bugis, Sulawesi Selatan.
Ia menambahkan, kajian manuskrip, khususnya manuskrip keagamaan, penting untuk dilakukan bersama-sama. “Apalagi kita satu rumpun. Ini di hari depan akan jadi peninggalan bagi anak cucu kita,” tuturnya.
Menag Lukman Hakim Saefuddin mengatakan dalam beberapa tahun terakhir pemerintah Indonesia fokus melakukan kajian manuskrip.
“Ke depan kami ingin membangun Pusat Manuskrip Nusantara,” ujar Menag seperti dikutip dari laman kemenag.
Menurut Menag, kajian manuskrip Nusantara menjadi perhatian Kemenag karena banyak khasanah keilmuan yang ada dan tersebar di dalamnya belum tergali dan terinventarisir dengan baik.
“Padahal khasanah-khasanah yang ada dalam manuskrip kita sangat kaya,” lanjutnya.
Sementara Staf Ahli Menteri Oman Fathurahman menyambut baik bila Indonesia dan Malaysia dapat membangun kerjasama pada bidang kajian manuskrip.
Ia menuturkan bahwa Malaysia sangat maju di bidang sains dan kedokteran. Di saat yang sama, kajian manuskripnya pun sangat baik.
“Ada manuskrip Nusantara karya Nurudin Ar Raniry, ulama asal Aceh ternyata telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh seorang profesor di Malaysia,” cerita Oman yang juga merupakan filolog.
Namun sayangnya, menurut Oman, karya terjemahan manuskrip Nurudin Ar Raniry tersebut cukup mahal karena harus dibeli dalam mata uang Ringgit.