BAGHDAD, MENARA62.COM — “Tidak untuk muhasasa, tidak untuk sektarianisme politik,” teriak pengunjuk rasa di Lapangan Tahrir Baghdad, ibukota Irak, ketika seruan untuk reformasi total sistem politik terus berlanjut. Mereka tak puas dengan hanya pengunduran diri Perdana Menteri (PM) Adel Abdul Mahdi pada Ahad (1/12/2019).
Para pengunjuk rasa di Baghdad dengan gigih mengecam sistem muhasasa yang berbasis kuota atau pembagian kue kekuasaan di dalam pemerintahan Irak. Sistem ini dianggap banyak mudharatnya dan menimbulkan pemerintahan yang amburadul.
Muhasasa diperkenalkan di Irak setelah invasi pimpinan Amerika Serikat (AS) pada 2003. Tujuannya, sebagau upaya memberikan perwakilan yang proporsional di antara berbagai kelompok etno-sektarian Irak. Banyak warga Irak percaya sistem ini sangat cacat dan melahirkan kerusakan.
“Istilah muhasasa adalah kata kunci untuk sistem politik dan semua penyakitnya. Sistem ini mendukung korupsi, kolusi, dan jaringan patronase yang menjadi ciri kehidupan masyarakat di Irak,” kata Fanar al-Haddad, peneliti pada lembaga kajian Timur Tengah di Universitas Singapura, kepada Al Jazeera.
Para pengunjuk rasa tidak hanya menyalahkan muhasasa yang memicu kekerasan sektarian di seluruh Irak. Mereka juga menganggap hal itu memungkinkan individu dan kelompok tertentu untuk memperkaya diri mereka sendiri selama bertahun-tahun dan memperluas pengaruh mereka, sementara banyak penduduk negara kaya minyak itu mengalami kesulitan ekonomi.
“Muhasasa adalah jantung dari semua masalah kita,” kata Rusha Omar, seorang aktivis dan jurnalis berusia 28 tahun yang telah berpartisipasi dalam protes di Baghdad selama berminggu-minggu. “Kita tidak bisa lagi mentolerir sistem yang memungkinkan elite politik memperlakukan sumber daya negara kita sebagai barang rampasan.”
Bagaimana ini Dimulai
Meskipun muhasasa hanya diperkenalkan oleh AS setelah menduduki Irak pada 2003, fondasi sistem tersebut disusun oleh kelompok-kelompok oposisi Irak pada awal 1990-an. Mereka berharap suatu hari nanti akan menggulingkan pemimpin lama Saddam Hussein, dengan membayangkan sistem perwakilan proporsional dan partisipasi untuk Sunni, Syiah, Kurdi, dan kelompok etno-sektarian Irak lainnya.
“Sistem kuota saat ini diciptakan oleh kelompok-kelompok oposisi yang ingin mengatur diri mereka sendiri ketika mereka berhasil berkuasa,” kata Abbas Kadhim, direktur Prakarsa Irak di Dewan Atlantik.
Setelah jatuhnya Saddam Hussein, yang dituduh melakukan penindasan sektarian terhadap mayoritas Syiah Irak, badan sipil AS yang menjalankan pendudukan Irak disibukkan dengan menciptakan keseimbangan etno-sektarian di negara itu. Mereka menggunakan muhasasa untuk memilih perwakilan di badan pemerintahan pasca-2003 pertama Irak, yaitu Dewan Pemerintahan Irak (IGC).
“Muhasasa pada dasarnya adalah gagasan bagian penting dari oposisi Irak dan juga pendudukan Amerika,” kata Haddad.
Muhasasa membentuk sistem untuk membagi kantor publik, posisi politik, dan sumber daya negara sepanjang garis etno-sektarian antara partai-partai yang membentuk kelas penguasa negara.
Sektarianisme
Sistem muhasasa juga memberikan kekuatan politik dan ekonomi kepada partai-partai yang mendominasi politik Irak pasca-2003. Salah satu kesulitan utama muhasasa, menurut pengunjuk rasa dan pakar Irak, adalah memperdalam perpecahan sektarian.
“Awalnya, sistem itu adalah cara untuk membangun sistem representasi proporsional etno-sektarian. (Tapi itu juga) mengobarkan relevansi politik identitas etno-sektarian dan menjerumuskan Irak ke dalam perang saudara berkode sekte yang merobek-robek tatanan masyarakat”,” tutur Haddad.
Menyusul pemboman sebuah kuil Syiah di pusat kota Samarra pada tahun 2006, kelompok-kelompok bersenjata Syiah menargetkan populasi Sunni yang mengarah ke kekerasan sektarian yang meluas di Irak antara tahun 2006 dan 2008. Meskipun kekerasan sektarian di negara itu telah mereda secara signifikan, banyak warga Irak percaya bahwa muhasasa telah menyebabkan kerusakan yang abadi.
