Oleh: Suyoto (Ketua Kordinator Kebijakan Publik DPP Partai NasDem dan Pengajar Unmuh Gresik)
JAKARTA, MENARA62.COM – Indeks Integritas Nasional 2025 yang dirilis KPK mencatat skor 72,32—kategori rentan. Angka ini bukan sekadar statistik; ia adalah alarm keras tentang kesehatan tata kelola pemerintahan Indonesia. Dalam momentum Hari Antikorupsi Sedunia, KPK juga merilis peta kerawanan gratifikasi dalam manajemen SDM, mulai dari rekrutmen, promosi, mutasi hingga pengelolaan kesejahteraan ASN. Temuan ini mengkonfirmasi sebuah kenyataan: korupsi di Indonesia bukan hanya soal perilaku individu, tetapi juga persoalan struktural yang menyediakan ruang dan peluang.
Saya meyakini apa yang disampaikan KPK hanyalah gunung es. Permukaan menunjukkan pelaku, tetapi dasarnya adalah sistem yang memungkinkan, bahkan kadang mendorong, terjadinya penyimpangan.
Apakah Sistem Kita Menjebak Siapa Pun yang Masuk?
Pertanyaannya penting:
Mengapa ada penyelenggara negara di Indonesia yang melakukan korupsi? Apakah sistem publik kita sedemikian rupa sehingga siapa pun yang masuk akan mudah terjerumus?
Beberapa kajian tata kelola menjelaskan fenomena ini:
1. Sistem yang menimbulkan “necessity corruption”
Dengan beban biaya politik yang tinggi, relasi patronase, dan tuntutan balas budi, berbagai pejabat terjebak dalam pola pembiayaan yang tidak transparan. Penelitian LIPI dan KPK menunjukkan biaya mencalonkan diri bupati/wali kota mencapai 20–100 miliar rupiah. Banyak kandidat tidak memiliki pilihan selain mencari sponsor, dan sponsor selalu menagih “balik modal”.
2. Inkonsistensi sistem birokrasi
Meski merit system dipromosikan, praktiknya masih sering dibelokkan oleh kepentingan politik jangka pendek. Zona integritas dan digitalisasi penting, tetapi belum cukup ketika proses hulu—rekrutmen, promosi, mutasi—masih menyisakan celah gratifikasi atau kompromi politik.
3. Bias penegakan hukum
Saat ini, batas antara kesalahan administrasi dan tindak pidana korupsi masih kabur. Banyak kepala daerah terseret kasus bukan karena niat jahat, tetapi karena kelalaian prosedural. UU Tipikor tidak membedakan secara tajam antara kerugian negara akibat korupsi dengan kerugian negara akibat kesalahan administratif yang tidak mengandung motif memperkaya diri.
Hasilnya: rasa takut berinovasi, “asal selamat”, dan birokrasi yang makin defensif.
Apakah Transformasi Masih Mungkin?
Tentu saja bisa. Saya meyakini jebakan sistemik dapat dibongkar. Tetapi syaratnya adalah reformasi yang menyasar tiga level sekaligus: kelembagaan, budaya, dan kepemimpinan.
1. Reformasi kelembagaan: menutup ruang penyimpangan dari hulu ke hilir. Dengan Memperkuat sistem merit tanpa kompromi politik. Memastikan digitalisasi mampu mengurangi discretionary power pejabat. Reformasi pendanaan politik agar biaya demokrasi tidak menjadi pintu masuk korupsi. Revisi UU Tipikor untuk memisahkan tegas kesalahan administrasi dari pidana korupsi.
2. Reformasi budaya: membangun integritas sebagai norma sosial
Antikorupsi tidak boleh hanya berupa kampanye sektoral atau seremonial. Ia harus menjadi gerakan moral publik yang hidup dalam keluarga, sekolah, komunitas, dan organisasi.
Kita perlu menggeser cara pandang:
Korupsi bukan hanya perilaku buruk, tetapi kegagalan kolektif.
3. Reformasi kepemimpinan: titik akupunktur perubahan.
Kualitas kepemimpinan adalah penentu. Namun sistem seleksi pemimpin kita masih menghadapi persoalan:
Rekrutmen partai sering tidak berbasis merit; loyalitas lebih sering diutamakan dibanding kapasitas. Isi tas didahulukan dibanding integritas. Pemilu mempromosikan yang populer dan berbiaya tinggi, bukan yang kompeten.
Relasi pemimpin–partai–pengusaha–birokrasi belum transparan, sehingga ruang kompromi sangat besar. Apresiasi kinerja kepala daerah masih rendah. Pendapatan kepala daerah lebih kecil dari sekda atau kepala OPD; tunjangan purna tugas hanya sekitar Rp2 juta. Pemimpin yang bersih, berprestasi, dan inovatif tidak mendapat insentif politik yang memadai untuk melanjutkan karier atau memimpin di level lebih tinggi. Kita tidak bisa berharap integritas tumbuh bila pemimpin jujur tidak memiliki masa depan politik yang layak.
Gerakan Antikorupsi: Saatnya Menyalahkan Sistem dan Diri Sendiri Secara Seimbang
Kampanye antikorupsi selama ini cenderung fokus pada membenci koruptor—dan itu penting.
Namun kita kerap lupa menyoroti sistem yang menciptakan perilaku koruptif. Kita semua bagian dari sistem itu: pegawai atau ASN, pengusaha, politisi, pemilih, media, ormas, masyarakat sipil, agamawan dan seterusnya. Gerakan antikorupsi harus dimulai dari diri sendiri, lalu meluas ke unit kerja, organisasi, dan komunitas.Kamera harus diarahkan seimbang: kepada sistem dan kepada kita sendiri dalam peran apa pun sebagai anak negeri.
Penutup: Integritas Bukan Mimpi, Tetapi Pilihan
Korupsi bukanlah takdir bangsa. Ia adalah hasil dari: sistem yang lemah, budaya yang permisif, dan kepemimpinan yang tidak cukup kuat.
Maka solusinya pun harus menyentuh tiga hal itu sekaligus. Indonesia membutuhkan: sistem yang menutup peluang, budaya yang menumbuhkan integritas, dan pemimpin yang menjadi kompas moral. Kita memiliki kesempatan untuk keluar dari jebakan ini. Tetapi itu hanya terjadi jika kita berani melihat gunung es korupsi secara utuh: dari puncak hingga dasar.
Jakarta, 11 Desember 2025

