24.6 C
Jakarta

Memecah Fenomena Gunung Es Anak yang Dilacurkan

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM — “Situasi Anak yang Dilacurkan dan Pembelajaran Inklusi Sosial”, itulah judul buku yang dibedah dalam rangkaian acara Festival Inklusif 100% yang diselenggarakan oleh Program Peduli bekerja sama dengan Sanggar Inovasi Desa pada 22 September 2020. Hadir dalam acara tersebut, yakni Dosen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (FISIPOL UGM), Arie Sujito dan Direktur Yayasan Sekretariat Anak Merdeka Indoensia (SAMIN), Fathuddin Muchtar. Keduanya membedah penelitian yang dibukukan tersebut secara mendalam.

Yayasan SAMIN melakukan penelitian tentang anak yang dilacurkan di lima kota, yaitu Surabaya, Bandung, Garut, Makassar dan Bandar Lampung. Judul buku sendiri mengacu pada istilah dalam bahasa Inggris yaitu, child prostituted, yang berarti anak yang dilacurkan. “Kita terjemahkan menjadi [anak yang] dilacurkan karena anak dalam kasus ini dieksploitasi. Kalau anak melakukan hal itu [dilacurkan], mereka adalah korban,” ungkap Fathuddin (23/9/2020). Anak-anak ini sesungguhnya membutuhkan perlindungan khusus sesuai dengan Konvensi Hak Anak.

Dari penelitian di lima kota, ditemukan data setidaknya terdapat 330 anak yang dilacurkan. Namun, menurut Fathuddin, data tersebut bisa jadi hanyalah 10% dari data yang sebenarnya. “Ini adalah fenomena gunung es. Angka yang kami temukan menunjukkan bahwa mereka benar-benar ada,” pungkas Fathuddin.

“Anak yang dilacurkan” menjadi pembahasan yang jarang digali. Anak difabel atau anak korban perdagangan manusia misalnya, terdapat aturan dalam undang-undang yang melindungi mereka. Namun untuk anak-anak yang dilacurkan, hingga saat ini belum ada aturan yang dibuat untuk melindungi mereka. Hal itu yang menurut Fathuddin susah untuk melacak dan memberikan hukuman bagi yang mengeksploitasi serta memakai jasa mereka.

Sementara itu, Arie Sujito yang menjadi konsultan peneliti menyatakan bahwa penelitian dilakukan untuk mengadvokasi perubahan kebijakan. “Isu ini dengan segala perniknya menjadi bahan refleksi kita. Ini kan tidak populer, tapi ini nyata menjadi problem sosial,” ungkapnya.

Permasalahan dan kondisi anak yang dilacurkan yang dituangkan ke dalam sebuah buku bukan untuk memperparah stigma negatif, tetapi justru adalah sebuah upaya untuk mengubah stigma bahwa sebenarnya anak-anak tidaklah bersalah, mereka hanya korban. Pemahaman humanis ini yang perlu dibangun.

“Kita perlu menjadikan anak korban pelacuran sebagai subjek untuk pemulihan. Keluarga anak-anak tersbeut juga perlu dijadikan basis healing” tambah Ari Sujito. (*)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!