“Sampai hari ini, Syiah dan Sunni ambil bagian dalam pemilihan karena mereka takut satu sama lain,” kata Aqil al-Saray, seorang pemrotes berusia 43 tahun, dan saudara lelaki Safaa al-Saray, salah satu tokoh gerakan protes.
“Jika satu sekte mendapatkan lebih banyak kekuatan, yang lain khawatir itu akan berakhir terbunuh,” jelas Saray, ketika dia duduk di tenda yang didirikan atas nama saudaranya yang terbunuh pada 28 Oktober setelah dipukul kepalanya oleh seorang dengan tabung gas air mata.
Beberapa slogan yang digunakan oleh para pemrotes dalam pemberontakan baru-baru ini telah mencerminkan penolakan kuat terhadap identitas sektarian dan agama, dengan seruan untuk mengakui semua warga Irak sebagai satu. Salah satu slogan populer di poster-poster di Lapangan Tahrir adalah: “Bukan Syiah, bukan Sunni, bukan Kristen. Kita semua adalah Irak.”
Kepentingan Pribadi dan Intervensi Asing
Selain memperdalam perpecahan sektarian, sistem berbasis kuota melenyapkan persatuan nasional di antara para elit politik Irak. Kalangan pakar dan pengunjuk rasa juga menganggap muhasas mendorong kepentingan diri sendiri dan memungkinkan intervensi asing.
Karena muhasasa, “tidak satu pun dari pihak [yang berkuasa] yang fokus untuk bertindak atas nama negara secara keseluruhan. Banyak dari partai-partai ini, khususnya kelompok Islam Syiah yang merupakan kekuatan dominan di Irak hari ini, diinkubasi dan dibiayai oleh Iran,” kata Talha Abdurazzaq, peneliti di Institut Strategi dan Keamanan Universitas Exeter, Inggris.
Dengan merukuk pada laporan Kementerian Intelijen dan Keamanan Iran antara 2014 dan 2015, The New York Times dan Intercept pada November 2019 menerbitkan potret terperinci tentang seberapa agresif Teheran. Mereka bekerja untuk menanamkan diri dalam urusan Irak, menyusup ke kehidupan ekonomi, politik dan agama Irak.
Inisiatif Irak di Dewan Atlantik Kadhim setuju muhasasa mengakibatkan kurangnya persatuan nasional di seluruh Irak. Sistem ini malah mengedepankan intervensi asing dalam urusan internal negara ketika masing-masing kelompok elite politik mencari dukungan asing untuk kepentingan sendiri.
Korupsi dan Nepotisme
Rakyat Irak sering mengaitkan korupsi dengan sistem muhasaa yang mereka dicerca. “Karena muhasasa, pemerintah Irak dibentuk oleh para menteri dan anggota parlemen yang bukan teknokrat. Kami diperintah oleh sekelompok kroni yang berkuasa karena mereka milik partai ini, atau itu,” kata Saray kepada Al Jazeera.
Ali Khraybit, produser film berusia 27 tahun dan teman dekat Safaa al-Saray, setuju: “Setiap partai politik memiliki kendali atas sekelompok kementerian di mana ia menyewa rombongannya sendiri. Sistem ini menyediakan perlindungan hukum untuk menyalahgunakan sistem. ”
Sistem tesebut, lanjut Khraybit, memperkaya elite politik dan yang memiliki koneksi dengan mereka, sambil memiskinkan sebagian besar rakyat Irak.
Muhasasa menuju pada “perampokan peralihan sistemik negara melalui kolusi elit, konsensus pemerintah, korupsi dan jaringan patronase,” kata Haddad.
Menurut Kadhim, “tidak cukup bagi seorang Kurdi, Syiah, atau Sunni, untuk mengisi posisi tertentu, tetapi mereka harus menjadi bagian dari salah satu pihak yang berkuasa. Mereka yang berkuasa akhirnya menentukan posisi politik sebagai seolah-olah hasil rampasan, memberikan posisi pemerintah yang dialokasikan kepada mereka untuk anggota partai terlepas dari kualifikasi mereka,” jelasnya.
Menurut Kadhim, sistem muhasasa lebih jauh disalahgunakan karena kurangnya check and balance untuk membuat orang yang berkuasa bertanggung jawab. “Saat pihak-pihak tertentu dapat berbagi secara eksklusif, mereka akhirnya saling berbagi satu sama lain dan tidak ada yang bertanggung jawab,” katanya.
Karena alasan itulah Muhtada Abu al-Jawad, seorang pengajar sipil dan pemrotes yang beroperasi 23 tahun di Tahrir Square, percaya muhasasa adalah “yang mengubah negara kita”. “Itu alasan utama kita melakukan protes hari ini,” tandasnya.
Gelombang protes rakyat Irak sudah berlangsung lebih dua bulan. Aksi mereka dhadapi dengan kekersan oleh aparat kemanan dan milisi yang didukung Iran. Korban banyak berjatuhan, dengan jumlah tewas menembus angka 400 orang dan ribuan lainnya luka-luka.