YOGYAKARTA, MENARA62.COM – Dominasi kekuatan ekonomi dan politik negara-negara barat semakin meredup. Di sisi lain, sejumlah negara-negara di kawasan Asia mulai bangkit dan membesar. Salah satu faktor yang mendorong negara-negara Asia bangkit adalah adanya kemajuan sains dan teknologi.
Fenomena tersebut menarik untuk dicermati. Terutama terkait bagaimana Indonesia bisa mengambil keuntungan dari silang sengketa pergaulan ekonomi politik dunia tersebut. Apakah Indonesia akan ikut maju atau malah sebaliknya terlindas oleh pergerakan negara-negara Asia yang begitu massif.
Hal ini mengemuka dalam diskusi buku ‘Memudarnya Supremasi Barat di Tengah Kebangkitan Asia’, karya Prof Bambang Cipto, MA, Guru Besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang digelar Yayasan Abdurrahman Baswedan Yogyakarta melalui zoom meeting, Jumat (20/6/2020).
Diskusi ini menghadirkan tiga narasumber, yakni Prof. Dr. Bambang Cipto, MA, selaku penulis buku, Ir. Muslich Zainal Asikin, MBA., MT., ATU, Direktur Abhiseka Research Center dan CEO PIRI Islamic Fondation, serta Dr. Wachid Ridwan, Sekretaris Lembaga Hubungan Luar Negeri PP Muhammadiyah. Diskusi dipandu Iwan Setiawan, M.Si Dosen Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta.
Bambang Cipto dalam penjelasannya mengatakan ekonomi China berbasis pada pengembangan Iptek yang berkembang sangat pesat. Ini dapat kita cermati dari fenomena betapa pengembangan AI (artificial intelligence) China memiliki anggaran tertinggi di dunia, mencapai $150 miliar.
“Perebutan supremasi dalam bidang teknologi juga terjadi. Kebangkitan Asia salah satunya dikarenakan adanya pengembangan sains dan teknologi sehingga dapat bersaing dengan produk-produk barat. Sebut saja antara produk iPhone dan Huawei,” katanya.
Menurut Prof. Bambang Cipto Quantum Science Satellite (QSS), yang diorbitkan China kelak akan membuat negara ini punya sistem komunikasi yang sulit dibuka kode-kodenya oleh negara lain. Industri ruang angkasa swasta, satelit mini, sistem navigasi satelit (Beidou) digunakan 130 negara bisa untuk sipil maupun militer.
Jadi meskipun Presiden AS Donald Trump melarang sekutu AS menggunakan Huawei yang merupakan produk China, tapi pada faktanya dilapangan Huawei unggul di Afrika, Timur Tengah, Rusia dan sampai tingkat tertentu di Eropa. “Ini salah satu contohnya,” ujar Prof. Bambang Cipto.
Ia menjelaskan perkembangan IT di negeri Panda ini merupakan proses panjang yang diikuti dengan political will dari pemimpinnya untuk menguasai dunia di 2050. Sebut saja dari sisi ekonomi. China dan ASEAN kini menjadi pusat perdagangan paling besar di dunia.
“Samsung, Toyota, Sony merupakan korporasi besar dari Asia,” jelas Prof. Bambang.
Dari sisi jumlah kelas menengah di Asia juga semakin besar. Hal ini sejalan dengan tumbuhnya megacity di Asia. Diprediksi pada tahun 2035, ada 11 megacity berkembang di Asia yang akan menyumbang jumlah konsumen dunia.
“Jumlah penduduk China 1,438 miliar, India 1,377 miliar dan ASEAN 650 juta berpotensi sebagai pusat perdagangan terbesar di dunia,” katanya.
Tidak dapat dipungkiri negara super power Amerika Serikat yang selama 70 tahun menjadi super power, menjadi “polisi dunia” secara perlahan segera berakhir. Kekuatan adidaya yang dibangun AS sejak perang dunia 2 berakhir nyaris tak dapat ditandingi negara lain.
Adanya hak veto di Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), walau dimiliki juga oleh 5 negara yang lain, Amerika tetap menjadi kuncinya. Sekarang kepemimpinan global Amerika mulai surut. Tidak ada lagi polisi dunia seperti Amerika di muka bumi ini. Kemunduran Amerika bisa kita lihat dihari-hari ini.
Dalam menangani Covid-19 (virus corona) nampak Amerika seperti kehilangan kedigdayaannya. Kota New York lumpuh dan kematian di semua kota di Amerika mencapai puluhan ribu penduduk Amerika.
“Kalau kita melihat kemegahan Amerika di era dulu, sepertinya mustahil hal ini terjadi. Tetapi sekarang kita bisa menyaksikan, betapa Amerika sangat kedodoran dalam menangai covid-19. Apakah karena langkah Trump yang salah sejak awal yang menyepelekannya atau sistem kesehatan di Amerika yang mulai tidak digdaya yang menjadikan kondisi ini makin runyam,” sambung Bambang.
Sementara itu, Wachid Ridwan menyampaikan pentingnya penguasaan Futurologi, yaitu ilmu untuk melihat masa depan dengan berbagai analisis ilmiah. Ini penting untuk sadar posisi kita saat ini dimana dalam percaturan global dan mengambil peran dan keuntungan.
“Setali tiga uang dengan Eropa, tanda-tanda kemunduran peradaban Eropa mulai terasa. Eropa yang yang dulu, dengan kisah renaissance dan kegemilangan zaman pencerahan mulai memudar. Walau tidak secepat Amerika, tetapi kemunduran Eropa ( Uni Eropa terdiri dari 27 Negara) mulai bisa dilihat, apalagi setelah Inggris “brexit” keluar dari Uni Eropa. Eropa semakin tua dan rapuh” kata Iwan Setiawan.
Dimana posisi Indonesia?, tentunya jika ingin ikut dalam kebangkitan Asia, maka kata kuncinya adalah harus pula memiliki keunggulan dalam sains dan teknologi. Pertanyaan besarnya di tengah sengkarut pengelolaan negara ini, masihkan ada secercah harapan , cahaya di ujung lorong asa? Sudahkan kita menyiapkan diri menyambut janji perubahan yang merupakan sebuah keniscayaan Ini menjadi tantangan kita bersama. (ariefhartanto)