Oleh. Ashari*
Nanang. Nama itu tidak asing di telingaku. Memang banyak nama yang sama. Namun Nanang yang satu ini beda. Karena dibelakang namanya ada tambahan nama kuncung. Aku teringat 20 tahun silam, di kampungku yang tidak terlalu pelosok. Nanang kuncung adalah muridku TPA ( Taman Pendidikan Al-quran ). Anaknya kecil, kurus dan mempuyai ciri rambutnya kuncung. Namun waktu TPA jarang kelihatan karena Nanang kecil sering memakai peci putihnya. Aku tahu nama kuncung juga dari teman-teman ngajinya, “Eh, hayo tidak boleh memanggil dengan sebutan yang tidak baik atau tidak disenangi,” kataku waktu itu. Nanang hanya tersenyum nyengir. Memang dipanggil kuncung, nampaknya dia menikmati saja, tidak marah. Justru aku yang sebagai gurunya merasa tidak nyaman.
Satu hal yang sampai sekarang masih aku ingat adalah meski hujan turun, Nanang tetap berangkat TPA. Pernah beberapa kali meminjami payung kepadaku. Waktu itu dia kelas 3 SD Negeri. Lingkungan rumahnya memang aku melihat kurang mendukung untuk tumbuh kembang Nanang kecil. Dua kakaknya adalah preman kampung yang menjadi langganan bui. Sementara bapaknya pergi entah kenapa. Ibunya berjualan keliling dari satu desa ke desa lain. Jika jualan habis, tak jarang ibunya menjadi buruh cuci tetangganya. Aku lihat Nanang kecil sering membantu ibunya mencuci. Bahkan pernah, bajuku ikut dicucinya.
“Nggak apa-apa mbak. Ibu biasa mencuci kok,” katanya waktu menawari aku untuk mencuci baju ditempatnya. Anehnya ketika ibunya aku beri uang, menolak, katanya ini sebagai ucapan terima kasih karena anaknya sudah diajari mengaji, “ Mestinya saya membayar banyak sama mbak, saya hanya bisa membantu dengan mencucikan baju mbak. Saya terimakasih, Nanang bisa mengaji, hanya dia yang menjadi kebanggaanku mbak,” kata ibunya Nanang waktu itu.
Dua peristiwa itulah yang sampai sekarang, atau bahkan sampai kapanpun tidak pernah akan terhapus dari memori otakku. Nanang kuncung antara payung dan mencuci baju.
Dua puluh tahun berlalu sejak aku hijrah ke ibu kota mengikuti kerja suami, praktis tidak lagi ada kontak dengan Nanang. Ketika aku tinggalkan Nanang kelas 5 SD. Memang dia bersama teman-teman TPA sempat bertanya kapan aku kembali ke kampung itu, aku hanya bisa jawab Insya Allah, aku akan kembali. Tidak ada air mata, tidak ada tangis ketika aku tinggalkan mereka. Itu juga terjadi karena mereka belum paham benar apa artinya sebuah perpisahan.
Di ibu kota aku juga mulai disergap dengan kesibukan harian. Aku melanjutkan tradisi waktu di kampung, aku menjadi guru SMP Swasta. Kalau sore masih sempat mengajar TPA. Ternyata namanya ibu kota, tidak semua bisa mendapatkan fasilitas belajar secara memadai. Bahkan tidak sedikit mereka yang tidak berkesempatan untuk belajar formal karena berbagai alasan. Mereka bersama orang tuanya tinggal dibantaran sungai yang rapuh. Karena tidak bersekolah di pendidikan formal itulah, maka oleh orang tuanya diminta untuk mengaji kalau sore hari.
Batinku sering menjerit. Di ibu kota yang dekat dengan pusat kekuasaan justru kadang muncul situasi paradox yang menyayat hati. Kemiskinan, kesenjangan. Namun aku sendiri tidak bisa berbuat banyak. Yang aku bisa hanya mengajar. Di sisa waktu saja. Sore hari seminggu tiga kali.
Lamunanku pecah ketika muridku TPA mirip Nanang kuncul berlari-lari hingga pecinya terguncang dan jatuh. Ketika dekat memberiku koran. Saat ku baca ada berita Nanang kuncung sekarang di Jakarta bersama mahasiswa lain menerima penghargaan dari Presiden sebagai pimpinan perusahaan berprestasi. Hadiah akan diberikan Menteri BUMN, Dahlan Iskan. Sayangnya foto Nanang kecil karena bersama karyawan yang lain, jadi awalnya aku sempat ragu apakah ini Nanang yang pernah meminjami payung waktu TPA kehujanan dulu atau jangan-jangan Nanang yang lain. Aku penasaran. Namun hati kecilku mengatakan dia adalah Nanang kecil dulu. Dia adalah Nanang murid TPA ku dulu. Namun yang membuat aku tercengang dia sebagai CEO berprestasi hingga tingkat nasional? Mungkinkah? Pikiranku yang lain mengatakan : mengapa tidak mungkin, toh dia memang pintar waktu itu.
