31.2 C
Jakarta

Masih Ada Anak Indonesia Belum Mendapat Imunisasi Rutin Lengkap

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM – Sekitar 1 persen anak Indonesia belum mendapatkan Imunisasi Rutin Lengkap (IRL). Padahal pemberian IRL menjamin anak-anak terhindar dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (P3DI) seperti campak, rubella, polio, dan hepatitis.

Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kemenkes RI, dr. Anung Sugihantono, M.Kes mengatakan ada sebagian kecil anak yang belum mendapatkan imunisasi lengkap, di bawah persen.

“Sebaran anak yang belum imunisasi lengkap itu hampir di semua daerah di Indonesia ada. Tapi proporsi terbesar ada di Indonesia bagian Timur,” kata Anung dalam siaran persnya, Selasa (30/4).

Imunisasi rutin lengkap tidak berhenti sampai anak usia 11 bulan, tetapi sampai anak usia sekolah dasar. Sehingga imunisasi rutin lengkap bukan sekadar melanjutkan pemberian imunisasi, tapi menguatkan bahwa anak usia sekolah dasar bisa diberikan perlindungan optimal.

Imunisasi rutin lengkap diberikan pada bayi berusia kurang dari 24 jam berupa imunisasi Hepatitis B (HB-0), usia 1 bulan diberikan (BCG dan Polio 1), usia 2 bulan diberikan (DPT-HB-Hib 1 dan Polio 2), usia 3 bulan diberikan (DPT-HB-Hib 2 dan Polio 3), usia 4 bulan diberikan (DPT-HB-Hib 3, Polio 4 dan IPV atau Polio suntik), usia 9 bulan diberikan (Campak atau MR), bayi bawah dua tahun (Baduta) usia 18 bulan diberikan imunisasi (DPT-HB-Hib dan Campak/MR), kelas 1 SD/madrasah/sederajat diberikan (DT dan Campak/MR), serta anak kelas 2 dan 5 SD/madrasah/sederajat diberikan (Td).

Di samping itu, terdapat tantangan untuk mencapai 95% cakupan imunisasi lengkap. dr. Anung membagi tantangan tersebut menjadi 2 macam, yakni tantangan di masyarakat dan tantangan di tenaga kesehatan atau sistem pelayanan kesehatan.

“Tantangan di masyarakat saya gunakan istilah miss opportunity, misalnya sang anak harus ditimbang hari ini, pada saat ditimbang anak tersebut batuk pilek sehingga tidak dapat diimunisasi,” katanya.

Terkait tantangan di tenaga kesehatan, dr. Anung menjelaskan, terkadang tenaga kesehatan yang akan memberikan vaksin, misalnya vaksin BCG 1 vial cukup untuk 10 anak, tapi yang datang hanya seorang anak. Artinya masih ada sisa vaksin untuk 9 anak yang tidak terpakai.

“Itu miss opportunity, padahal imunisasi itu ditentukan oleh waktu dan ditentukan oleh jenisnya. Jadi kalau misalnya pemberian imunisasi BCG mundur-mundur sampai 3 bulan, dan anak baru imunisasi BCG kita khawatir itu (pemberian vaksin BCG) tidak maksimal karena anaknya sudah terkontaminasi hal lain,” ungkapnya.

Maka dari itu, untuk menghadapi tantangan itu perlu kerja sama yang tidak hanya pemerintah saja, melainkan melibatkan media untuk membantu memberikan pemahaman tentang imunisasi kepada masyarakat.

“Kita akan terus mengupayakan pemahaman masyarakat. Kita juga akan meningkatkan mutu dan layanan bagi masyarakat. Media punya peran strategis untuk hal semacam itu,” ucapnya.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!