Oleh: Ki Pujo Wardaya
BOYOLALI, MENARA62.COM – Pernahkah Anda memperhatikan bahwa belakangan ini burung perkutut mudah sekali dijumpai? Di kebun-kebun, di jalan-jalan, bahkan di pekarangan rumah sederhana sekalipun, suara “kukuruyuk” lirih nan khas itu terdengar bersahutan. Padahal jika kita mundur ke tahun 1980-an, perkutut adalah burung “elite”. Harganya mahal, pemiliknya terbatas pada kalangan tertentu yang punya uang dan pengaruh. Ia bukan sekadar hewan peliharaan, melainkan simbol status sosial.
Sebaliknya, burung prenjak dulunya umum dan murah. Mudah ditemui di semak-semak, sawah, dan kebun belakang rumah. Namun kini, prenjak justru sulit dijumpai. Ia seolah tergeser dari panggung kehidupan yang dulu ramai oleh suaranya yang riuh. Apa yang sebenarnya terjadi?
Fenomena ini, jika direnungkan lebih dalam, terasa seperti metafora sosial. Dulu, “kompetensi” diwakili oleh prenjak—burung kecil, lincah, bekerja keras, dan bersuara nyaring. Ia mewakili mereka yang mengandalkan kerja nyata, kontribusi jelas, meski mungkin tidak menonjol dalam penampilan.
Sementara perkutut, dengan bulunya yang tenang dan suaranya yang elegan, dahulu melambangkan “koneksi” atau akses. Ia tidak selalu lebih pintar atau berguna, tapi ia “dipelihara” dan dihargai karena siapa yang memilikinya, bukan karena apa yang ia lakukan.
Kini semuanya terbalik. Perkutut tak lagi eksklusif. Ia justru bertebaran di mana-mana. Seperti koneksi yang dulu bernilai mahal, sekarang menjamur dan sering tanpa kontrol. Banyak posisi, jabatan, bahkan keputusan penting, didominasi oleh mereka yang punya koneksi, meski tak punya kompetensi sebanding.
Sementara itu, si prenjak—burung pekerja keras—menghilang dari keramaian. Barangkali karena kalah bersaing, atau karena tidak lagi dilirik. Seperti pekerja andal, pemikir tulus, atau pendidik sejati yang perlahan tersisih dari sistem yang lebih mengutamakan siapa yang dikenal, bukan apa yang dikerjakan.
Siklus kehidupan memang penuh ironi. Kadang yang dahulu langka menjadi biasa. Yang dulu biasa, kini langka. Tapi dari fenomena burung-burung ini, kita bisa belajar bahwa dalam masyarakat, penting untuk menjaga keseimbangan antara koneksi dan kompetensi. Koneksi tanpa kemampuan hanya akan menghasilkan sistem rapuh. Sedangkan kompetensi tanpa peluang hanya akan membuat potensi terpendam.
Mungkin sudah waktunya kita belajar dari prenjak dan perkutut. Bahwa yang penting bukan seberapa sering kita terdengar, atau siapa yang memelihara kita—tapi apakah kita benar-benar memberi makna dalam hidup Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara ini.
Ngisor Pring
Jum’at 13 Juni 2025