Aku ceritakan masalah ini kepada suami. Dia mengijinkan aku untuk membuktikan apakah dia Nanang muridku dulu atau bukan. Usai mengajar aku menyetop taksi. Tujuannya hanya satu tempat pemberian penghargaan bergengsi itu. Namun ternyata untuk menuju kesana tidak mudah. Bukan karena lokasinya yang cukup jauh dari tempatku mengajar, namun untuk masuk ke tempat, tidak semua orang bisa. Gedung bercat putih itu dipagari banyak orang. Wartawan dengan sigap lalu lalang. Mengambil gambar setiap orang yang masuk. Aku hanya bisa tertahan di pintu masuk. Oleh satpam aku tidak diperbolehkan, alasannya tidak membawa kartu undangan.
“Ibu d isini saja, karena tidak membawa kartu undangan,” kata satpam dengan ramah. Aku menurut saja, seperti kerbau dicokok hidungnya. Tidak banyak berkutik. Menurut. Yang penting bisa memastikan apakah dia Nanang muridku TPA dulu atau bukan. Kalaupun bukan tidak terlalu membuatku kecawa. Rasa capek, pegal menunggu tak aku hiraukan. Suamiku sms memastikan apakah aku sudah sadah sampai di lokasi atau belum, maklum jauh. Aku jawab sms pendek, sudah.
Acara demi acara berlangsung. Sesekali aku dengar gemuruh tepuk tangan di dalam gedung. Pikiranku melayang, itukah Nanang yang sedang mendapatkan kalungan medali. Akhirnya acara selesai. Satu persatu orang keluar gedung. Rata-rata pakaian mereka necis-necis, pakai jas berdasi. Sementara aku pakai jaket almamater. Tapi kan aku tidak mendapat undangan, jadi tidak peduli dengan pakaian.
Tiba-tiba ada orang muda yang aku piker inilah Nanang itu, maka aku mencoba untuk setengah mengejarnya, “Nanang….” Seruku, tanpa memakai Mas atau Pak. Yang aku panggil menoleh, setengah hati memandangku. Ragu. Aku mendekat, desir batinku mengatakan ini adalah Nanang kuncung. Aku tidak lupa dengan tahi lalat di dekat bibir dan sisiran rambutnya yang masih sama dengan waktu TPA dulu.
“Nanang kan…aku Marfuah guru TPA di kampung dulu,” kataku meyakinkan.
“Mbak Marfuah, Masya Allah, Alhamdulillah..iya mbak aku Nanang dulu. Dengan siapa mbak? Tahu acara ini? Ayo duduk sebentar di kantin sebelah,” ajak Nanang ramah.
Dikantin itulah aku muntahkan rasa penasaranku kepadanya ketika membaca media ada nama Nanang akan mendapatkan penghargaan dari pemerintah. Fotonya seperti Nanang kuncung waktu TPA dulu. Bersama keluarganya aku diajak main kerumah. Tidak butuh waktu lama, kami menjadi akrab. Ibunya tidak segan-segan memelukku rapat, sambil bilang terimakasih. Dan sesekali aku lihat dia menangis. Tapi kali ini aku yakin, dia menangis karena bahagia karena mempunyai Nanang yang kini sudah “menjadi orang”. Nanang menceritakan bagaimana dia bisa menjadi seperti ini.
Setelah SD lulus, Nanang menyelesaikan SMP dan SMA swasta di kampungnya. Ibunya ingin Nanang bisa kuliah. Sambil membantu ibunya mencuci baju ia kuliah. Karena prestasinya yang bagus dia mendapatkan banyak tawaran pekerjaan. Temannya 4 orang yang dulu sama-sama rajin TPA, entah sebab apa, juga “menjadi orang”. Nanang cerita, Falah yang suka qiraah sekarang dosen dan S-2 di Al-Azhar Kairo, Puput ahli ilmu ukur tanah di UGM, Novi jadi dokter dan satu lagi yang kalau TPA suka bawa makanan slondok, Mukhlis tanpa diduga jadi pengusaha sukses. Padahal sekolahnya biasa-biasa saja.
Tanpa sadar aku menangis. Air mata meleleh deras tapa kuasa aku bendung. Bukan karena ujub, namun justru takjub begitu kuasa Allah dalam menjalankan hamba-Nya yang taat. “Mereka masih sering kontak-kontak denganku mbak, yang terakhir Falah dari Kairo, meski suasana di Mesir kurang bersahabat ia ingin segera menyelesaikan kuliahnya. Bakatnya yang lain, naik sepeda, masih disalurkan dengan ikut klub disana. Anganku mundur kebelakang jauh. Ingat Falah yang kecil, mengajinya bagus, kalau berangkat pakai sepeda kakaknya yang lebih besar, dengan PD-nya. Suka ngebut zik-zak. Maha Suci dan Kuasa Engkau Ya Allah. Batinku tersungkur. Sujud. Mohon ampun. Sekian.
Murangan, Juli 2018